Ekseskusi terhadap lima dari enam orang narapidana di
Nusakambangan dikahabarkan sudah dilakukan. Sumber media online nasional mengabarkan,
eksekusi mati terhadap lima tersangka itu dilakukan pada Minggu (18/1/2015)
pukul 00.30. semua eksekusi dilakukan secara bersamaan dengan waktu yang sangat
cepat.
Saat ini lima jenasah sedang di mandikan oleh para dokter
dan rencananya jenasah yang tidak dimakamkan di Nusakambangan segera di bawah
keluar oleh keluarga pada pukul l 02.00-03.00 WIB nanti.
Lima orang itu adalah: (1). Namaona Dennis (48) WN Malawi.
Pekerjaan swasta. Diputus oleh Pengadilan Negeri di tahun 2001, oleh Mahkamah
Agung di tahun 2002, mengajukan Peninjauan Kembali di tahun 2009. (2). Marco
Arthur Cardoso Muriera (53) WN Brazil. Pekerjaan Pilot. Diputus oleh Pengadilan
Negeri di tahun 2004. (3). Daniel Inemo (38) WN Nigeria. Diputus oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tahun 2004, Kasasi di tahun 2005, dan
Peninjauan Kembali di tahun 2009. (4). Ang Kim Sui a.k.a Kim Ho a.k.a Ance
Taher (62), kewarganegaraan tidak diketahui. Diputus oleh Pengadilan Negeri di
tahun 2003, oleh Pengadilan Tinggi di tahun 2003, Mahkamah Agung di tahun 2003,
Peninjauan Kembali di tahun 2006. (5). Rani Andriani a.k.a Melisa Aprilia asal
Cianjur. Diputus oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tahun 2000,
Mahkamah Agung di tahun 2001, dan mengajukan Peninjauan Kembali 2002.
Sementara terpidana asal Vietnam Tran Thi Bich Hanh menjalani
hukuman matinya di Boyolali.
Kelapa Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung,
Tony Spontana, semua teknis pelaksanaan hukuman mati itu sudah tercantum di
dalam Undang-undang nomor 2 PNPS Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati.
"Semuanya sudah masuk di situ, UU Nomor 2 PNPS Tahun
1964. Ada penjelasan siapa yang menembak, kenapa pakai senapan dan bagaimana
caranya," kata Tony kepada merdeka.com, Sabtu (17/1).
Lalu bagaimana prosedur eksekusi hukuman mati itu? Berikut
rangkumannya.
1.
Narapidana di tembak oleh 12 orang Polisi.
Narapidana akan ditembak mati oleh 12 anggota kepolisian menggunakan
senapan laras panjang. Aturan itu sudah masuk di dalam Pasal 10 UU Nomor 2 PNPS
Tahun 1964.
Berikut isi dari Pasal 10:
1. Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobil yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira. 2. Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. 3. Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
1. Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobil yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira. 2. Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. 3. Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
2.
Hanya 3 senapan yang di isi peluru
Pada saat eksekusi mati, ke-12 polisi itu akan diberi senjata laras
panjang masing-masing satu senapan. Namun hanya ada 3 senapan yang berisi peluru,
9 lainnya kosong.
Hal itu dilakukan untuk menjaga kondisi psikologis si eksekutor, agar tak
memiliki perasaan bersalah saat menembak.
Ke-12 polisi itu juga dipastikan akan mengambil secara acak senapan dan
tak mengetahui senapan mana yang sudah diisi peluru.
3.
Di tembak di Dada dari jarak 5 sampai 10 meter
Para terpidana nantinya bakal mengenakan pakaian berwarna putih dengan
tanda sasaran bidik di bagian dada. Hal itu untuk memastikan terpidana tidak
akan merasa sakit ketika dieksekusi.
Jarak antara terpidana dan eksekutor sendiri antara 5 sampai 10 meter. Posisi tersebut diatur untuk memastikan jenazah terpidana tidak dalam kondisi rusak ketika sudah ditembak.
Prosedur itu sudah masuk ke dalam Pasal 11, 12, 13 dan 14 UU Nomor 2 PNPS Tahun 1964.
Pasal 11
1. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
2. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
3. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
4. Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.
Pasal 12
1. Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
2. Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
Pasal 13
1. Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
2. Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
Pasal 14
1. Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
2. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
3. Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
4. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
5. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.
Jarak antara terpidana dan eksekutor sendiri antara 5 sampai 10 meter. Posisi tersebut diatur untuk memastikan jenazah terpidana tidak dalam kondisi rusak ketika sudah ditembak.
Prosedur itu sudah masuk ke dalam Pasal 11, 12, 13 dan 14 UU Nomor 2 PNPS Tahun 1964.
Pasal 11
1. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
2. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
3. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
4. Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.
Pasal 12
1. Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
2. Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
Pasal 13
1. Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
2. Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
Pasal 14
1. Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
2. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
3. Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
4. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
5. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.
(dari berbagai sumber)