Tanggapan dengan kemasan berbeda disampaikan oleh Ferdinandus Diri Amajari dari Jakarta ketika dihubungi SUPER, terkait pernyataan itu. Eddie Lamak, demikian ia disapa, justru mengapresiasi Ibu Retha atas apa yang disampaikan itu. “Tuhan sedang menujukan kepada beliau, inilah jalannya dan beliau memang harus tetap berada di jalan ini. Karena memang di poros inilah, selama ini ia berada. Sebagai orang Lembata, Lamaholot maupun Kedang, kita percaya bahwa tanah dan leluhur pun punya kuasa dashyat untuk menuntun orang menuju kepada titik dimana ia harus mempertanggungjawabkan semua yang telah dia perbuat. Hukum positif bisa dibeli. Moral sosial bisa dimanipulasi. Tetapi garis dari Atas dan kehendak Lewotana, tidak mungkin dapat dibelokan.”
Berikut nukilan lengkap obrolan Yogi Making dari SUPER dengan wartawan dan pemilik media di Jakarta, yang sejak 2006 akhir sudah concern pada isu tambang dan korupsi di Lembata dengan terlibat aktif di dalam Koalisi Jakarta Untuk Tolak Tambang di Lembata ini.
Anda memberikan komentar yang sedikit berbeda dari pada respon kebanyakan orang soal pernyataan Ny. Manuk itu. Mengapa?
Intinya sama saja. Hanya saya dan mungkin banyak yang tidak ingin suasana semakin keruh dengan provokasi picisan macam begini. Saya cenderung melihat bahwa Tuhan dan Lewotana yang mengatur lidah beliau ketika berkata-kata. Analoginya begini, jika seorang maling kemudian membuatkan sebuah kisah pengakuan yang menguak segala kejahatannya, maka patutlah kita menduga bahwa saat itu Roh Kudus atau Allah SWT sedang bekerja di dalam dirinya. Tidak perlu orang sekolahan, rakyat kita di kampung juga sudah bisa menilai betapa tak patutnya Ibu Retha berbicara begitu.
Apa yang mestinya ditunjukan oleh penguasa diakhir masa jabatan seperti sekarang ini, kepada rakyatnya?
Ya, apa ya…mestinya hal-hal yang positif. Termasuk seperti yang dikatakan oleh Ama Kun Koli Muda di dalam berita yang Anda tulis itu. Kita, meski terpaksa, haruslah berjiwa besar untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andreas Duli Manuk dan sanak kerabatnya untuk semua jasa yang telah diberikan kepada Lembata dan isinya, baik yang ada di atas tanah maupun di dalam tanah. Tapi kalau Anda tanyakan, apa yang mestinya ditunjukan, saya khawatir, mereka cukup sulit untuk mendapatkan hal yang positif dalam diri mereka, yang bisa mereka tunjukan kepada rakyat. Saya tidak menggunakan kata dia, melainkan mereka, karena Lembata selama ini bukan diurus oleh seorang dengan strong leadership, tetapi lebih mirip gerombolan. Entah itu gerombolan apa, Anda tentu lebih bisa mengartikannya.
Makna apa yang bisa dipetik oleh publik Lembata dari peristiwa dan pernyataan itu?
Dalam kondisi seperti ini, apalagi sudah di dalam suasana Pilkada, tentu semua memiliki kepentingan untuk ‘mengelola’ ini sesuai versi kepentingannya. Tetapi saya hanya ingin mengatakan bahwa, risikonya terlalu tinggi dan ongkosnya terlampau mahal jika, tanah ini, pulau ini, kabupaten ini dan ata ribu di Lembata ini beserta nasib hidupnya, diatur oleh pemimpin yang tidak ditunjang dengan baik oleh orang-orang di sekitarnya. Pesan penting dibalik pernyataan Ibu Retha itu, bagi orang yang berfikir analitis, mereka akan mengatakan, “Oh, pantas saja Lembata jadi begini kalau isteri bupati saja merasa seperti permaisuri sebuah kerajaan bahkan sampai mengatakan ancaman mati kepada rakyatnya.” Come on, ancaman itu tidak beradab. Uang yang dipakai untuk pembangunan itu juga bukan uang pribadi. Itu uang rakyat. Mau bupatinya siapapun, bahkan kalau ‘Kucing’ bisa jadi bupati pun, semua dana dari pusat itu pasti turun ke Lembata. Maaf, saya menggunakan analogi ‘Kucing’ hanya untuk mengikuti apa yang Ibu Retha katakan dalam berita itu, karena saya tak sudi juga jika rakyat kita dari kampung itu disamakan dengan ‘Anjing Rabies.” Nah, tapi kalau misalnya ‘Kucing’ dibolehkan Undang-Undang untuk menjadi bupati, pastinya kabupaten ini menjadi selalu salah urus. Proyek-proyek tententu bisa berhenti di tengah jalan, aktifitas maksiat yang harusnya dijauhi, malah dibiarkan seolah hal yang wajar, dan kalau Kucing-nya adalah Kucing Garong, semuanya bisa dia caplok, bahkan termasuk hukum yang harusnya lebih kuat dari dia.
Bagaimana komentar Anda terkait pemimpin ideal bagi Lembata di 2011 nanti?
Selidiki betul orang yang ingin Anda pilih, bagaimana perilakunya dan rekam jejaknya, adakah ia memiliki bakat terpendam untuk menjadi ‘Kucing Garong’ kelak jika memimpin? Hahaha. Ya, Saya selalu berbasis pada cara pandang bahwa, yang harus kita cari adalah calon pemimpin Lembata yang adalah orang Lembata. Cara pandang kewilayahan dalam tataran akar rumput, pelan-pelan harus kita cabut, dan tentu saja itu sudah kami mulai sejak 5 tahun lalu, ketika saya dan Pak Pieter Keraf yang sama-sama dari satu wilayah, maju sebagai peserta Pilkada. Lantas dengan apa kita menilai seseorang layak atau tidak melakukan total restoration di Lembata, jika aspek wilayah tidak lagi penting? Cukup banyaklah aspek dan parameter yang mudah untuk dijadikan tolak ukur.
Anda masih ingin maju di 2011 nanti?
Ya, mungkin terdengar angkuh tetapi saya sedang pertimbangkan beberapa calon bupati yang mengajak saya untuk maju. Bagi saya, kesamaan konsep dan visi adalah alasan utama jika saya harus menerima ajakan itu. Jika tidak ada kesamaan akan hal itu, pada saatnya saya akan mengumumkan kepada publik bahwa saya tidak ikut dan mari kita mendukung siapa yang lebih tepat.(Yogi)