Tanggal 20 Mei tahun
ini Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, seminari tinggi terbesar SVD sejagad
dan salah satu seminari tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia,
merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Perayaan syukur untuk peristiwa penting
ini dilaksanakan bulan September ini. Inilah nukilan sejarahnya.
LEDALERO,
mulanya adalah sebuah bukit yang dianggap angker oleh penduduk, dijauhi karena
dipandang menjadi hunian roh-roh yang mudah tersinggung. Kini, bukit ini memiliki
daya tarik yang mengundang perhatian banyak pihak, pemerintah dan masyarakat
Indonesia, dan para anggota SVD dan sahabat-sahabat mereka di berbagai negara.
Karena ribuan alumninya yang tersebar di
berbagai tempat sebagai imam misionaris dan awam yang berkiprah di berbagai
bidang, karena gagasan-gagasan yang disumbangkan dari bukit ini untuk Gereja
dan bangsa Indonesia, Ledalero bukan lagi sebuah tempat terpencil dan tertutup.
Semuanya ini bermula 75 tahun yang lalu. Apa yang terjadi waktu itu?
Pada tanggal 20 Mei 1937 Seminari Tinggi St.
Paulus Ledalero secara resmi/kanonis didirikan. Pada hari itu, P. Wilhem Gier,
pemimpin tertinggi Serikat Sabda Allah (SVD) saat itu, mengeluarkan keputusan
untuk mendirikan sebuah rumah pendidikan para calon imam, biarawan misionaris
SVD di Ledalero. Keputusan itu dibuat berdasarkan izin yang diberikan oleh
Vatikan pada tanggal 5 Mei 1937.
Keputusan mendirikan seminari tinggi Ledalero
dimotivasi terutama oleh ensiklik Maximum Illud dari Paus Benedictus XV pada tahun
1919. Ensiklik ini diterbitkan setahun setelah berakhirnya Perang Dunia I.
Menurut P. Frans Cornelissen yang sangat berjasa dalam pendidikan para calon
imam di Nusa Tenggara, aktor intelektual di balik ensiklik ini adalah pemimpin
Kongregasi Propaganda Fide saat itu, Kardinal Willem van Rossum CSSR.
Gereja Katolik yang waktu itu semata-mata
mengandalkan para misionarisnya dari Barat, harus mengalami kenyataan bahwa
perubahan situasi politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para
misionaris ke berbagai tempat di dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius
perekrutan tenaga imam dan biarawan dari wilayah-wilayah misi.
Di Indonesia, terobosan yang lebih berani ke
arah pendidikan para calon imam pribumi dilakukan para Yesuit di Jawa. Dua
orang dari angkatan pertama sekolah pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah,
menamatkan pendidikan gurunya pada tahun 1911 dan melamar untuk menjadi imam.
Hanya seorang yang kemudian meneruskan
pendidikannya mulai tahun 1914 di Belanda dan ditahbiskan imam tahun 1926. Pada
tanggal 16 Juli 1915 Petrus Darmaseputra dan Fransiscus Satiman diterima
menjadi novis Yesuit di Belanda. Pada tahun 1923 para Suster Fransiskanes dari
Heythuisen membuka novisiat mereka.
Itu berarti empat abad setelah terjadinya
penyebaran agama Katolik secara sistematis dan berkesinambungan, barulah
putera-puteri Indonesia dianggap pantas menjadi imam dan biarawan/ti.
Dibutuhkan waktu sekian lama, bukan karena tidak ada orang Indonesia berniat
menggabungkan diri, tetapi karena orang masih menganut pandangan bahwa orang
Indonesia asli tidak memiliki bakat untuk menjalani kehidupan seperti ini.
Tanggapan atas Maximum Illud di Nusa Tenggara
diberikan oleh Mgr. Arnold Verstraelen yang menugaskan P. Frans Cornelissen
untuk memulai sebuah seminari menengah. Menurut Mgr. Verstraelen, Vikariat
Sunda Kecil yang pada waktu itu telah memiliki lebih dari 100.000 orang
Katolik, sudah perlu mempunyai sebuah seminari.
Menurut pengakuan P. Cornelissen, Mgr.
Verstraelen memberikan penugasan kepadanya untuk mendirikan seminari seminggu
setelah dia tiba bersama tiga rekan dan tiga bruder SVD di Ende. Mulanya dia
hanya disuruh ke Sikka atau Lela. Kemudian Uskup katakan, "Sudah ada
begitu banyak orang Katolik di sini. Dan ada juga ensiklik Bapa Suci yang mengajak
para uskup misi untuk membuka seminari.
Sudah ada juga beberapa orang muda yang telah
menyampaikan maksudnya akan menjadi imam. Maka kami berpendapat: Pater bisa
mulai dengan seminari itu". Frans Cornelissen memang memiliki ijazah
sebagai guru, dan sebelum berangkat ke Indonesia sudah diingatkan oleh Pater J.
Bouma yang menjadi rektor rumah misi Uden, bahwa sangat mungkin dia akan
ditugaskan untuk menjadi penilik sekolah.
Namun, dia tidak pernah membayangkan bahwa
dirinya yang baru saja tiba di Flores langsung diberi kepercayaan untuk memulai
satu tugas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Uskup Verstraelen memang
mempunyai visi tentang Gereja Nusa Tenggara yang turut dipimpin oleh tenaga
imam pribumi. Namun, dia tidak mempunyai gambaran yang sangat jelas mengenai
bagaimana program pembinaan para calon pribumi itu harus dilaksanakan.
Kepada P. Cornelissen dia katakan, "Sudah
pasti harus diberikan Latin, bahasa Belanda dan Agama. Di samping itu bileh
putuskan sendiri apa saja yang perlu dan berguna. Engkau seorang guru, maka
lebih tahu dari saya mana yang perlu."
Berbekalkan kepercataan itu, Frans Cornelissen
memulai seminari pertama di Nusa Tenggara. Ide besar dengan dampak sejarah yang
panjang ternyata tidak dimulai dengan membangun fasilitas serba lengkap. Orang
tidak mulai dengan bangunan dan fasilitas lain. Orang mulai dengan manusia.
Sejarah seminari di Nusa Tenggara bermula pada
tanggal 2 Februari tahun 1926 dengan menggunakan pendopo pastoran Lela sebagai
ruang kelas. P. Cornelissen mendampingi 6 siswa pertama wilayah di Flores dan
Timor. Tiga setengah tahun kemudian, pada tanggal 15 September 1929, seminari
ini dipindahkan untuk menempati rumah yang dirancang dan dibangun khusus untuk
tujuan itu, yakni di Todabelu-Mataloko.
Frans Cornelissen adalah tokoh pendidikan, yang
mempunyai prestasi besar bagi perkembangan pendidikan pada umumnya di Flores,
secara khusus pendidikan para calon imam.
Dia harus menghadapi banyak tantangan. Misalnya,
pandangan sejumlah misionaris tentang ketaklayakan orang-orang pribumi untuk
menjadi imam, dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam Gereja Katolik;
persoalan pembiayaan untuk lembaga pendidikan; bahasa Melayu yang masih kurang
dipahami oleh P. Cornelissen sendiri sebagai syarat untuk dapat mendampingi
secara efektif para seminaris. Kendati terdapat sejumlah tantangan, pendidikam
seminari tetap dijalankan.
Dititip
di ‘rumah Tinggi’
PADA tahun 1932,
angkatan pertama seminari telah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Bagaimana
selanjutnya? Gedung khusus belum ada. Maka mereka pun dititipkan di rumah yang
baru selesai dibangun untuk para misionaris SVD di Mataloko, sebuah rumah
bertingkat yang karena itu disebut "Rumah Tinggi"
Namun, pertanyaan paling mendasar adalah: apakah
para lulusan itu menjadi calon imam praja/diosesan atau SVD? P. Cornelissen
mengajukan gagasan: sebaiknya orang-orang pertama dari Nusa Tenggara ini
diterima sebagai calon imam SVD. Alasannya, waktu itu semua imam yang bekerja
di wilayah ini adalah anggota SVD.
Agar lebih tampak persamaan antara imam-imam
pribumi dan SVD, maka orang-orang pertama ini diterima sebagai calon imam SVD.
Perbedaan pribumi dan Barat tidak diperbesar lagi dengan perbedaan imam praja
dan religius. Maka, setelah setahun menanti, tujuh orang angkatan pertama novis
SVD diterima secara resmi dan memulai masa novisiatnya pada tanggal 16 Oktober
1933.
Enam orang dari angkatan ini kemudian
mengikrarkan kaul pertama pada tanggal 17 Januari 1936. Saat itu mereka sudah
cukup maju dalam studi, yang telah dimulainya pada tahun 1932. P. Cornelissen,
yang mendampingi para calon ini sejak seminari menengah, mempunyai rasa bahagia
dan bangga tersendiri.
Karena para frater hanya dititipkan di
"Rumah Tinggi" di Mataloko, maka sejak tahun 1935 mulai dicari tempat
baru untuk sebagai seminari tinggi. PJ Bouma yang saat itu menjadi pemimpin
tertinggi SVD di wilayah ini, dibantu oleh PH Hermens dan PA Visser
mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Lembah Hokeng menjadi salah satu
alternatif yang cukup kuat. Namun, kecemasan akan malaria menjadi alasan utama
untuk mundur dari kemungkinan itu.
Akhirnya, dengan persetujuan Raja Don Thomas
Ximenes da Silva, ditetapkanlah Ledalero sebagai tempat bagi seminari tinggi
SVD. Ledalero, tempat sandar matahari ini memang tempat ideal untuk
sebuah seminari tinggi, karna letaknya tidak jauh dari beberapa paroki
besar seperti Nita dan Koting, lagi pula cukup dekat dengan kota pelabuhan
Maumere. Maka, pada tahun 1936 pembangunan beberapa gedung penting pun dimulai.
Setelah mengeluarkan keputusan pendirian
Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal 20 Mei 1937, pada tanggal 3 Juni,
pemimpin tertinggi SVD memindahkan novisiat dari Todabelu-Mataloko ke Ledalero,
setelah mendapat persetujuan dari Vatikan dua hari sebelumnya. Dengan ini,
seminari tinggi Ledalero sudah dapat dihuni secara resmi.
Rombongan pertama yang tiba di Ledalero adalah
dua novis, yakni Lukas Lusi dan Niko Meak, didampingi pemimpin novisiat P. Jac.
Koemeester. Lukas Lusi kemudian menarik diri dari SVD dan menjadi imam praja
Keuskupan Agung Ende. Niko Meak kemudian meninggal dunia pada tanggal 30
November 1938 sebagai frater.
Tidak lama berselang, rombongan para frater yang
telah studi pun tiba. Di antaranya Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale, yang
kemudian ditahbiskan sebagai dua imam pribumi pertama SVD Indonesia pada
tanggal 28 Januari 1941.
Saat rombongan para novis dan frater tiba untuk
pertama kalinya di Ledalero, mereka disambut umat Nita dengan ucapan dalam
bahasa Sikka: "He miu ata novisen mole ata frater, mai baa deri ei
Ledalero" yang artinya: hai para novis dan frater, datanglah dan
tinggallah di Ledalero. Pada saat awal itu, jumlah calon imam sebanyak 16
orang: 5 orang frater mahasiswa teologi, 5 orang frater mahasiswa filsafat, dan
6 orang novis.
Ungkapan orang Nita di atas menunjukkan bahwa
pendidikan calon imam dan biarawan didukung sepenuhnya oleh umat. Umat menerima
mereka dengan tangan terbuka untuk mengambil bagian dalam hidup mereka,
mengalami jatuh bangun perjuangan hidup dan kegembiraan serta kebahagiaan.
Para biarawan calon imam tidak melayang di atas
angin, tetapi mesti berakar dalam kehidupan umat. Seminari, tempat persemaian
panggilan untuk menjadi imam dan biarawan bukan pertama-tama rumah yang
dibangun megah dengan aturan yang ketat, tetapi kehidupan umat di gubuk-gubuk
sederhana yang mengenal matahari sebagai satu-satunya jaminan ketetapan ritme
hidup. Jika rumah yang megah menumpulkan kepekaan para biarawan dan calon imam
untuk menangkap kegelisahan umat, dan ketatnya aturan mengeraskan hati mereka
untuk menanggapi persoalan masyarakat, maka seminari sebenarnya gagal
menjalankan perannya.
Berkat keramahan dan keterbukaan umat untuk
selalu membumikan panggilan para biarawan dan calon imam, maka Ledalero,
kendati harus menghadapi banyak tantangan dan masalah, tetap menjadi rahim yang
menghasilkan imam, misionaris biarawan SVD yang diutus ke berbagai bangsa dan
barisan panjang para awam yang berkiprah pada beragam bidang kehidupan. Pada
tahun 1939 Ledalero mencatat 19 calon imam SVD.
Menurut catatan Karel Steenbrink dalam bukunya
Orang-Orang Katolik di Indonesia, Jilid II, 1903-1942, dari 176 siswa di
seminari menengah yang memulai pendidikannya antara tahun 1926-1936, hanya 29
orang atau 16% menjadi yang ditahbiskan imam. Kini, pada saat merayakan pesta
75 tahun, seminari ini telah menghitung lebih dari 893 imam SVD sebagai
alumninya, di antaranya 10 orang uskup. Sebagian yang lainnya ditahbiskan
sebagai imam dalam beberapa tarekat religius lain atau imam praja dari sejumlah
keuskupan. Lebih dari separuh alumni adalah awam.
Tiga Periode Penting
Seminari ini telah melewati tiga periode penting
dalam sejarahnya. Periode pertama dapat disebut sebagai periode Seminari
Belanda, yakni dari awal berdiri sampai akhir tahun 1950-an.
Kenapa disebut demikian? Karena kebanyakan staf
dosennya adalah misionaris berkebangsaan Belanda dan bahasa pengantar di
komunitas adalah bahasa Belanda. Dalam perkuliahan digunakan bahasa Latin.
Para frater harus mengenakan jubah pada hampir
setiap saat. Disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci. Tetapi juga kedekatan
dengan umat sangat diperhatikan baik oleh para dosen pun para frater. Generasi
yang dihasilkan dari periode dapat dilukiskan dengan kata-kata yang digunakan
P. Anton Pernia dalam suratnya mengenang alm. Mgr. Donatus Djagom, SVD.
"Gerenasi pertama SVD dari Indonesia dan
Asia yang cerdas, tangguh, sedikit individualis, memiliki karakter kepemimpinan
yang kuat. Cerdas, serta memiliki komitmen religius yang kuat.
Jadi Markas Tentara
Jepang
IMAM pertama dari
Seminari ini ditahbiskan tiga setengah tahun setelah lembaga ini berdiri, yakni
pada tanggal 2 Januari 1941. Karolus Kale Bale dan Gabriel Manek ditahbiskan
menjadi imam di Gereja Nita. P. Jacob Koemeester, rektor pertama Ledalero
menulis tentang peristiwa itu demikian, "Minat orang serani besar sekali.
Mereka kini melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang-orang mereka juga
dapat mencapai imamat agung yang tinggi itu. Frater-frater dan siswa-siswa
seminari menengah merasa kerinduannya akan imamat lebih menyala lagi dan dengan
kurang sabar menantikan hari-hari itu, ketika mereka akan menerima jabatan yang
sama".
Setahun kemudian, di bawah bayang-bayang Perang Dunia II dan ancaman pendudukan
Jepang, generasi kedua ditahbiskan, kendati belum menuntaskan studi teologinya.
Tahbisan-tahbisan "prematur" ini membantu menjawabi kesulitan yang
dihadapi Gereja Nusa Tenggara, ketika hampir semua misionaris berkebangsaan
Jerman dan Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Selama masa pendudukan
Jepang itu pula, seminari Ledalero dijadikan markas tentara Jepang, sehingga
untuk sementara para calon imam dipindahkan ke Todabelu.
Fajar harapan kembali merekah bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Para misionaris dikembalikan, Gereja mengalami
kebangkitan, seminari pun dihuni lagi. Rencana untuk masa depan pun ditempa
lebih serius.
Salah satunya adalah menyiapkan tenaga Indonesia untuk bekerja sebagai dosen di
Ledalero. Caranya adalah mengirimkan orang-orang yang dipandang berbakat untuk
melanjutkan studinya di luar negeri. Maka, pada tahun 1948 dua imam dan tiga
frater dikirim untuk meneruskan studi mereka di Belanda. Pada tahun 1955 satu
dari mereka, P. Paul Sani kembali ke Ledalero dan mengajar sebagai dosen
pertama asal Indonesia.
Dengan ini dimulailah secara perlahan episode kedua, yang dapat disebut sebagai
tahap Indonesianisasi. Semakin banyak tenaga Indonesia menjadi pengajar di
Ledalero, walaupun tidak semuanya bertahan lama.
Tahap kedua ini dipacu pula oleh perubahan di dalam Gereja yang dibawa oleh
Vatikan II. Angin pembaruan yang memberikan perhatian semakin besar kepada
elemen-elemen pribumi, yang umumnya disebut sebagai inkulturasi, mendorong
refleksi yang semakin serius mengenai keberakaran pendidikan para calon imam SVD
dalam konteks Indonesia.
Pada waktu ini didiskusikan pula secara meluas soal partisipasi orang-orang
Indonesia dalam kepemimpinan dalam Gereja, termasuk di Ledalero. Pekan Studi
para imam tamatan Ledalero pada awal tahun 1970-an berbicara secara khusus mengenai
tema ini. Rektor pertama Ledalero yang berkebangsaan Indonesia diangkat pada
tahun 1966 dan menjalankan masa tugasnya untuk satu periode. Apa yang lumrah
dewasa ini, pada waktu itu menjadi sebuah masalah.
Dalam peta politik Indonesia, periode ini jatuh bersamaan dengan periode
pemerintahan Presiden Soeharto yang melancarkan program pembangunan. Generasi
para tamatan Ledalero dari periode ini ditandai oleh rasa kebangsaan yang
tinggi dan dukungan bagi pembangunan yang diprogramkan pemerintah. Kemitraan
dengan pemerintah menjadi hal yang penting bagi mereka.
Para pejabat pemerintah sering mengadakan kunjungan ke Ledalero. Di antaranya
adalah Jendral Ahmad Yani yang memberikan kuliah umum kepada para frater
Ledalero lima hari sebelum dibunuh dalam peristiwa kejam yang disebut sebagai
Gerakan 30 September 1965. Janjinya untuk kembali lagi ke Ledalero tidak dapat
lagi terwujud.
Sebagai sebuah tarekat misi, para anggota SVD harus memiliki kesediaan untuk
berkarya di negara-negara lain sesuai kebutuhan tarekat. Ledalero tidak hanya
mendidik para calon imam SVD untuk berkarya di negaranya, tetapi untuk
kebutuhan serikat di seluruh dunia. Pada tahun 1982, dua orang Frater yang
berkaul kekal mendapat benumming untuk menjadi misionaris di Papua New Guinea. Mereka
pergi ke sana setelah ditahbiskan pada tahun 1983. Dengan ini mulailah epiosed
ketiga, Ledalero menjadi seminari bagi seluruh dunia.
Kalau pada tahun 1926 sejumlah misionaris masih meragukan entahkah orang-orang
Nusa Tenggara bisa menjadi biarawan dan imam, dewasa ini anak-anak kelahiran
tanah dan budaya Nusa Tenggara telah menjadi misionaris di berbagai belahan
bumi. Sejak itu, seminari tinggi ini sudah mengutus lebih dari 406 orang
biarawan imam misionaris untuk berkarya di 45 negara di 5 benua.
Walaupun harus mengatasi tantangan bahasa dan perbedaan budaya, para misionaris
SVD tamatan Ledalero umumnya mudah menemukan cara untuk mendekati umat. Mereka
berkarya dalam pelayanan pastoral di paroki, menjadi guru dan pendidik atau
pemimpin. Beberapa di antaranya dikenal sebagai pejuang kemanusiaan dan pembela
hak-hak warga dan umat yang miskin dan tersisih.
Periode ini ditandai oleh komitmen sosial yang semakin kuat dan keterbukaan
bagi misi SVD sejagad. Kehadiran semakin banyak dosen dalam berbagai bidang
keahlian, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, membuat Ledalero semakin
terbuka untuk menanggapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, tidak lagi
dengan pendekatan pembangunan, tetapi dengan pendekatan advokasi bagi rakyat
yang menjadi korban dalam proses pembangunan.
Para dosen Ledalero bersuara mengungkapkan berbagai kepincangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik pada kesempatan seminar maupun melalui media
massa. Para mahasiswa pun tidak tinggal diam. Mereka terlibat dalam beberapa aksi
massa untuk membela kepentingan warga yang miskin dan tersingkirkan.
Para Frater turut mendemonstrasi menentang proses hukum yang tidak adil atas
diri seorang pastor di Larantuka yang dituduh mencemarkan nama baik bupati.
Ketika di Manggarai 6 petani kopi ditembak mati oleh aparat, para mahasiswa dan
dosen Ledalero tidak tinggal diam. Suara protes dan demonstrasi pun digalakkan
untuk menentang rancangan undang-undang negara yang dinilai diskriminatif.
Selain itu, keterbukaan kepada misi SVD sejagad ditumbuhkan melalui sharing
para misionaris yang datang berlibur. Kisah mereka tentang kegembiraan dan duka
cita, keberhasilan dan tantangan mereka, membantu memperluas wawasan dan
terlebih menanamkan semangat serta menyiapkan batin mereka untuk bermisi.
Dewasa ini, sekitar 2/3 Frater yang berkaul kekal mendapat penempatannya di
luar negeri. Misi dalam arti proses seperti ini sebenarnya telah dimulai dan
dialami di Ledalero. Sebagaimana di banyak lembaga pendidikan calon imam dan
religius lainnya, proses pendidikan menjadi misionaris di seminari seperti
Ledalero adalah proses saling menjernihkan dan memperkaya. Proses ini tak
selalu mudah.
Pertobatan untuk menjadi rendah hati, meluluhkan benteng keangkuhan diri tak
selalu gampang. Ketulusan dan kejujuran harus selalu diperjuangkan, dan tak
sedikit yang mesti membayar mahal untuknya. Selain itu, kepekaan sosial dan
keberanian untuk menanggapi masalah-masalah sosial pun mendapat perhatian yang
semakin penting. Orang perlu mengatasi godaan untuk tinggal dalam kenyamanan
diri dan kelompok sendiri.
STFK Ledalero
Ledalero bukan hanya nama untuk seminari tinggi. Nama ini pun digunakan untuk
Sekolah Tinggi Filsafat sebagai lembaga yang diakui keberadaannya oleh negara
Indonesia. Sekolah ini bernama lengkap Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
(STFK Ledalero). Dalam relasi dengan pemerintah Indonesia bidang pendidikan,
nama lembaga inilah yang dikenal. Tentu saja, STFK Ledalero adalah perpanjangan
tangan dari Seminari Tinggi Ledalero.
Lembaga ini dicetuskan karena mempertimbangkan kenyataan akan perlunya
pengakuan negara bagi para lulusan Ledalero. Pengakuan ini sangat diperlukan
bagi para lulusan yang awam, agar mudah mendapatkan pekerjaan di luar konteks
Gereja.
Tetapi juga bagi para imam, yang mendapat kepercayaan dari keuskupan atau
tarekat untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan, memiliki ijazah yang diakui
pemerintah mendatangkan banyak kemudahan dan kemudian menjadi syarat yang harus
dipenuhi. Saat itu ada yang mengusulkan agar diambil pendidikan Kateketik
dengan gelar BA sebab dipandang lebih mudah urusannya.
Yang lain menolak gagasan ini dan mempertahankan studi khusus filsafat dan
teologi sebagai ciri lembaga ini. Soal lain adalah, apakah lembaga itu secara
resmi diafilisasikan pada lembaga lain seperti Atma Jaya atau berdiri sendiri.
Atas pertimbangan ini, maka pada tahun 1969 para pimpinan regio-regio SVD
Indonesia dan para Uskup Nusa Tenggara memutuskan untuk tetap berdiri sendiri
dan mempertahankan spesifikasi dalam bidang filsafat dan teologi.
Masih pada tahun yang sama keputusan ini didiskusikan lebih lanjut dengan P.
Musynsky, Superior General yang saat itu berkunjung ke Indonesia. Keputusan
resmi dari Pemerintah Indonesia diberikan pada bulan Juni 1971. Setahun
kemudian, angkatan pertama sudah membuat ujian negara BA.
Berjalannya waktu membawa juga perubahan dalam kebijakan pemerintah dalam
bidang pendidikan. Karena perubahan ini dan memperhatikan persyaratan yang
sudah dimiliki, maka pada tahun 1981 STFK pun diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan
Program Sarjana Filsafat. Peningkatan program studi ini terus diupayakan dengan
menyelenggarakan program pascasarjana/magister teologi sejak tahun 2003. Pada
tahun 2012 program studi ini mendapat akreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi.
Mulanya mahasiswa STFK adalah calon imam SVD
dan para calon imam praja dari keuskupan-keuskupan se-Nusa Tenggara serta atau
mantan calon imam dari kedua kelompok tersebut.
Kemudian, para calon Karmel, Trapist (OCSO),
Scallabrinian, Rogationist, Vocationist, Camelian, Stigmata, Somasca
(CRS), MSSCC pun menjalani studinya di Ledalero. Demikian pun beberapa tarekat
perempuan seperti SSpS dan CIJ mengutus para susternya belajar di lembaga ini.
Pada tahun 1990, para calon imam praja Keuskupan Atambua, Kupang dan Sumba
pindah ke Kupang.
Karena penambahan jumlah biara yang mengirim
para calonnya dan karena keterbukaan STFK menerima mahasiswa yang sama sekali
bukan calon, termasuk perempuan, sebagai mahasiswa, maka jumlah mahasiswa tidak
berkurang, malah selalu bertambah. Pada awal tahun kuliah 2012/2013 berjumlah
846 orang, yang didampingi oleh 41 orang dosen.
Sebagai lembaga ilmiah yang diakui, STFK
Ledalero berurusan dengan kementrian pendidikan nasional. Standar yang harus
dipenuhi diturunkan oleh pemerintah. Berbagai laporan mesti dikirim ke
instansi-instansi pemerintah. Secara berkala sekolah ini didatangi oleh tim
yang memberikan penilaian mengenai kualitas pendidikan.
Pekerjaan administrasi memang terkesan menumpuk,
dan orang bisa bertanya mengenai kegunaannya. Namun, semua ini pun serentak
harus dilaksanakan agar tetap diakui sebagai lembaga publik yang berhak
mengeluarkan ijazah yang diakui oleh negara. STFK bersyukur bahwa sudah ada dua
orang dosennya diberi gelar profesor dan sejumlah lainnya mendapat jabatan
akademis pada berbagai tingkatan.
Selain persoalan ijazah, pengakuan negara pun
memungkinkan STFK Ledalero berada dalam jalinan kerjasama dengan berbagai
perguruan tinggi lain. Para mahasiswa STFK semakin terlibat dalam jejaring
dengan para mahasiswa dari kampus lain. Jejaring ini membantu memperluas
wawasan para mahasiswa STFK Ledalero yang sehari-hari menekuni bidang teologi
dan filsafat dan sejumlah ilmu penunjang. Mereka diasah untuk terlibat dalam
diskursus mengenai berbagai masalah dengan rekan-rekan mahasiswa dari perguruan
tinggi lain.
Pengakuan negara ditunjukkan pula dengan
kunjungan para pejabat negara dan tokoh nasional. Salah satu kunjungan yang
meninggalkan kesan yang mendalam adalah kunjungan dari Bapak Abdurrahman Wahid,
mantan Presiden Indonesia pada tanggal 6 dan 7 Februari 2004.
Untuk pertama kalinya seorang tokoh Islam yang
disegani dan mantan Presiden Indonesia menginap semalam di Ledalero. Penampilan
beliau yang buta namun mempunyai cakrawala pengetahuan yang luas dan kedalaman
spiritualitas yang kaya meninggalkan kesan yang mendalam bagi seluruh civitas
akademica STFK Ledalero.
Gempa yang Mengubah Pola Hidup
Pada penghujung tahun 1992, nama Ledalero
kembali sering didengar atau dibaca para sahabat SVD. Alasannya, pada tanggal
12 Desember jam 13.30 terjadi gempa tektonis berskala 6, 2 Richter yang disusul
tsunami di sebagian besar pulau Flores dan sekitarnya.
Patahan Austronesia menimbulkan goncangan yang
hebat dan gelombang pasang yang menyeret banyak warga Flores. Para penghuni
Ledalero yang mulai beristirahat siang selepas makan siang, berhamburan ke luar
kamar. Ledalero kehilangan dua sama saudara dalam bencana alam tersebut.
Hampir semua bangunan di Seminari Ledalero
hancur. 19.800 m2 dari total 39.600 m2 rusak total. Untuk sementara para
penghuni Ledalero mendiami barak-barak. Karena kesulitan besar untuk mengatur
makanan dan atap bagi ratusan penghuni, para frater untuk sementara dipulangkan
ke rumah. Sebagiannya diberi pekerjaan untuk mendata kerusakan dan korban di
berbagai pelosok Flores.
Sementara itu, bantuan cepat mengalir. Jaringan
SVD sejagad sangat bermanfaat pada kesempatan ini. Pimpinan tertinggi SVD
segera menggalang bantuan. Juga di dalam negeri bantuan berdatangan. Berkat
uluran kebaikan berbagai pihak, perlahan kehidupan di Ledalero dimulai lagi,
walau dalam bentuk yang lain.
Gempa yang menghancurkan bangunan-bangunan,
memaksa para penghuni Ledalero dan pimpinan SVD untuk memikirkan pola hunian
dan metode pembinaan yang terbaik. Alternatif yang dimunculkan waktu itu antara
lain, memindahkan rumah formasi dari Ledalero ke tempat lain yang dipandang
lebih bebas dari ancaman gempa. Namun, umat yang telah membagi suka dan dukanya
bersama seminari sekian puluh tahun, tidak boleh ditinggalkan sendirian.
Justru ketika ancaman atas kehidupan menjadi
demikian riil, kita harus memutuskan untuk tinggal bersama mereka. Maka,
ditetapkan bahwa seminari tidak dipindahkan, hanya dicari model yang baru.
Yang dimaksudkan dengan model baru adalah
pembagian para frater dalam unit-unit hunian yang lebih kecil. Para frater
dibagi dalam 8 unit. Sebagian unit dapat menempati gedung yang masing-masing
tersisa dari gempa, sebagian lain harus dibangun baru.
Setiap unit memiliki kamar makan, dapur dan
ruang doa tersendiri. Dua anggota SVD berkaul kekal tinggal di setiap unit
sebagai pendamping para frater. Dengan kesatuan tempat hunian yang lebih kecil,
para frater harus lebih banyak mengambil tanggungjawab dalam mengatur hidup
harian. Belanja dan sebagian tugas memasak ditangani para frater sendiri.
Hal ini berlangsung beberapa tahun, kemudian
dibatalkan lagi. Kini diterapkan kembali untuk menerapkan lagi sistem yang
sama, di mana para frater sendiri mengelola uang belanja makanan dan bertugas
memasak sekali dalam sehari. Tiga hari dalam seminggu dua orang Frater dari
setiap unit harus bangun pagi-pagi dan berangkat ke Maumere, membeli ikan dan
sayur segar yang diperlukan untuk dua hari.
Gedung yang paling akhir dibangun adalah
gedung-gedung kuliah dan kapela seminari. Selama 9 tahun kegiatan perkuliahan
terjadi di barak-barak. Ada angkatan imam Ledalero yang menghabiskan seluruh
masa studinya dalam barak-barak tersebut. Banyak pengalaman lucu dapat
dikisahkan mengenai perkuliahan di tempat seperti itu.
Karena dinding ruangan yang terbuat dari bambu,
suara seorang dosen dapat didengar dan dimengerti lebih di berbagai ruangan,
kendati di ruangan lain tersebut mereka sedang berhadapan dengan seorang dosen
lain. Lelucon yang dikisahkan seorang dosen mengundang tertawa mahasiswa dari
semua kelas. Situasi ini berlangsung sampai tahun 2001, ketika gedung
perkuliahan STFK seluruhnya dibangun baru. Dan kapela Seminari diresmikan pada
tanggal 12 Desember 2002, tepat sepuluh tahun setelah gempa.
Tantangan ke Depan
Sebagai sebuah seminari besar, Ledalero
menghadapi tiga tantangan utama ke depan. Pertama, mencari model pembinaan yang
semakin berakar dalam realitas Indonesia serentak terbuka bagi karya misi
lintas batas. Keterbukaan terhadap realitas Indonesia terutama ditunjukkan
dalam kepekaan sosial dan tanggapan terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi
masyarakat.
Kesiapan untuk misi lintas batas terutama
terkonsentrasi pada kesediaan serta kesiapan bekerja di tengah umat yang
berbeda budaya dan bersama rekan-rekan SVD yang datang dari wilayah berlainan.
Bekerja di tengah umat yang berbudaya lain
memang tidak selalu gampang, dan sering lebih sulit lagi hidup dan berkarya
dengan rekan-rekan sebiara dari berbagai latar belakang pendidikan dan
pengalaman. Para frater pun mesti disiapkan untuk menghadapi pengalaman
menggereja yang berbeda. Budaya Nusa Tenggara yang sangat menghormati para imam
dapat membuat orang menjadi klerikalistis. Namun, para misionaris SVD dikirim
juga ke wilayah-wilayah, di mana gerakan awam sangat kuat dan imam dihargai
bukan berdasarkan status melainkan karena kualitas hidup dan kesaksian. Selain
itu pembelajaran bahasa menjadi sebuah tantangan.
Kedua, memikirkan isi dan model pendidikan yang
lebih berakar dalam realitas Indonesia serentak terbuka bagi tugas misi
sejagad. Keberakaran dalam konteks Indonesia ditumbuhkan dengan pendalaman akan
kekayaan dan kekurangan budaya sendiri, kepekaan terhadap realitas sosial
masyarakat dan ketrampilan untuk memberikan tanggapan, baik yang dalam bentuk
advokasi maupun inisiatif-inisiatif pemberdayaan.
Komitmen terhadap isu-isu keadilan, perdamaian
dan keutuhan ciptaan yang didukung oleh kerasulan Kitab Suci, komunikasi serta
animasi misioner perlu mendapat perhatian yang semakin besar. Model pendidikan
pun harus terus menerus dipertimbangkan agar sesuai dengan kondisi kaum muda
dalam Gereja dan masyarakat yang sangat kuat dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi komunikasi.
Karena berbagai pengaruh itu, usia kematangan
untuk mengambil keputusan yang definitif untuk seumur hidup tidak lagi sama
dengan kondisi pada 50 tahun yang lalu. Sebagaimana seminari-seminari lain,
Ledalero pun mesti memikirkan sistem pendidikan para calon imam biarawan yang
sanggup menanggapi perubahan ini. Kontribusi gagasan dari umat dan masyarakat,
terutama alumni awam dan imam pasti akan sangat membantu usaha ini.
Ketiga, tantangan finansial. Sebuah lembaga
pendidikan para biarawan calon imam/misionaris butuh pendanaan yang besar.
Sebagai seminari milik SVD, penanggungjawab utama pendanaan adalah kongregasi
misi ini. Dan sumber dana terbesar yang dikelola oleh serikat-serikat religius
seperti SVD adalah pemberian umat.
Di banyak tempat di berbagai wilayah dunia umat
memberikan derma untuk karya misi di berbagai tempat, termasuk karya pembinaan
para calon misionaris. Umat yang bermurah hati itu umumnya bukan orang-orang
yang hidup dalam kelimpahan. Dari kesederhanaannya mereka mempunya kesediaan
untuk berbagi. Namun, dewasa ini jumlah umat seperti ini di Eropa dan Amerika
semakin berkurang. Sebab itu, serikat-serikat misi seperti SVD harus mencari
jalan untuk menggalang dana di dalam negeri sendiri. Untuk selanjutnya,
kelangsungan pendidikan para calon imam/biarawan/misionaris di Ledalero akan
semakin bergantung pada kemurahan hati umat dan warga, terutama pada alumninya.
Kendati harus menghadapi berbagai tantangan ini,
para penghuni Ledalero tetap dipenuhi optimisme, karena mereka tidak sendirian.
Sudah sepanjang 75 tahun Tuhan memancarkan sinar kasih-Nya atas bukit ini,
melalui komitmen dan kerelaan berkorban para misionaris perintis, para
penghuni, umat dan warga, pemerintah serta alumni. Diimani, Tuhan yang sama
akan tetap menyatakan kesetiaan-Nya dan menggerakkan banyak orang untuk terus
berjalan bersama Ledalero.
Atau, dalam bahasa John Dami Mukese dalam puisi
menyongsong 70 Tahun Ledalero, "setia menapak Jalan Mentari/dalam ziarah
tak berakhir." (Paul
Budi Kleden/habis)
Tulisan ini di copy dari Pos Kupang.Com, yang dimuat secara bersambung