(Sebuah catatan penting tentang rencana tambang di Lembata)
Oleh: Ferdinand Lamak
PROTES warga beberapa desa di Kecamatan Lebatukan, Lembata terhadap Pemda Lembata lantaran telah melakukan kesepakatan dengan investor (Merukh Enterprises) untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas kandungan emas dan tembaga di wilayah itu, kini menjadi kian kusut saja. Sikap Pemda Kabupaten Lembata dalam menghadapi protes warga sejumlah kampung itu pun tampak jauh dari wajah yang ramah. Wajah ramah yang harusnya ditunjukkan secara arif oleh para pemimpin pemerintahan yang sejatinya melayani ‘tuan besar’ bernama rakyat itu. Pemda begitu defensif-nya (membentengi diri), bergeming dengan sikap awalnya dengan logika "Pokoknya kita jalan terus!"
Ironisnya, sikap ini memberikan kepada kita kesan, seolah Pemda Lembata adalah perpanjangan tangan dari pemilik modal untuk mengeksekusi kepentingan investor di Lembata. Saya malah lebih cenderung menyebut kondisi yang kini dialami oleh Pemda Lembata sebagai sebuah ‘keterjebakan’ di dalam perangkap yang mereka pasang sendiri. Hasilnya, maju dihadang rakyat, mundur dihadang investor. Serba salah!
Membabibutanya sikap Pemda Lembata yang bersikukuh untuk melanjutkan rencana penambangan itu, sejenak memunculkan pertanyaan yang menggelitik di dalam benak saya. Siapakah sesungguhnya Merukh Enterprises (ME) itu, hingga membuat pemimpin-pemimpin di Lembata sana menjadi ‘hilang pendengaran’ terhadap jeritan warganya yang menolak penambangan itu? Bukankah, mereka-mereka inilah yang telah menjadikan Anda sebagai pejabat tertinggi di seantero Lembata? Sudah sangat banyak pandangan, analisis maupun catatan kritis yang menyoroti kasus penambangan di Lembata ini.
Aspek cost of environment (biaya yang muncul karena tercemarnya lingkungan hidup) memang selalu menjadi dasar pertimbangan utama dalam sebuah rencana eksploitasi material dari perut bumi. Bahkan dengan adanya kasus ini, tidak saja orang cerdik pandai yang bicara tentang lingkungan hidup. Rakyat di Kedang dan Leragere, Lebatukan dan sekitarnya pun menjadi lebih fasih berbicara tentang isu-isu lingkungan hidup, terutama mengenai dampak penambangan di kampung mereka, terhadap ekosistem di sekitarnya, kelak.
Pemda sendiri sejauh ini sepi dari argumentasi yang logis dan rasional. Satu-satunya alasan yang selalu dikemukakan adalah benefit ekonomi yang akan diperoleh dari penambangan itu. Komentar itu juga yang saya dengar langsung dari seorang pejabat di lingkungan "think tank’ Pemda Lembata. "Lembata akan jadikabupaten yang kaya raya, karena deposit emas dan tembaga di sana nomor satu di dunia," ungkap sang pejabat itu, tanpa tahu apa yang dimaksudkan dengan ‘nomor satu’ itu.
Sebagai orang sehari-hari berhimpitan dengan isu seputar investasi dan dunia ekonomi bisnis, hemat saya, argumentasi benefit ekonomi yang kerap dikemukakan Pemda Lembata selama ini pada titik tertentu dapat diterima. Tetapi, betapapun benefit itu membuat air liur kita meleleh-leleh, komparasi dengan cost yang akan ditanggung pun harus segera menyadarkan Pemda Lembata pada pertimbangan rasional, apakah rencana ini akan dilanjutkan atau tidak.
Saya agak terheran-heran ketika ada pejabat di lingkungan Pemda Lembata yang selalu berbicara bahwa penambangan ini akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sungguh, jika benar sejatinya penambangan ini akan memberikan dampak pada kesejahteraan rakyat, lalu mengapa mereka protes? Pertanyaannya sederhana saja. Pernahkah Anda mendengar berita bahwa ada rakyat yang menolak disejahterakan oleh pemerintahnya? Saya sendiri merasa yakin bahwa rakyat Lembata belum sampai pada titik ‘tidak waras’ untuk menolak jika ada pihak yang datang menawarkan diri melepaskan mereka dari belenggu keterbatasan ekonomi. Menjadi lebih konyol lagi, pemerintah justru bersikukuh untuk tetap membuka penambangan itu untuk kesejahteraan rakyat. Masa ada pemerintah yang datang dan berkata kepada rakyatnya, "Pokoknya kamu setuju atau tidak, tetapi minggir, kami mau mensejahterakan kalian." Konyol bukan?
Meskipun mengusung logika penambangan itu sebagai sebuah upaya ‘menyejahterakan’, warga pun kemudian menolak. Mereka tidak ingin disejahterakan melalui sebuah eksploitasi perut bumi Lembata. Dilihat dari riwayat penolakan tambang di negeri ini, tidak pernah ada kasus dimana warga ditangkapi dan dibui lantaran memrotes dan menolak disejahterakan. Tetapi sebaliknya, masalah justru sering menimpa pihak yang secara diam-diam menandatangani nota kesepakatan itu. Ketika deal-deal rahasia antara pemda dan investor, konsesi-konsesi serta iming-iming menggiurkan, hingga membuat MoU itu ada, lalu pada giliran pelaksanaannya mengalami kendala, siapa yang akan disalahkan? Investor tentu saja tidak akan menerima begitu saja ketika salah satu pihak melanggar nota kesepakatan itu. Jika demikian, maka pertanyaannya kini, apa sebetulnya yang tengah terjadi di balik ngototnya Pemda Lembata ini?
Siapakah sesungguhnya Merukh?
Nama Merukh sejak September silam mulai santer terdengar di Lembata. Mulai dari kabar bahwa pengusaha ini akan masuk ke Lembata untuk menambang emas dan tembaga di sana hingga aksi protes yang dilakukan oleh warga bakal lokasi penambangan itu. Nama Merukh seketika menjadi buah bibir. Namun, pertanyaan selanjutnya, siapa sesungguhnya pria ini?
Bagi pria kelahiran 10 Juni 1936 di Pulau Rote, yang bernama lengkap Jusuf Merukh ini, persoalan di Lembata mungkin sebuah persoalan yang ‘kecil’ sepanjang pergumulannya dengan urusan tambang menambang. Merukh, anak dari pasangan Yunus Merukh (pegawai pemerintah Belanda di Maros, Sulawesi Selatan, yang kemudian bekerja di perusahaan swasta milik Belanda), dan Esther Merukh itu, kemudian beranjak remaja di Ujung Pandang (kini Makassar). Debut awal lulusan S-1 di Texas Agricultural and Mechanical University, AS ini di dalam dunia pertambangan, bermula ketika ia mendapat HPH (hak pengelolaan hutan) yang kemudian membuatnya berhasil membeli 500 kuasa pertambangan, sampai akhirnya ia menguasai sejumlah tambang emas di Indonesia.
Semua itu ia peroleh karena kedekatannya dengan kekuasaan di masa silam. Apalagi, Merukh sendiri sempat terkenal sebagai salai satu tokoh Partai Nasional Indonesia. Di masa Bung Karno, misalnya, Merukh termasuk salah seorang yang sering dipanggil ke istana. Mas Jusuf, demikian Bung Karno dan keluarganya memanggil, tak cuma terlibat dalam soal urusan negara. Tapi juga kepentingan keluarga presiden.
Sebagai Ketua PNI Jakarta Selatan, dialah yang mencarikan lahan untuk tempat tinggal Guntur dan Megawati, di kawasan Kebayoran. Begitu pula ketika Dewi Soekarno ingin membuat sertifikat tanahnya, Ibu negara ini tak segan-segan meminta bantuan Merukh. Menurut pengakuan Merukh kepada sebuah Tabloid Ekonomi Bisnis terbitan Jakarta, 1997 silam, kekayaannya bermula dari HPH yang dipegangnya. HPH itu ia kontrakkan pada pengusaha Jepang, sementara Merukh sendiri ongkang-ongkang kaki mengantungi royalti.
Masuknya Merukh ke pertambangan sendiri berawal dari ajakan seorang teman warga negara Amerika Serikat, bernama Tony Branco. Dengan modal tabungan sebanyak US$ 5 juta, Merukh membeli tak kurang dari 500 hak kuasa pertambangan (KP). Tujuannya hanya satu, mencari chrom. Tapi sial, yang ketemu selalu emas. Padahal, waktu itu harga emas sedang jatuh-jatuhnya. Kendati ditinggal mitra asingnya, di beberapa lokasi Jusuf terus melakukan penambangan. Hasilnya, selain emas, ia juga menemukan mangan dari Pulau Halmahera. Ekspor mangaan itu merupakan hasil pertamanya.
Saking tertariknya pada pertambangan, ia tak bosan-bosan mendesak pemerintah agar segera membuka bidang usaha ini bagi investor asing. Usulan itu makin gencar diajukan ketika Menteri Pertambangan dijabat Soebroto. Tidak sia-sia, pemerintah akhirnya menyetujui usulan bekas Ketua DPRD DKI ini. Pada awal 1990-an, nama Merukh sudah tidak banyak terdengar, kecuali ketika ia dan Gerry Mbatemoi disebut-sebut dalam kisruh dalam tubuh PDI pimpinan Drs. Suryadi. Namun di kurun waktu 1996-1997, namanya kembali mencuat seiring dengan mencuatnya sengketa mengenai siapa yang berhak mengelola deposit emas yang sangat besar di Busang, Kalimantan Timur.
Jusuf, yang mengaku sebagai penemu dan pemilik tambang emas Busang (bahkan konon nama Busang itu dia yang berikan), merasa sangat dirugikan, ia menggugat Bre-X, perusahaan penambangan emas dari Kanada. "Kalau saya menemukan tambang, akan dihargai orang luar, sehingga mudah membawa orang luar ke dalam untuk kerja sama," katanya kepada tabloid itu.
Kini Merukh menjadi pemilik legal right bagi pertambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Busang itu, menurut Jusuf, bukan barang yang tidak bertuan. "Saya yang menemukan, dan sudah keluar 20 juta dolar sekian untuk membuktikan itu. Uangnya dari mana? Saya pinjam. Kalau kita meminjam dari seseorang, kemudian diserahkan ke orang lain-lain, ‘kan saya bisa dituntut. Pengacara-pengacara saya juga bisa nuntut saya."
Nah, dari gambaran mengenai siapa sesungguhnya Merukh di atas dengan segala sepak terjangnya di dunia pertambangan nasional, maka saya memperkirakan, langkah Pemda Lembata ini cenderung menjebak diri sendiri. Kiprah Merukh yang kerap dijuluki ‘Sang Veteran’ atau "Baron of Mining’ ini sudah menunjukkan bahwa beberapa sengketa penambangan akibat dilanggarnya MoU, akhirnya ia menangkan.
Bagi Pemda Lembata saat ini, maju kena, mundur pun kena. Tentu saja, tergantung klausul dari MoU yang mereka tandatangani. Ini seperti yang terjadi pada kasus sengketa hak eksplorasi tambang emas Martabe, di Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Implikasi yang lain yang mungkin timbul adalah, jika eksplorasi merekomendasikan bahwa kandungan emas dan tembaga di dalam perut Lembata layak dieksploitasi, maka belum tentu ME akan menggelontorkan investasi untuk menanganinya. Apalagi jika bermitra dengan investor asing sudah lama menjadi prinsip Merukh dalam berbisnis di dunia pertambangan, bukan tidak mungkin pola ini pun akan diterapkannya di Lembata.
Catat saja beberapa fakta berikut, dalam Kontrak Karya PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) PT. Tanjung Sarapung milik Merukh, mendapat saham 20%. Demikian juga di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), melalui bendera PT Pukuafu Indah, Merukh mengendalikan 20% saham perusahaan itu. Di dalam bisnis, pola seperti ini merupakan hal yang wajar. Konsesi terhadap goodwill, atau intangible asset lain dalam bentuk kepemilikan saham (share) adalah hal yang normal. Tetapi ini akan menjadi petaka besar bagi warga Lembata, dan bukan tidak mungkin akan menjadi mimpi buruk juga bagi masyarakat di dua kabupaten terdekat, Flores Timur dan Alor, jika limbah (tailing) kemudian dialirkan lewat pipa bawah laut untuk dibuang ke tengah laut.
Yang menjadi sangat memilukan, semua dampak yang timbul dari ekploitasi tambang tidak langsung dirasakan sekarang. Bahkan sampai masa jabatan bupati dan Wakil Bupati Lembata saat ini usai pun, dampaknya belum terasa. Tetapi tunggu, nanti pada 10 hingga 15 tahun setelah eksploitasi dilakukan, bukan tidak mungkin berita mengenai kasus pencemaran lingkungan di Lembata dengan korban rakyat jelata, akan menghiasi wajah koran ini saban harinya. Sama seperti yang dialami oleh warga di sekitar 527.448 hektar lahan yang menjadi wilayah operasi PT Newmont Minahasa Raya, di Desa Ratotok, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Pernahkah terbayang oleh warga setempat bahwa Kontrak Karya yang disetujui oleh Presiden RI kala itu, Soeharto, pada 6 November 1986, kemudian akan melahirkan kasus pencemaran lingkungan yang sempat heboh pada 2004 silam? Dilema Pemda Lembata dalam kasus rencana penambangan ini, hanya akan berakhir jika Pemda Lembata tidak melihat MoU sebagai sebuah awal dari kiamat jika melanggarnya. Jika masih meyakini bahwa suara rakyat adalah Suara Para Leluhur, Lewo Tana, Leu Au’ dan Suara Tuhan Penguasa Alam Semesta, maka tak perlu takut membangunkan, sekalipun itu "Sang Baron" yang tengah nyenyak tertidur pulas. Jika sudah cukup lama, banyak kebijakan yang tidak menggunakan hati nurani maka, kini pergunakanlah. Sebagaimana nasihat nan arif dari para leluhur Lamaholot berikut ini, "Peten penukut taan onet." (Yang Berarti: Pikirkanlah dan renungkanlah dengan hati nuranimu, sebelum membuat keputusan).
*Penulis adalah jurnalis dan pemilik media, tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar