Pastor Pater Payong, SVD |
Gabungan dari sejumlah organisasi kemanusiaan mengeluarkan
petisi bersama di Jakarta, Minggu (24/2), mendesak agar Gereja Katolik berperan
aktif dalam penuntasan kasus meninggalnya Merry Grace, mantan suster dan dua
anak kecil yang kerangkanya ditemukan di kompleks Tahun Orientasi Rohani (TOR)
Lela, Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir Januari lalu.
Petisi yang dikeluarkan oleh Vivat Internasional, Pelayanan
Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma), Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah organisasi lain ini diputuskan
setelah diadakan Misa dan diskusi bersama dengan menghadirkan narasumber utama
Pastor Peter Payong SVD, wakil keluarga korban yang adalah paman Merry Grace.
Sebagaimana diketahui, menurut pengakuan pelaku Herman Jumat
Masan (HJM), mantan pastor yang sudah ditahan polisi di Maumere, Merry Grace
dan anaknya meninggal di kamar HJM saat melahirkan pada 2002. Anak tersebut
merupakan hasil hubungan gelap mereka. Bersama bayinya itu, Merry Grace dikubur
di dekat kamar HJM – yang kala itu bertugas sebagai pendamping calon imam projo
di TOR Lela – pada malam hari ketika penghuni seminari sedang tidak ada di
tempat.
Sebelumnya, pada 1999, Merry Grace melahirkan anak pertama,
juga hasil hubungan gelapnya dengan HJM, tapi kemudian meninggal karena
mulutnya ditutup oleh HJM. Saat kedua kejadian ini berlangsung, HJM masih
berstatus sebagai imam projo Keuskupan Larantuka dan Merry Grace sudah
berstatus sebagai mantan suster SSpS. Ia meninggalkan biara pada 1997.
Petisi yang dikirimkan kepada 4 Uskup di Flores, Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI), juga sejumlah lembaga pemerintahan seperti Komnas
HAM, Polri, termasuk media menyatakan, “Kasus yang terjadi sungguh bertentangan
dengan nilai kemanusiaan. Kami berpendapat ini merupakan tindakan kriminal yang
terencana”.
Semua pihak yang mengetahui informasi tentang kasus ini
didesak untuk tidak bisu, tetapi berkolaborasi dengan polisi dalam membantu
proses penyelesaian yang hingga saat ini masih dalam tahap penyelidikan dan
dalam waktu dekat akan dilakukan rekonstruksi kejadian.
“Kami mendesak institusi Gereja Katolik di Flores mendorong
semua pihak agar membantu penyelesaian masalah ini. Kami juga mendesak
institusi Gereja Katolik, agar segera meminta maaf pada korban, umat seluruhnya
dan khususnya keluarga korban”, bunyi petisi ini.
Pastor Peter Payong mengatakan, dirinya memang kecewa karena
hingga saat ini pihak Keuskupan Larantuka, institusi yang menaungi pelaku
ketika kejadian pembunuhan berlangsung, belum menyatakan sikap resminya. Hal
ini berbeda dengan Keuskupan Maumere yang sudah eksplisit menyatakan dukungan.
“Saya tidak tahu, apakah akan ada sikap resmi dari pihak
Keuskupan Larantuka. Tapi, yang jelas saya berharap, dalam waktu dekat gereja
segera bersuara, misalnya dengan menyatakan dukungan penuh atas penuntasan kasus
ini”, katanya.
Pastor Peter yakin sudah jelas bukti yang mengarah pada
pelaku HJM. “Tapi, kami juga menghargai kerja keras polisi terkait penyelidikan
kasus ini”, tambahnya.
Sementara itu, Agustinus Payong Dosi, kuasa hukum keluarga
korban mengatakan, pihaknya berharap pelaku dihukum maksimal sesuai dengan
pasal yang dilanggarnya.
“Kami memang belum merasa puas sebelum mengetahui hukuman
yang akan diberikan kepada pelaku”, ungkapnya.
Ia menjelaskan, apa yang telah dilakukan oleh pelaku tidak
hanya mencederai kemanusiaan, tetapi juga merusak Gereja.
“Kasus ini menjadi pelajaran bagi kaum berjubah untuk
menghargai komitmen mereka pada pilihan hidup yang sudah diambil. Saya
berharap, kaum berjubah, siapapun dia, yang telah melanggar kaulnya tidak hanya
mengaku dosa, tapi juga segera meninggalkan jubah,” terangnya.
Agustinus menambahkan, Gereja tidak boleh menutup-nutupi
kasus ini dengan alasan menjaga nama baik.
“Ini mesti dibuka. Saat persidangan nanti, kami meminta agar
media dengan bebas meliput, biar semuanya jelas. Biar ini menjadi kesempatan
bagi Gereja untuk berefleksi diri”, tegasnya.
Menanggapi kasus ini, Pastor Bernardus Soebroto
Mardiatmaadja SJ, Dosen Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
berharap, perlu kecermatan untuk melihat apa latar belakang kasus ini.
“Memang banyak pastor yang brengsek. Tapi, menangani masalah
seperti ini membutuhkan data yang benar-benar akurat”, katanya.
Ia berharap agar tidak melakukan generalisasi bahwa banyak
orang tidak peduli, termasuk pihak Gereja.
Ia pun meminta agar ada intropeksi diri semua pihak. “Harus
dicari sebabnya, mengapa pelaku yang sudah studi teologi bisa dengan enteng
membunuh. Apa ini punya kaitan dengan dimensi psikologis, pola pendidikan
di seminari tinggi, seminari menengah atau mungkin keluarga pelaku.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu digali”, katanya.
Ia juga menegaskan, sebagai orang Katolik, pelaku juga punya
hak spiritual untuk mengaku dosa.
“Soal hukum tentu jalan terus, tapi pelakunya juga mesti
diberi kesempatan untuk mengakui dan memohon ampun atas kesalahannya. Kita
mesti adil, termasuk menjamin terpenuhinya hak spiritual pelaku”, tegasnya.
Sumber : http://indonesia.ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar