Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gila diartikan sebagai
sakit ingatan, sakit jiwa, sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal;
tidak biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan; terlalu,
kurang ajar, ungkapan kagum; atau dapat juga berarti terlanda perasaan sangat
suka. Jadi memang pemakaian kata gila tidak melulu identik dengan seseorang
yang sakit ingatan.
Kabupaten Lembata dalam sebulan belakangan ini, halaman
media massa di penuhi dengan berita tentang ketidakharmonisan hubungan dua
lembaga penyelenggara pemerintahan di daerah yakni DPRD dan Pemerintah, tidak
hanya para penyelenggara negara (baca: pemerintahan) rakyatpun ikut terkuras
pikiran dan energinya.
Karena berpikir untuk memajukan suatu daerah tidak hanya pemimpin,
tapi juga rakyat. Perseteruan dua lembaga penting dan terhormat di Kabupaten
Lembata itu membuat rakyat kita bertanya bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
padahal mereka selalu bersama dalam mengambil sebuah langkah dan menentukan
kebijakan untuk membangun daerah ini. Untuk dan atas nama siapakah itu? “Gila”
Ditujukan kepada siapa ungkapan tersebut, saya tidak tahu. Tetapi
ketika membaca, atau mendengar informasi-informasi terkait perseteruan dua
lembaga ini, saya percaya kita tentu bergumam “Gila” dan memang Gila, jika dua
lembaga yang seharusnya berpikir cerdik untuk membangun rakyat, malah
berkelahi. Kalau terus berkelahi, kapan mereka punya waktu untuk mengurus
rakyat?
Sedikit kita flas back ke tahun 2012, dimana kita juga
dikabarkan tentang penggunaan dana perjalanan dinas yang juga membuat rakyat
harus mengurut dada dan sudah pasti kata “Gila” itu tentu terlontar tanpa disadari.
Bagaimana tidak, di tengah mirisnya kondisi ekonomi rakyat, dan
rusaknya sarana infrastruktur jalan mereka (baca: pemimpin) Para wakil rakyat
dan elite birokrasi malah berpikir untuk jalan-jalan menghabiskan dana. Tak
tahu untuk apa dan apa pula yang di bawah untuk Lembata.
Kita juga tentu masih ingat akan wacana pembelian 25 unit
mobil yang di peruntukan bagi sarana operasional 25 orang anggota DPRD.
Saat itu saya sempat berpikir, ini ide gila. Bagaimana
mungkin rakyat yang adalah tuan di negeri ini selalu mengeluh tentang sulitnya
sarana transportasi, biaya sekolah yang mahal, harga komoditi yang murah, malah
wakilnya membeli mobil, hanya untuk alasan kenyamanan dalam tugas. Gila bukan? tugas
pemimpin untuk membuat rakyat menjadi nyaman, bukan malah sebaliknya.
Dari hari ke hari, kita disuguhi berita-berita yang tidak
hanya dapat membuat kita mengurut dada, tapi juga sering mendorong kita untuk
berkomentar, “Gila!” Cerita getir memilukan (bahkan kadang memalukan) ini datang
silih berganti. Masyarakat pun cenderung bersikap permissiveness. Hari ini
menjadi headline, esok hari sudah tidak dibicarakan atau bahkan dilupakan.
Saya berpikir tak
usah lagi mengurusi hal-hal remeh-temeh, apalagi harus berkelahi. Banyak
persoalan besar yang perlu diselesaikan di negeri ini, rakyat ile ape yang
kesulitan air, orang atadei yang berteriak minta jalan di perbaiki, nelayan
lewoleba yang menangis akibat lautnya rusak, reformasi birokrasi yang masih
asal-asalan, duagaan mafia proyek, dugaan mark up harga, mutu pekerjaan yang
buruk, dan segepok masalah lain yang masih menanti untuk diselesaikan.
Berbagai masalah di negeri kita ini, membutuhkan tindakan
cepat nan tegas dan menyata dari seorang pemimpin seperti yang dijanjikan saat
kampanye. Dalam konteks ini memang kita membutuhkan pemimpin yang bertindak
cepat untuk mengatasi segala persoalanya yang di hadapi, yang kemudian dapat
membuat kekaguman hingga harus bergumam “wah gila benar” atau mungkin gumaman
lain yang juga tak kalah gilanya. “Luar bisa, kapan dia punya waktu untuk
keluarganya kalau saat liburpun dia masih sibuk urus Lembata”
Francis Fukuyama dalam bukunya, Trust, mengingatkan kita,
langkah apa pun tak akan cukup untuk menyelesaikan masalah suatu bangsa tanpa
adanya trust, jaminan rasa aman. Sesungguhnya yang diperlukan saat ini adalah
kerelaan para pemimpin dan elite untuk saling mendengar, mengakhiri perdebatan,
dan mencari jalan keluar terbaik buat menyelamatkan bangsa dari kehancuran.
Para pemimpin harus duduk bersama dan mendengarkan aspirasi
masyarakat. Dan yang tak kalah penting, pemimpin haruslah memberi contoh
teladan yang baik bagi rakyatnya. Panutan harus dimulai dari atas. Tanpa itu
semua, jangan harap kabupaten ini keluar dari situasi gila seperti saat ini.
sekedar catatan
pinggir
Yogi Making
Tidak ada komentar:
Posting Komentar