Tragedi berdarah pada Minggu, 17 Agustus 2014 di Kecamatan Wulandoni, kabupaten Lembata masih menyisahkan sejumlah masalah. Tak saja penyelesaian hukumnya, upaya pemerintah dan Polres Lembata untuk mendamaikan dua kelompok warga yang bertikai, gagal total. Kondisi wulandoni masih mecekam. Warga Pantai Harapan terkurung, kehidupan ekonomi mereka memprihatinkan.
Upacara Aweksmei |
Kecamatan Wulandoni dikenal sebagai sebuah kecamatan yang memberi
banyak pelajaran terutama tentang hidup bertoleransi antar agama, tidak saja
bagi orang Lembata, tetapi Indonesia umumnya. Dari Wulandoni, orang Lembata
mengenal Islam dan dari Wulandoni pulalah orang lembata mengenal agama katolik.
Dua kampung di Kecamatan Wulandoni masing-masing Kampung raja Lebala (Lebala
Leworaja) dan Lamalera adalah pintu masuk dua agama besar ini. sejak masa
penyebaran agama, dua kelompok warga beda agama itu sudah hidup berdampingan,
tak ada perang karena berbeda keyakinan, mereka bersahabat, saling memberi dan
saling menerima.
Salah satu
bukti kearaban hidup warga wulandoni itu tergambar jelas dipasar wulandoni.
Warga pedalaman yang memeluk agama katolik datang membawa hasil pertanian untuk
dibarter dengan hasil laut yang berasal dari nelayan Lebala.
Di Wulandoni, kawin bedah agama adalah
biasa. Hubungan perkawinan itulah membuat mereka saling dekat sebagai saudara.
Adalah lumrah, jika muslim Lebala memiliki hubungan kekerabatan dengan warga
katolik. Seperti diulas Pastor Stef Tupen Within, putra desa Ataili yang
memilih hidup membiara dan kini berkarya di Keuskupan Agung Ende. Di ruang
sidang DPRD Kabupaten Lembata, Selasa (23/9) Tupen Within bersama 15 imam
Katolik lainnya datang untuk menyampaikan surat pernyataan yang ditandatangani
oleh 93 imam se Keuskupan Larantuka serta berdialog dengan DPRD Kabupaten
Lembata tentang konflik Wulandoni.
“Saya lahir di Ataili, sebagai anak wulandoni saya tahu betul kalau
kehidupan kami orang Wulandoni itu saling terkait. Saya dithabiskan menjadi
imam 9 tahun silam, banyak warga muslim
Lebala Leworaja dan Pantai Harapan hadir,
bahkan mereka harus tinggal berhari-hari dengan kami sampai hajatan saya
selesai. Kami punya hubungan kekerabatan yang sangat dekat, dan kehidupan kami
tidak bisa terpisahkan,” kisahnya.
Karenanya, Tupen Within yang dikenal sebagai pemimpin redaksi surat
khabar harian flores pos itu menyangyangkan kalau dua kelompok warga yang
memiliki hubungan kekerabatan itu saling menyerang. Memang bukan soal agama,
tetapi soal tapal batas. Persoalan yang mestinya ditangani secara bijak oleh
Pemerintah dan aparat keamanan namun dibiarkan berlarut hingga warga harus
mengambil cara sendiri untuk menyelesaikannya.
Kronologi Peristiwa
Penelusuran floresbangkit.com ke berbagai pihak ditemukan
bahwa, pertikaian antar warga dua desa itu mulai memanas sejak bulan Mei 2014,
dimana warga desa Atakera (desa tetangga Pantai Harapan) menyerahkan lokasi
tanah milik mereka untuk dijadikan pemukiman bagi warga yang ingin bermukim di
Wulandoni, namun tidak memiliki tanah.
Kala kegiatan pengukuran areal pemukiman baru
sedang terjadi, pihak Pantai Harapan datang menghentikan dan mengklaim kalau
tanah yang rencananya akan dijadikan pemukiman baru untuk warga yang berniat
tinggal di Wulandoni, adalah milik warga Pantai Harapan. Saat itu sempat
terjadi keributan kecil antar warga Atakera (yang mengklaim memiliki tanah yang
hendak diserahkan) dengan pihak Pantai Harapan.
Persoalan kemudian diambil alih pemerintah
Kecamatan Wulandoni, setelah mempertemukan dua pihak yang bersengketa, lalu
diputuskan agar kedua pihak tidak boleh melakukan kegiatan diatas tanah yang
disengketakan sampai ada keputusan pasti.
Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa, terjadi
perbedaan pandangan. Pihak Wulandoni berpendapat agar pertikaian tanah diselesaikan
melalui jalur hukum, sementara Pantai Harapan bersikukuh agar penyelesaian
konflik tanah diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Pendapat berbeda itu
memicu konflik yang kemudian melibatkan warga Wulandoni dan Pantai Harapan.
Silang pendapat yang hampir saja memicu perkelahian
itu lalu ditangani oleh aparat Babinsa dan pihak Polisi kecamatan Wulandoni.
Puncak Konflik
Langkah aparat keamanan dan pihak pemerintah
Kecamatan Wulandoni sebagaimana yang diulas pada bagian terdahulu ternyata
tidak menyentuh akar persoalan, masalah terus berlarut hingga akhirnya, Sabtu,
tanggal 16 Agustus 2014, pihak Pantai Harapan melakukan penggalian parit yang
rencananya akan dibangun talud pengaman pantai. Sebuah proyek dengan sumber
dana dari Program Nasional Pemberdayaan Mayarakat-Mandiri Perdesaan (PNPM - MP),
Kecamatan Wulandoni.
Tindakan penggalian parit oleh pihak Pantai Harapan
itu dinilai melanggar kesepakatan, karena itu pemerintah Kecamatan Wulandoni
melalui Sekertaris Camat (Sekcam), Bosco Bataona berupaya untuk menegur agar
pihak Pantai Harapan menghentikan kegiatan sementara, menanti keputusan terkait
status tanah. Teguran pemerintah kecamatan tidak diindahkan Warga Pantai
Harapan hingga terjadi perang mulut antar salah satu tokoh Masyarakat Pantai
Harapan, dengan Sekcam Wulandoni, Bosco Bataona.
Tak berhenti disitu, Bosco lalu berkoordinasi
dengan pihak PNPM Kecamatan Wulandoni dalam hal ini, Ketua Badan Kerjasama
Antar Desa (BKAD) Gabriel Labi Kilok dan salah satu pengurus Badan
Pemusywaratan Desa (BPD) Wulandoni Valentinus Tue Bakior untuk datang memeriksa
lokasi proyek. Setelah diamati, ternyata penggalian parit yang dilakukan pihak
pantai harapan tidak sesuai dengan rencana pembangunan dari PNPM Kecamatan
Wulandoni.
Dasar pengamatan itu, Ketua Badan Kerjasama Antar
Desa (BKAD) Gabriel Labi Kilok dan pengurus Badan Pemusyawaratan Desa (BPD)
Wulandoni Valentinus Tue Bakior, menuju kantor desa Pantai Harapan untuk
bertemu pemerintah dan masyarakat Pantai Harapan guna meminta agar pekerjaan
dihentikan sementara, sampai ada penyelesaian sengketa batas tanah.
Tidak terima dengan permintaan ketua BKAD dan salah
satu pengurus BPD Wulandoni, perang mulut terjadi yang berujung pada
pengroyokan. Tindakan main hakim sendiri oleh warga Pantai Harapan itu terjadi
sekitar pukul 11.00 wita, Sabtu 16/8/2014, dimana pada saat bersamaan warga
Wulandoni sedang melakukan persiapan langan yang rencananya akan dipakai saat apel
bendera dalam rangka memperingati HUT-RI yang ke 69.
Segera setelah kejadian pengroyokan, pelaku dan dua
orang korban dijemput pihak Polisi ke Pos Polisi Kecamatan Wulandoni untuk
dilakukan pemeriksaan. Masyarakat Wulandoni yang mendapat informasi
pengroyokan, lalu menghentikan kegiatan dan berbondong-bondong menuju jalan
raya.
“Kami datang ke jalan, tetapi tidak ada tindakan
apa-apa. Semua kami diam, saat itu suasana sedikit mencekam karena kami takut
kampung kami diserang,” kata salah satu sumber yang takut menyebut namanya. Saat
yang bersamaan muncul beberapa warga Pantai Harapan yang berkonfoi sambil
membawa semen dan memasang pilar persis di samping barat pasar barter
Wulandoni.
Sebagai gambaran, pasar barter Wulandoni hanya
dibuka setiap hari Sabtu dalam minggu, kejadian pengroyokan dan konfoi
kendaraan oleh warga Pantai Harapan terjadi saat warga sedang melakukan barter.
Terang saja, ketika konfoi kendaraan yang melintas di area pasar membuat semua
pengunjung pasar takut, kemudian lari berhamburan menyelamatkan diri. Salah
satu sumber mengatakan, saat sekelompok warga Pantai Harapan sedang memasang
pilar, terdengar juga teriakan bernada provokatif. “mereka teriak bilang, bakar
wulandoni. Karena itu kami takut dan mulai lari,” ujar sumber.
Sekitar jam 18:00 dihari yang sama, kedua korban pengeroyokan
dibawa oleh polisi ke Lewoleba untuk divisum dan dimintai keterangan di Polres
Lembata. “Saya sempat omong ke Polisi supaya bawa juga dengan pelaku, karena
kalau pelaku tidak ditangkap sangat berbahaya. Saya takut jangan sampai muncul
lagi peristiwa susulan. Polisi hanya bilang ke saya, kami tidak bisa bawah
pelaku, karena takut bentrok dengan warga pantai harapan, dan polisi punya
protap sendiri untuk menangani kasus seperti ini,” kata Kepala Desa Wulandoni, Servasius
Sidu Beding.
Minggu 17 Agustus 2014 pukul 10.00 wita, upacara
apel bendera dalam rangka memperingati HUT-RI yang ke 69 digelar tanpa
kehadiran desa-desa lain. Apel HUT kemerdekaan RI itu digelar dengan sangat
sederhana, tak ada pidato kenegaraan bahkan camatpun hanya berpakaian sipil. Perserta
upacara terdiri dari PNS Kecamatan Wulandoni, siwa TKK, SD, SMP, SMK Negeri
Lamalera dan Pasukan Pengibar Bendera, dan masyarakat desa Wulandoni.
Seperti biasa, usai mengikuti apel bendera,
masyarakat diajak untuk berkumpul sembari menikmati minuman ringan yang
disediakan pemerintah kecamatan. “Kami juga tidak langsung pulang, karena masih
minum bersama, juga sedang tunggu Kapolres yang rencananya datang untuk bertemu
kami,” tutur Kades Wulandoni.
PKL. 13.00 dihari yang sama, muncul sekelompok
masyarakat Pantai Harapan, dan menyerbu
lokasi apel dengan cara melempari orang-orang di lokasi apel bendera dengan batu.
Masyarakat, PNS dan anak-anak sekolah panik dan berlarian masuk ke halaman
Gereja dan Pastoran, untuk menyelamatkan diri. Penyerang terus membabi buta, bangunan
gereja katolik pun dilempar warga penyerang. “Ada polisi di lokasi apel
bendera, tetapi tidak ada tindakan apa-apa,” kata pastor Paroki Wulandoni
Gabriel Djogo Balun, Pr.
Mendapat serangan mendadak itu, beberapa pria
Wulandoni lalu berusaha untuk melawan dengan alat seadanya, mereka berusaha
untuk menghalau pihak penyerang agar tidak lagi terjadi kekacauan. Beberapa
rumah disekitar gereja dilempari pihak penyerang hingga kaca-kaca jendela
pecah. Pihak penyerang bahkan berusaha untuk mencari kepala Desa Wulandoni
dirumahnya. Karena tidak ditemukan, penyerangpun mencari sang Kades hingga ke
rumah pastor Wulandoni.
Tak berselang beberapa lama, terlihat Kapolres
Lembata, AKBP. Wresni Haryadi Satya Nugroho melintas dijalan depan Gereja.
Sempat terdengar dua kali bunyi tembakan peringatan. Masyarakat wulandoni yang
terkurung dihalaman gereja dan rumah pastoran lalu menelpon kerabatnya yang
tinggal di desa-desa sekitar, guna meminta bantuan. Banyak warga termasuk camat
wulandoni dan sekcam baru keluar dari halaman gereja untuk menyelamatkan diri
ke tempat lain, setelah pasukan penyerang membubarkan diri.
Sekitar pukul 15.00 sampai Pukul 16.00
kelompok-kelompok masyarakat dari Lewuka, Snaki, Lamalera tiba di Wulandoni
untuk menolong keluarga mereka di Wulandoni. Mereka ingin bergerak menuju
lokasi perbatasan Wulandoni-Pantai Harapan, namun ditahan oleh beberapa Polisi,
sementara pada saat yang bersamaan sudah muncul pasukan Pantai Harapan dari
arah timur disekitar lapangan bola kaki, depan kantor camat Wuladoni. Polisi
terus memaksa warga wulandoni untuk tidak bergerak, namun dari arah timur warga
Pantai Harapan terus merangsek masuk tanpa ada upaya pencegahan oleh pihak
keamanan.
Tak terima dengan tindakan polisi, warga wulandoi
dan sekutu lalu berusaha menerobos barikade pihak keamanan dan menuju Lapangan bola kaki depan kantor Camat
(wilayah sengketa). Tawuran kemudian tak terhindarkan. Perang senjata tak
terhidarkan hingga menimbulkan korban jiwa dan luka.
“Herannya saat kejadian itu polisi justru ada di
perbatasan antara Lamalera dan Wulandoni (di Watubua), padahal mereka datang
untuk menjaga keamanan karena sengketa antara Pantai Harapan dan Wulandoni,”
kata Pastor Paroki Lamalera, Romo Leonardus Lewokrore, Pr.
Alasan Warga Pantai Harapan Kembali
Menyerang
Salah satu warga Pantai Harapan Arba Lamarongan saat dikonfirmasi
beberapa waktu lalu membenarkan kalau, Minggu 17 Agustus 2014 sempat terjadi
pertikaian, namun tidak sampai menelan korban jiwa. Dia menuturkan, setelah
menyerang, warga Pantai Harapan diamankan oleh pihak polisi. Penyerangan kedua
itu baru terjadi tat kala mereka mendapat informasi bahwa, warga Wulandoni yang
dibantu warga lain disekitar Wulandoni sudah menerobos masuk ke wilayah pantai
harapan.
Singkat cerita, tanpa memperdulikan pihak keamanan warga Pantai Harapan
lalu berlarian keluar kampung sambil memegang senjata tradsional seperti,
samurai, parang dan lembing untuk melakukan perlawanan. “Kami dengar bilang
orang wulandoni dan snaki sudah masuk serang kami, itulah membuat kami marah
dan lari keluar kampung untuk melawan,” ujar Arba.
Sementara terkait kronologis pembunuhan Krinus Lanang Manuk, Arba
mengaku tak tahu persis. “Saya tidak tahu bagaimana dia dibunuh, tetapi dari
ceritera orang bahwa korban itu dibunuh disamping kantor Polisi, saya tidak
tahu siapa yang melakukan karena saya tidak ada disekitar situ,” katanya.
Sementara itu, sumber lain yang sempat dikonfirmasi menuturkan, kalau
korban sebelum di hababisi, terlebih dahulu ditangkap oleh beberapa pemuda desa
Pantai Harapan. Setelah senjata milik korban dilucuti, para pemuda berupaya
untuk menjadikan korban sebagai tawanan, tiba-tiba datang lagi warga lainnya.
Tanpa diduga, warga yang baru datang langsung menebas korban dari belakang. Korban
terjatuh lalu diseret ke jalan raya depan pos polisi. Diduga, peristiwa
pembunuhan itu terjadi didepan mata polisi.
“Mestinya polisi melakukan tindakan tegas kalau perlu tembak kaki,
tidak sekedar menegur atau membuat tembakan peringatan, kalau begini sama
dengan polisi melakukan pembiaran,” ujar Pater Stef Tupen Within mengomentari
tindakan polisi.
Tanggapan DPRD
Tak beda dengan Imam, anggota DPRD Lembata pun menilai jika pemerintah
dan aparat keamanan jeli dan bertindak tegas, kekisruan antar warga tidak
terjadi. Kasus Wulandoni bahkan dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Pernyataan itu disampaikan anggota terhormat, DPRD Kabupaten Lembata
Petrus Bala Wukak, SH. menurutnya, penyelesaian sengketa tapal batas antar desa
Pantai Harapan dan Wulandoni, harusnya melibatkan pihak Lamalera dan pihak
Lebala Leworaja sebagai pemilik hak ulayat. Dua kampung yang dalam pemerintahan
Belanda terbagi dua menjadi Hamente Lebala dan Hamente Lamalera. Batas dua
Hamente itulah yang kini sedang diperebutkan dua desa yang bertikai.
Sementara itu terkait penyerangan, mantan Koordinator Aldiras itu
melihat peristiwa peperangan antar dua kampung di kecamatan Wulandoni sebagai
bentuk pelanggaran HAM. Setelah mengamati vidio amatir yang diputar para
pastor, Petrus mengatakan tindakan pembiaran baik dari pemerintah dan aparat
penegak hukum adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM, selain itu tindakan
penganiayaan hingga menyebabkan Krinus Lanang Manuk meninggal dunia oleh warga
Pantai Harapan pun sebuah bentuk pelanggaran HAM.
Senada dengan Piter Bala Wukak, anggota DPRD lainnya Bediona Philipus
melihat hal yang sama, karenanya Bediona justru berpendapat kalau sebaiknya
DPRD mendukung sikap para imam. “saya ajak kita untuk bertemu Komnas HAM,
Kapolda dan Ombutsman. Kita sedang bicara untuk menyuarakan suara-suara mereka
yang tidak bisa bersuara kepada pemerintah yang buta dan tuli terhadap
persoalan masyarakat, kepada polisi yang tak lagi diharapkan untuk
menyelesaikan masalah yang kian bertumpuk,” ujar Bediona.
Bediona juga menghimbau agar warga Muslim tidak menganggap negatif
terhadap sikap para imam, karena menurutnya, hal yang dilakukan oleh kaum juba
putih itu sama sekali tidak menyentuh dimensi hubungan horinsontal antar
masyarakat yang sedang bertikai, namun yang disoroti adalah dimensi kinerja
pemerintahan dan pihak kepolisian. Bedioana yang tengah dirundung kasus hukum
karena diduga memalsu surat usulan pemberhentian Bupati Lembata yang ditujukan
ke MA itu menegaskan, kasus wulandoni seharusnya tidak boleh dibiarkan
berlarut, tetapi segera diselesaikan pemerintah saat konflik mulai terjadi.
Polisi Tidak Tegas
Mencermati kronologi peristiwa perang tanding itu, 16 imam katolik
lembata itu berpendapat, jika pemerintah tanggap untuk mencegah dan
menyelesaikan masalah tapal batas, maka perang tanding antar warga tak mungkin
tejadi. Karena perselisihan tapal batas itu sesungguhnya sudah terjadi sejak
Wulandoni resmi menjadi ibu kota
kecamatan Wulandoni, bahkan jauh sebelum itu perselihan batas itu sudah terjadi.
Para imam juga menyanyangkan tindakan aparat kepolisian tidak
profesional. Menurut mereka, polisi yang profesional mampu membaca tanda-tanda
kekacauan, dan mengambil langkah pencegahan. Anehnya, peperangan itu terjadi
saat Kapolres Lembata AKBP. Wresni Hryadi Satya Nugroho, ada di TKP dan baru
saja bertemu dengan warga Pantai Harapan.
Dengan demikian, wajarlah jika pemimpin umat katolik itu berkesimpulan
bahwa polisi dengan sengaja membiarkan warga untuk saling menyerang hingga
jatuh korban jiwa. Pernyataan para imam ini cukup berdasar, karena melalui
vidio amatir yang di putar dalam ruang sidang DPRD terlihat tak satupun
perintah atau tindakan tegas yang diambil pihak kemanan untuk mengamankan
situasi.
Melalui vidio yang menurut para imam itu diperoleh dari pihak polisi,
terlihat aparat hanya berusaha menghalau warga sekenanya saja, padahal warga
sudah bertindak sangat brutal. Sebuah rumah terbakar, kantor camat dilempar.
Terlihat sekelompok warga datang dengan menggenggam senjata tajam. Walau
terdengar beberapa kali bunyi tembakan, namun polisi tak pernah berusaha untuk
merebut senjata milik warga.
“Cara polisi mengahalau warga saat perang itu, sangat berbeda dengan
kasus di tanah garam dimana warga Ile Ape berusaha untuk menahan Bupati yang
melintas. Polisi bahkan siap bentrok dengan warga. Di Wulandoni, terlihat jelas
sekali kalau polisi membiarkan warga untuk saling menyerang,” ujar Romo Gusti,
Pr.
Upaya Pemulihan
Sebagaimana disorot dalam ulasan terdahulu, cara penyelesaian konflik
yang difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Lembata adalah sebuah upaya instan
dan dipandang bukan sebagai bentuk menyelesaikan kasus namun lebih pada bentuk
penghentian sementara, tampak jelas dalam pernyataan sumber-sumber bahwa, kasus
wulandoni hanya bisa diselesaikan jika akar persoalan dicabut.
Catatan FBC tentang upaya penyelesaian kasus dimuali sejak Senin, 18 Agustus
2014 dimana Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur bersama Danrim Flotim, Romo
Deken Lembata, Romo Noldy Koten dan 100
personil Brimob, datang ke Wulandoni. Kehadiran Pemerintah Kabupaten Lembata
dalam rangka menyelenggarakan pertemuan dengan masing-masing pihak. Hasil
pertemuan dengan pihak bersengketa itu melahirkan kesepakatan pemulihan yang
dituangkan dalam berita acara pemulihan dan ditandatangani oleh pemerintah dan
tokoh masyarakat dari dua pihak yang bersengketa. Bupati Lembata tercatat dua
kali hadir ke Wulandoni untuk bertemu para pihak yang bersengketa.
Ritual Adat
Korban yang meninggal secara tidak wajar, baik dalam peperangan maupun
kecelakaan atau dibunuh, dipandang dari sisi budaya Lamaholot merupakan sebuah
kejadian yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa masa lampau dan bisa
berpengaruh terhadap keselamatan jiwa generasi penerus dari orang yang
meninggal di masa yang akan datang.
Karena itu, bagi orang lamaholot pasca meninggal perlu dilakukan
ceremoni adat dengan tujuan untuk menjemput arwah untuk kembali kekampung
halaman, juga untuk menjaga supaya peristiwa serupa tidak kembali terulang
terutama pada keturunan orang yang meninggal. Karena itulah tokoh Adat dari
desa-desa disekitar Wulandoni seperti Desa Wulandoni, Desa Belobao, Desa Puor,
Desa Lamalera dan Desa Belobatang menggelar upacara pengambilan darah yang
dalam bahasa setempat disebut "awek Smei".
Desa-desa yang terlibat dalam upacara "awek Smei" selain
punya hubungan historis dengan desa Wulandoni, rata-rata warga Wulandoni
terdiri dari suku Doni Nusa Lela sebagai warga asli dan juga warga yang berasal
dari beberapa desa di sekitar. Tidak mengherankan, jika terjadi sesuatu yang
dipandang mengancam jiwa sesama, warga sekitar dengan sukarela ikut membantu.
Fransiskus Key salah satu tokoh masyarakat Desa Wulandoni saat
dikonfirmasi menjelaskan, ritual awek smei, selain bertujuan untuk mengembalikan
arwah korban, juga sebagai bentuk pemulihan suasana kampung, karena trauma perang.
Dia mengatakan, sebelum dilakukan ritual, masyarakat setempat terkhususnya
masyarakat yang kehilangan satu anggota keluarga, belum dapat menjalankan
ativitas secara normal. Merekapun dilarang melintasi di areal tewasnya korban, karena
bisa berdampak negatif bagi masyarakat dimana korban dibunuh. Ditambahkannya lagi, setelah melakukan ritual
awek smei, masing-masing desa dijadwalkan, melakukan ceremony pendinginan
kampung.
Seperti disaksikan, ritual awek smei ini dihadiri juga beberapa pejabat
utusan pemerintah Kabupaten Lembata dan beberapa anggota DPRD.
Wulandoni Pasca Perang
Cerita indah tempo dulu tentang keakraban warga wulandoni, sebagaimana
yang disampaikan Pater Stef Tupen Within kini tak lagi dijumpai. Pasca perang,
bayangan kematian senantiasa menghantui, hingga warga tak lagi nyaman dalam
beraktfitas. Pasar barter Wulandoni yang dulu dibanggakan sebagai satu-satunya
pasar tradisional di jaman modern pun tak lagi dibuka.
Warga diluar
dua kampung yang bertikai pun takut datang ke Wulandoni untuk melalukan barter,
hingga entah siapa yang memulai, namun kini pasar kebanggaan warga di pantai
selatan pulau Lembata itu dipindah ke Lamalera dan Puor.
“Sekarang pasar dipindah ke Lamalera dan Puor. Pasar Wulandoni sekarang
belum dibuka. Warga masih trauma dengan perang yang kemarin,” kata Pastor
Paroki Lamalera, Romo Leonardus Lewokrore, Pr.
Fakta tentang Wulandoni pasca perang diakui Arba Lamarongan, warga
Pantai Harapan yang dijumpai disalah satu sudut kota lewoleba beberapa waktu
lalu. Kepada floresbangkit, Arba mengakui jika akibat perang antar dua kampung
yang pecah persis dihari kemerdekaan RI yang ke 69 itu, telah membuat situasi
berbalik seratus persen. Mereka yang dulunya akrab, sekarang jadi musuhan,
bepergian keluar kampung pun dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Mirisnya lagi, ikan hasil tangkapan nelayan pantai harapan tak laku
dijual ke kampung-kampung tetangga, kini warga Pantai Harapan harus menempuh
puluhan kilometer ke arah Kecamatan Atadei untuk menjajakkan ikan. “memang ada kapal
penampung yang datang dari sulawesi dan kupang, tetapi tidak semua jenis ikan mereka
beli. Karena itu kami harus jalan ke kampung-kampung di Atadei untuk jual ikan.
Masyarakat di sekitar kampung Wulandoni tidak mau beli kami punya ikan,” kata
Lamarongan.
Kondisi sulit yang dialami warga di Wulandoni inilah yang memaksa kaum
klerus berjubah putih harus turun memberi desakan kepada aparat keamanan,
pemerintah dan DPRD agar segera dicarikan jalan keluar untuk menyelesaikan
masalah. Perdamaian sebagaimana yang ditempuh Bupati, merupakan sebuah cara
instan dan tidak menyelesaikan masalah, belum lagi langkah penyelesaian kasus
pelanggaran hukum yang tak kunjung tuntas.
Pada titik inilah, pemerintah dan aparat keamanan diharapkan sesegera
mungkin mengambil langkah guna menyelesaikan sejumlah persoalan yang tengah
dihadapi masyarakat didaerah konflik. Perdamaian bukan untuk rakyat bisa
bekerja, tetapi perdamaian hanya bisa dicapai jika akar persoalan dicabut agar
persoalan yang sama tidak kembali terulang.
Dampak dari pertikaian antar warga di kecamatan Wulandoni itu, telah
meluas. Kondisi masyarakat Pantai Harapan yang dikucilkan dari warga di
desa-desa “sekutu” Wulandoni itu ibarat penyakit, Jika tidak diobati, akan
berdampak pada kematian. “Jadi bukan soal agama, tetapi sisi kemanusiaan yang
diutamakan, karena kemanusiaan itu melampui sekat-sekat yang memisahkan,” ujar
Pater Stef Tupen Within, SVD.
Tak cuma kepada Pemerintah dan DPRD, penulis novel “Bukit Yang
Congkak,” ini pun mendesak pihak Polisi untuk segera menangkap pelaku pembunuhan
korban Krinus Manuk. Menurutnya, jika pelaku pembunuhan itu tidak ditangkap dan
diproses hukum, maka akan menambah daftar masalah hukum di Kabupaten Lembata
yang tidak terselesaikan. “Lembata akan menjadi tong sampah kasus hukum yang
tidak pernah selesai. Setiap masalah ditumpuk dan tidak tahu kapan bisa
diselesaikan. Situasi lembata dengan kondisi yang memprihatinkan ini membuat
rakyat pun menjadi tidak berhak untuk menaruh harapan kepada pemerintah dan
kepolisian,” katanya.
Kapolres Bantah
Kapolres Lembata AKBP, Wresni Haryadi Satya Nugroho dalam sebuah
kesempatan di Wulandoni, saat dikonfirmasi mengenai tuduhan terhadap polisi
yang melakukan pembiaran, tegas membantah. Dia mengatakan, saat konflik pertama
pecah, polisi berhasil memukul mundur warga pantai harapan hingga kedalam
kampung dan dikonsentrasikan di Kantor Desa Pantai Harapan.
Disamping
itu, polisi juga terus melakukan penjagaan ketat diperbatasan desa yang
bertikai. Menurutnya, polisi bekerja keras untuk mengamankan warga yang bertikai.
Kapolres Lembata AKBP. Wresni, H.S. Nugroho |
“Kita giring mereka sampai kesana (Pantai Harapan) saya bawa mereka
sampai ke kantor desa. Setelah itu kita hanya jaga perbatasan,” kata Wresni
tanpa mengurai bagaimana peristiwa penyerangan kedua terjadi.
Sementara itu terkait penanganan kasus pelanggaran hukum, Kapolres
Lembata melalui Kasat reskrim Iptu, Abba Meang kepada floresbangkit
menjelaskan, kalau polisi terus mengembangkan kasusnya. Terkait penyerangan,
Penyidik Polres Lembata berhasil menetapkan 6 orang tersangka, masing-masing
tiga orang dari wulandoni dan 3 lainnya dari pantai harapan. Para tersangka di
tahan dengan tuduhan melakukan penganiayaan dan pengrusakan.
Sementara kasus pembunuhan, Abba menjelaskan, polisi terus berupaya
untuk menemukan pelaku, beberapa orang saksi sudah dipanggil untuk dimintai
keterangan. (Yogi Making)
sumber : www.floresbangkit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar