LEWOLEBA, FBC-Tak ada yang menjamin jika seorang pasien bisa
segera pulih ketika berada di RSUD Lewoleba. Rumah sakit kebanggaan warga
lembata itu, kini tak ubahnya seperti hotel yang hanya bisa dijadikan tempat menginap.
Dan mirisnya, bagi pasien dengan kondisi ekonomi pas-pasan bahkan harus
menanggung utang jika ingin sembuh.
Kantor RSUD Lewoleba |
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, RSUD Lewoleba kini dalam
persoalan serius. Tidak saja kehabisan obat dan bahan habis pakai tetapi
keadaan diperparah dengan rusaknya alat kesehatan di laboraturium, dan anehnya walau
rumah sakit dalam keadaan kritis, warga terus berdatangan untuk mendapat
pelayanan medis.
“Setahu saya, obat sudah habis sejak bulan Pebruari 2014, karena
ketika kami mulai berkantor disini, banyak pasien yang datang klaim supaya kami
bayar kembali biaya obat yang mereka beli di luar, tetapi mekanisme kami tidak
begitu. Kami bayar ke rumah sakit,” kata Kepala Operasional Badan Pelayanan
Jaminan sosial Kabupaten Lembata, Novita Nalle.
Dia mengatakan, karena sering di datangi pasien, Novita
akhirnya memilih untuk berkoordinasi dengan Sekda Lembata, Petrus Toda Atawolo,
karena menurutnya, BPJS tidak berhubungan dengan pasien tetapi dengan pihak
RSUD. “ada beban moril kita dengan dengan anggota JKN, sehingga kami komunikasikan
dengan Sekda supaya dicarikan jalan keluar yang tidak merugikan masyarakat,” jelasnya.
Jalan keluar yang ditempuh setelah berdiskusi denga Sekda
Atawolo adalah, setiap pembelian obat di luar, pasien harus memegang bukti
transaksi dan diserahkan kepada pihak manajemen RSUD. Dengan tujuan biaya
pembelian obat dikembalikan kepada pasien.
Kondisi rumah sakit milik pemerintah dan menjadi kebanggan
orang lembata ini dapat dipastikan sedang dalam kondisi kritis, pasien yang
masuk rumah sakit terus mengeluh karena merasa kesulitan untuk mendapatkan obat.
Dan anehnya, ketika keluhan itu disampaikan, pihak manajemen RSUD hanya
berkilah dan meminta pasien atau keluarga pasien untuk membeli obat sendiri dan memegang bukti pembelian agar bisa mengklaim
pengembalian uang ke pihak pengelola RSUD.
Padahal rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan dengan
fungsi utama adalah, upaya penyelenggaraan kesehatan yang bersifat penyembuhan
dan pemulihan bagi pasien. Merujuk pada fungsinya, maka rumah sakit mestinya
menyiapkan segala fasilitas untuk mendukung upaya penyembuhan dan pemulihan.
Alat kesehatan dan obat menjadi hal wajib untuk disediakan. Jika tidak, maka
rumah sakit tak lebih dari sebuah sarana penginapan.
“Kami terdaftar resmi sebagai anggota BPJS, mestinya segala
hal yang berkaitan dengan biaya rumah sakit, tidak dibebankan kepada kami
termasuk obat. Tapi, sekarang kami dibebankan dengan biaya-biaya yang tidak
kami duga sebelumnya. Jujur saja, saya terpaksa minjam uang untuk beli obat,
dan saya tidak tahu, apakah biaya yang saya keluarkan ini bisa di kembalikan?
Kalau tidak di kembalikan, lalu untuk apa kita masuk anggota BPJS?,” kata Darius
Raya, warga Tanjung Batu, kecamatan Ile Ape.
Darius juga keluarga pasien lainnya mengakui, bila mereka
diminta memegang semua bukti pembelian obat agar diserahkan kepada pihak
manajemen RSUD, dengan harapan biaya yang dikeluarkan dapat dikembalikan.
Sebagaimana yang disampaikan Linus Lawang. Kakek dari Balita
1,5 tahun yang dirawat diruang ICU karena luka bakar. Lawang Warga Lamahora,
Kelurahan Lewoleba Timur di RSUD Rabu, (3/9) membenarkan jika dirinya diminta untuk
mengembalikan semua bukti pembelian obat agar nantinya biaya pembelian obat itu
dikembalikan pihak rumah sakit.
Dia menuturkan, cucunya mengalami luka bakar serius dan terpaksa
di rujuk ke kupang. Kepada wartawan dia mengatakan, dokter menjelaskan bahwa sang
cucu harus dirujuk ke Kupang karena luka bakar yang dideritanya berpengaruh
pada gangguan paru-paru.
“Dokter sendiri bilang, disini kehabisan obat, juga beberapa
alat kesehatan yang mendukung upaya proses penyembuhan tidak dimiliki RSUD,
jadi sebaiknya dirujuk ke Kupang. Kondisi seperti ini jelas membuat saya marah
dan kecewa. Bagaimana mungkin rumah sakit tidak menjamin kesembuhan? Obat saja
tidak punya,” ketus Linus.
Penuturan warga dan kepala Opresional BPJS Lembata
mengundang rasa penasaran. FBC akhirnya menemui salah satu pegawai bagian
Farmasi, setidaknya hanya untuk membuktikan kebenaran informasi terkait
persediaan obat di RSUD. “memang obat lagi kosong. Digudang Farmasi sudah tidak
ada apa-apa lagi, dan itu sudah lama. Tapi saya minta tolong, kaka jangan tulis
saya punya nama,” kata pegawai farmasi RSUD Lewoleba itu.
Kondisi ini pun ikut di komentari anggota DPRD Lembata
Lazarus Teka Udak. Dalam sidang perdananya di ruang rapat DPRD Kabupaten
Lembata, Selasa (9/9) DPRD asal partai Nasdem ini mengatakan, kondisi rumah
sakit umum Lewoleba parah dan membutuhkan penangangan segera.
“Saya sudah datang kesana, sekarang tidak saja obat yang
habis tetapi juga alat dilaboraturium juga rusak dan terpaksa saya ke rumah
sakit damian,” kata Udak.
Manajemen Bobrok
Keadaan rumah sakit kebanggaan warga lembata itu, kini dalam
kondisi kritis. Keluhan-demi keluhan terus saja dilayangkan, tidak saja dari
warga yang membutuhkan jasa pelayanan, tetapi keluhan juga datang dari karyawan
RSUD. Berbagai kritik publik, mestinya ditanggapi positif sembari melakukan
upaya pembenahan kedalam, namun terkesan diabaikan. Perubahan kearah yang lebih
baik tak juga datang.
Viktor Mado Wathun, Wabub Lembata |
Jika sebelumnya keluhan pasien hanya sebatas pelayanan, kini
keluhan kian bertambah. Rumah sakit yang mestinya menjamin kesembuhan itu malah
membuat pasien kian sulit karena harus menyiapkan obat sendiri.
Keadaan RSUD Lewoleba yang ketiadaan obat ini ternyata
diakui juga oleh Wakil Bupati Lembata, Viktor Mado Wathun. Saat dijumpai
diruang kerjanya, Jumad (5/9) Viktor tak menampik jika obat dan bahan habis
pakai di RSUD Lewoleba sudah habis sejak bulan Februari 2014. Dirinya bahkan
sering didatangi warga untuk menyampaikan keluhan.
Jelas, sebagai pemerintah dirinya pun sudah melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait termasuk dengan Dinas Kesehatan, dan
Manajemen RSUD, sayangnya dirinya hanya diberi jawaban menanti tender, dan
terakhir masih menunggu distribusi.
Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi. Sebagai
pengelola, pihak manajemen mestinya sudah mempersiapkan jauh sebelumnya. “Tapi
memang tidak bisa. Manajemen RSUD itu memang bobrok, bahkan lebih buruk dari
manajemen kios. Kalau begini apa yang mau kita harapkan?, coba lihat sekarang,
rumah sakit kita memang hanya berfungsi sebagai tempat menginap,” kesal Viktor.
Saat berbincang dengan wartawan diruang
kerjanya, Viktor berulang kali mempertanyakan alasan kehabisan obat.
Menurutnya, sepanjang manajemen RSUD masih di tangan dr.
Aditya Yoga maka dirinya tak yakin bila manajemen RSUD mampu berbenah menuju
arah yang baik. “kesulitannya ada di SDM. Dan ini menjadi perhatian serius
pemerintah,” katanya.
Pengelolaan Obat
Guna menjawab rasa penasaran terkait alasan kehabisan obat,
FBC terus melakukan penulusaran. Berbagai sumber didekati, baik sumber yang
berhubungan langsung dengan bidang kesehatan, juga sumber-sumber lain yang
prihatin dengan kondisi RSUD Lewoleba. Dari semua sumber yang ditemui,
rata-rata bersepakat kalau letak permasalahan sesungguhnya pada buruknya sistem
manajemen.
Kor Sakeng, aktivis Aldiras yang lama berkecipung dalam
dunia penangangan pengungsi di Timor-Timur mengatakan, ketidak efisiennya
manajemen pengelolaan obat di rumah sakit sangat berdampak negatif, baik secara
medis maupun ekonomi pasien dan keluarganya. Obat kata Kor Sakeng, adalah
sebuah komponen penting dalam manajemen rumah sakit. Pengelolaan obat yang
efisien sangat diperlukan agar selalu tersedia saat dibutuhkan, te
rjamin secara
mutu, tepat jenis dan waktu juga digunakan secara rasional. “jangan sampai saat
dibutuhkan stokya habis,” katanya
Kor Sakeng |
Sementara itu sumber lain mengatakan, manajemen pengelolaan
obat melibatkan berbagai pihak dan tahapan. Dimulai tahapan seleksi, perencanaan,
pengadaan, penyimpanan, distribusi dan penggunaan obat. Tim di RSUD yang melibatkan
berbagai provesi harus bersepakat dan menyeleksi obat-obat yang beredar di
rumah sakit. Dan tentu, obat-obat yang di rumah sakit milik pemerintah harus
menggunakan daftar obat sebagaimana yang termuat dalam keputusan Menteri
Kesehatan-RI guna mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional.
Kendati demikian, ungkap salah satu sumber yang tak lain
adalah PNS di lingkup Setda Kabupaten Lembata itu mengatakan, perencanaan
pengadaan obat sangat rentan dengan bujukan dan rayuan perusahan-perusahan
farmasi yang senantiasa menjanjikan bonus yang menggiurkan. Karena itu, orang
yang meminta namanya tidak dipublikasi itu mengatakan, dibutuhkan orang-orang
dengan komitmen yang kuat untuk direktrut dalam tim manajemen obat ini.
“Makanya kalau yang masuk dalam tim ini adalah orang-orang
yang masih memikirkan kepentingan diri atau kelompok, saya jamin pengelolaan
obat akan menjadi asal-asalan, dan akibatnya muncul perencanaan yang tidak
jelas, dan pada bagian akhir rumah sakit harus kehabisan obat,” yakin sumber
ini.
Mencermati keadaan rumah sakit milik masyarakat lembata ini,
sejenak kita tertegun. Karena dari berbagai informasi yang berhasil di himpun
menyebutkan banyak sudah warga lembata dengan status ekonomi pas-pasan terpaksa
membawa pulang keluarganya yang sedang kritis dan akhirnya harus meregang
nyawa. Bahkan bocah 1,5 tahun yang
menderita luka bakar yang dirujuk ke kupang pun kini sudah kembali ke lembata
dalam keadaan tak bernyawa. Jenazah cucu dari Linus Lawang ini tiba di
lewoleba, Senin (8/9).
Kapan Pengadaan Obat
Dokter Yoga kepada floresbangkit di ruang kerjanya
menjelaskan, sistim pengadaan obat mengikuti proses tender umum di
pemerintahan. “Iya kita mekanisme tender di pemerintah,” kata Yoga. Penjelasan
kepala rumah sakit umum lewoleba ini mendapat reaksi keras dari aktivis Aldiras
Kor Sakeng.
Baginya hal yang dijelaskan kepala RSUD itu merupakan sebuah
kepura-puraan, sekedar menutup kesalahan. Karena khusus pengadaan obat tidak
saja berpedoman pada peraturan Menkes, tentang harga obat untuk pengadaan
pemerintah, tetapi juga ada rujukan lain yakni, peraturan presiden nomor 70
tahun 2012, dimana dalam pasal 38 ayat 4 a3, dengan jelas mengamanatkan supaya
obat generik yang sifatnya mendesak dilakukan dengan Penunjukan Langsung (PL) dengan
negosiasi teknis dan harga kepada pabrik atau distributor resmi.
“Soal harga tetap berpatok pada harga obat e-katalog
sebagaimana dalam keputusan Menkes. Aneh, kalau Doter Yoga tidak tahu. Alasan
seperti itu hanya menunjukan ketidakberdayaan. Pertanyaan kenapa tidak
menggunakan cara PL, kepada dokter Yoga saya ingatkan, jangan main-main dengan
nyawa manusia. Kalau tidak mampu turun dari jabatan,” tegas Sakeng.
Menilai ketidakberdayaan dr. Aditya Yoga, Sakeng yang kini
terpilih menjadi Koordinator Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras)
menggantikan posisi Petrus Bala Wukak, mendesak pemerintah untuk segera
menggati direktur RSUD Lewoleba. “saya tidak mengerti lagi kalau direktur RSUD
itu tetap di pertahankan,” ujarnya.
Penilaian Sakeng terhadap kemampuan sang direktur RSUD bisa
saja benar, namun bisa juga salah betapa tidak penelurusan FBC menemukan
indikasi lain. Ada dugaan bila rencana pengadaan obat sengaja di perlambat,
agar obat non katalog atau obat yang tidak termuat dalam keputusan Menkes, laris
terjual.
Tidak dipungkiri, bila sekian banyak apotik di kota lewoleba
ini, menjalin kerjasama dengan pihak rumah sakit, bahkan ada juga apotik milik
salah satu orang penting dilewoleba. Dengan demikian diduga, pengadaan obat di
untuk RSUD Lewoleba sengaja diperlambat agar obat non katalog di apotik
tertentu laku di jual. Lebih jauh dalam penelusuran FBC menemukan, pasien atau
keluarga pasien wajib membeli obat pada apotik tertentu. Jika tidak, obat tidak
digunakan oleh rumah sakit.
Terkait dugaan kerjasama dengan apotik tertentu Yoga sang
direktur rumah sakit umum lewoleba Dengan nada terbata-bata dan menampakan wajah
cemas mengatakan, “Yah, terserah bapak sajalah, bapak tulis saja,” singkat
Yoga.
Manajer RSUD
Menghindar
Sementara itu direktur RSUD Lewoleba, dr. Aditya Yoga tak
menampik jika stok obat di RSUD Lewoleba sekarang sedang kosong, namun dia
membantah jika kekosongan stok obat itu sudah terjadi sejak bulan Februari
2014. Anehnya ketika ditanya terkait pengadaan, Yoga balik meminta wartawan
untuk bertanya langsung ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menurutnya, sebagai
pengguna anggaran dirinya tidak boleh mengintervensi PPK.
Klarifikasi kepala RSUD Lewoleba ini disampaikan kala
dijumpai wartawan di ruang kerjanya, kantor RSUD Lewoleba, Jumad (5/9).
“Kalau Februari itu tidak benar, kondisi kita sekarang stok
obatnya sedang menipis. Jadi bukan habis pak, dan sekarang kita lagi tunggu
distribusi, kalian tanya langsung saja ke PPK,” kata Yoga tanpa beban.
Dia menjelaskan, tender pengadaan obat sudah dilakukan sejak
bulan Juni 2014, dan biasanya obat baru datang setelah tiga bulan. Di tambahkan
lagi, perusahan yang pemenang tender obat sebanyak 36 dari 37 perusahan yang
mendaftar, dengan pagu dana pengadaan obat sebesar Rp. 811.961. 193 dan untuk
pengadaan bahan habis pakai sebesar Rp. 919.282.116.
Kepada wartawan, Yoga mengaku memahami kegelisahan pasien, karena
itu berbagai upaya telah dilakukan termasuk meminjam obat ke Puskemas yang di
kelola dinas kesehatan. Sayangnya kondisi yang sama pun dialamai Puskemas. “Yah,
sekaran kita tunggu droping saja pak,” kata Yoga dengan suara yang hampir tak
terdengar.
Saat disampaikan tentang kritik pedas dan penilaian kritis
yang dilamatkan kepadanya, Yoga menolak jika dikatakan manajemen RSUD Lewoleba
bobrok. “Siapa yang bilang, jangan-jangan kalian yang ngomong begitu.
Indikatornya apa?,” tangkisnya. Tak kalah gencar, wartawan pun dengan tegas
menyampaiakan kalau yang memberi penilaian tentang bobroknya manajemen RSUD
adalah Wakil Bupati Lembata. “Terserah penilaian beliau, saya yah...kerja
sesuai prosedur,” jawabnya lagi.
Tunggu Payung Hukum
Janji pihak rumah sakit untuk mengganti biaya pembelian obat
yang dibebankan kepada pasien, nampaknya tak mudah untuk di realisasi. Terkait
hal ini, direktur RSUD Lewoleba membenarkan jika pihaknya menyarankan kepada
keluarga pasien untuk memiliki bukti pembelian agar bisa mengklaim pengembalian
biaya. Namun dalam penjelasannya kepada wartawan Yoga mengaku tak yakin penuh,
pasalnya hingga saat ini belum ada satupun payung hukum yang mengatur mengenai
hal ini.
“Kita memang sampaikan begitu kepada keluarga pasien. Tetapi
saya juga harus tunggu payung hukum, takut salah nanti. Kalau tidak ada payung
hukum, saya tidak bisa lakukan,” kata Yoga.
Diduga akibat banyaknya tekanan yang diterimanya, direktur
RSUD Lewoleba ini menutup diri dan menolak untuk ditemui, apalagi oleh
jurnalis. Seperti diberitakan, gara-gara datang dengan menggunakan sandal,
Dokter yang mestinya ramah itu marah dan nekat mengusir wartawan, bahkan untuk
mendapat informasi yang berimbang, wartawan harus bolak-balik rumah sakit
selama dua hari untuk mencari sang direktur. (Yogi Making)
sumber : www.floresbangkit.com
sumber : www.floresbangkit.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar