Halaman

Senin, 13 Desember 2010

Abdon Nababan; dari Saksi jadi Ahli







Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN), Abdon Nababan, di sumpah menjadi ahli dalam persidangan Judicial review (JR) Undang-undang (UU) 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Mahkamah Konstitusi terkait HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Sebelumnya beliau hanya sebagai saksi dari termohon yaitu pemerintah, dalam hal ini KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Namun dari kesaksiannya, ketua majelis menilai bahwa Abdon Nababan lebih pantas menjadi seorang ahli dari pada saksi dalam kasus ini.

Ketua Majelis, Mahmud MD, mengangkat Abdon Nababan menjadi ahli dalam persidangan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari selasa 8 Juni 2010 yang lalu. Sebelum di sumpah, Sekjen AMAN ini bertindak sebagai saksi dari termohon.

Selain Abdon Nababan, hadir sebagai saksi dalam persidangan ini adalah Imran Amin dari yayasan Telapak (dari termohon) dan satu orang perwakilan masyarakat adat (nelayan) dari Lamarela, Nusa Tenggara Timur (saksi dari Pemohon).

Sebagai saksi, beliau menjelaskan keterlibatannya dalam proses penyusunan RUU ini hingga menjadi UU. Secara khusus terkait dengan pengaturan hak-hak masyarakat adat atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sejauh mana dampak pemberian HP3 terhadap masyarakat adat.

Menurut kesaksiannya, UU ini diinisiasi dari hasil diskusi pada tahun 1993 di Jakarta.

Pada saat itu yayasan Sejati mengadakan pameran tentang "ilmu bajau setinggi langit sedalam samudera". Siang hari pameran malam harinya diskusi.

Dalam diskusi ini dibahas bagaimana Indonesia dikelola dalam konteks kebudayaan. Hadir dalam diskusi tersebut diantaranya Abdon Nababan, Alm. KH Abdurrahman Wahid (Gusdur), dan MH Ainun Madjid.

Salah satu hasil diskusi, terkristalkan tentang perlunya instansi (departemen) yang kuat untuk mengurusi kelautan (maritim). Maka setelah Gusdur menjadi presiden Republik Indonesia (tahun 1999 mengantikan presiden ke 3, BJ Habibie), maka terbentuklah departemen untuk mengurusi laut yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Abdon Nababan telah mengikuti proses penyusunan UU 27/2007 dan menjadi tim perumus RUU ini mewakili AMAN (pada saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pelaksana). Sehubungan dengan itu, KKP menghubungi beliau untuk menjadi saksi dari Pemerintah di persidangan kelima yang diadakan tanggal 27 April 2010.

Di tengah-tengah kesaksian, ketua majelis, Mahmud MD, memotong penjelasannya. Beliau secara langsung meminta Abdon Nababan untuk menjadi ahli dalam persidangan ini.

"Kesaksian anda lebih cocok disampaikan oleh seorang ahli. Keahlian seperti ini sangat luar biasa. Anda mengetahui dan mengikuti proses penyusunan UU ini. Sehingga anda lebih baik menjadi ahli dalam persidangan ini" Kata Hakim Mahmud MD.



Lalu, Abdon Nababan disumpah menjadi Ahli sebelum melanjutkan penjelasannya.

Kesaksian seorang Ahli, Abdon Nababan

Setelah disumpah, Abdon Nababan, lebih fokus menjelaskan tentang pasal 61 Undang-undang 27 tahun 2007, yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat. Dalam pasal ini, Hak-hak masyarakat diakui sepenuhnya tanpa adanya persyaratan apapun.

Berbeda dengan UU yang mengatur sektor lain, meskipun ada yang mengakui hak-hak masyarakat adat, tetapi memberikan beberapa persyaratan yang sulit untuk dipenuhi masyarakat adat. Dengan kata lain, pengakuan bersyarat.

Terkait dengan HP3, posisi pasal 61 ini tidak lebih tinggi maupun rendah dari HP3.
Karena HP3 diberikan di luar wilayah adat.

Menurut Abdon Nababan, pasal ini menjadi kekuatan bagi masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendapatkan hak-haknya. "Justru HP3 adalah bonus bagi masyarakat adat yang mendapatkannya" jelasnya.

Selain itu, UU ini juga mengandung prinsip Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC). Sehingga masyarakat dapat menolak atau menerima setiap kegiatan / program apapun yang akan dilakukan di wilayah adat mereka.

Saksi kedua, Imran Amin

Imran Amin, aktifis Telapak dan Jaringpela (Jaringan Kerja untuk Pesisir dan Laut), menceritakan pengalamannya selama mendampingi masyarakat adat (nelayan) di Bali.

Menurutnya masyarakat adat (nelayan) akan sangat dirugikan jika sektor kelautan dan perikanan di kelola oleh sektor-sektor lain. Maka diperlukan kementrian dan UU yang secara khusus menangani sektor ini.

Selama ini wilayah pesisir dan laut dianggap "open Acces" sehingga tidak ada yang bisa dimintai pertanggung jawaban jika terjadi kerusakan. Dengan adanya UU 27/2007 ini, maka wilayah pesisir dan laut akan terlindungi dari kejadian tersebut.

Sebagai penutup, disampaikan bahwa UU 27/2007 telah digunakan untuk menghentikan eksplitasi wilayah pesisir oleh perusahaan di Bali.

Kesaksian dari pemohon.

Saksi yang berasal dari perwakilan masyarakat adat (nelayan) di Lamarela ini menceritakan tradisi dari daerahnya, yaitu tentang perburuan Paus. Sebelum melakukan perburuan, masyarakat melakukan ritual terlebih dahulu. Daging Paus yang ditangkap, diprioritaskan untuk manula, janda, dan anak yatim piatu.

Dengan demikian, tradisi ini harus di konservasi atau dilestarikan. "Ibunda telah menaruh, ayahanda sudah mewariskan. Teruskanlah tradisi ini sampai,,," pepatah masyarakat Lamarela yang disampaikan saksi. Namun menurutnya, HP3 akan membelenggu tradisi ini. Sehingga beliau menolaknya.

Kesimpulannya, dengan HP3;

- Identitas masyarakat adat Lamarela akan hilang
- Tradisi dan kebudayaan akan lenyap.

Gugatan Tim Advokasi Tolak HP3

Persidangan ini adalah ke 6 kalinya, sejak Tim Advokasi Tolak HP3 (KIARA, WALHI, YLBHI, KPA, IHCS, PK2PM, SPI, Yayasan Bina Desa Sadawija, API dan wakil-wakil nelayan) mengajukan permohonan pada bulan Januari 2010 yang lalu.

- Sidang pertama diadakan pada tanggal 3 Pebruari 2010
- Sidang kedua diadakan pada tanggal 4 Maret 2010
- sidang ketiga diadakan pada tanggal 8 April 2010
- Sidang keempat diadakan pada 8 April 2010
- Sidang kelima diadakan pada 27 April 2010.

Menurut gugatan pemohon, salah satu alasan HP3 ini harus ditolak karena akan menghilangkan hak-hak masyarakat adat.

Lebih lanjut, apakah HP3 ini akan bisa menggusur hak-hak masyarakat adat yang dijamin dalam Undang-undang ini?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar