Halaman

Jumat, 14 September 2012

DPR Minta Kemenakertrans Selidiki WNI Tewas di Malaysia


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan meminta KBRI Malaysia dan Kemenakertrans untuk menyelidiki tewasnya empat WNI di negeri jiran tersebut.

"Pastikan apakah TKI dimaksud terlibat tindakan kriminal atau tidak. Saya mengharapkan Kemenakertrans segera turun tangan," ujar Taufik di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (14/9/2012).

Taufik mengatakan, BNP2TKI juga diminta menyelidiki apakah empat orang yang tewas itu merupakan TKI resmi. Selain itu, Taufik meminta lembaga tersebut mengklarifikasi kejadian itu ke kepolisian Malaysia.

"Kasus ini memerlukan kerjasama gabungan agar permasalahan bisa diselesaikan kenapa sampai ada masalah penembakan itu," ujarnya.

Bila hasil penyelidikan menunjukkan adanya aksi kriminal, Taufik mengatakan perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah untuk membekali calon TKI yang akan keluar negeri.

"Jangan sampai mereka yang sudah dikirim melakukan itu. Jangankan di negara luar, di sini pun kalau lakukan kriminal harus ditindak sesuai hukum berlaku."

"Tetapi kalau tidak ada indikasi tindakan kriminal, maka harus diusut tuntas kenapa itu bisa terjadi sehingga harus dipertanggungjawabkan," katanya.

Seperti diketahui, empat WNI tewas ditembak polisi Malaysia di negara bagian Perak. Kejadian penembakan itu terjadi pada tanggal 7 September 2012 sore di Perak Malaysia.

Polisi Malaysia menyatakan, mereka ditembak ketika berusaha merampok warga di sebuah perkampungan ketika polisi sedang melakukan operasi.

GERINDRA TAK IZINKAH KADER STUDY BANDING KELUAR NEGERI


Terkait maraknya program Study Banding (Stuba) ke luar negeri, Sekjen Partai Gerakan Indonesia Raya, Edy Prabowo di  gedung DPR-RI pada hari Kamis (13/9/2012) sebagai mana dikutip dari  Merdeka.com mengatakan “Study banding tidak menyalahi ketentuan, itu sah-sah saja. Namun demikian kader partai Gerindra kami larang untuk mengikuti program stuba atau kunjungan kerja ke luar negeri“

Larangan kunjungan kerja atau stuba ke luar negeri kepada Fraksi Partai Gerindra di DPR RI ini menurut Sekjen partai berlambang burung garuda ini sudah diberlakukan sejak tahun 2010 silam.

Larangan perjalanan ke luar negeri ini sangat beralasan menurut Edy, karena selain menelan biaya yang amat besar, perjalanan ke luar negeri oleh para wakil rakyat di senayan pun tidak semua penting.

Edy mengatakan, banyak sektor pembangunan yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan DPR. “Banyak fakta di lapangan yang butuh perbaikan, dari pada biayanya digunakan untuk biaya perjalanan stuba atau kunjugan kerja ke luar negeri mending digunakan untuk pembangunan dalam negeri”. Katanya.

Walau demikian larangan ini tidak berlaku bagi kader partai yang hendak mengikuti kunjungan kerja atau stuba keluar negeri dengan menggunakan biaya sendiri. “Kalau menggunakan biaya sendiri tidak dilarang partai” tegas Edy Prabowo. (ditulis kembali oleh Yogi Making) 

Rabu, 12 September 2012

Dua Belas Parpol Tidak lolos Verifikasi, 34 Lainnya Siap Melaju ke Babak Berikut


Dua belas Partai Politik (Parpol) yang mendaftar ke KPU dipastikan gagal ikut Pemilu 2014 setelah tidak memenuhi 17 dokumen persyaratan KPU. 34 partai lainnya masih harus menghadapi jalan panjang verifikasi di KPU. Berapa partai yang akan bertahan?

Seperti diketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumkan 12 partai yang terpental di tahap pertama karena tidak melengkapi 17 dokumen, pada senin (10/9).

“Klasifikasi yang dinyatakan loolos syarat pendaftaran harus memenuhi 12 dokumen, sesuai dengan peraturan KPU. Ada 12 partai yang tidak lolos syarat pendaftaran 17 dokumen,” ujar ketua KPU Husni Kamil Malik dalam jumpa pers di Ruang media Center KPU. Jalan Imam Bonjol 29, Jakarta Pusat, Senin (10/9).

Sementara  tahapan panjang menantang Parpol sebelum melaju ke Pemilu 2014. Berikut tahapan verifikasi Parpol di KPU sebelum maju ke Pemilu 2014, seperti disampaikan Wakil Ketua FPAN DPR Viva Yoga Mauladi selasa, (11/9/2012).
1.       Pendaftaran parpol, 10 Agustus-7 september 2012. Ada 46 Parpol. (sudah dilewati)
2.       pengumuman KPU tentang parpol yang memenuhi 17 syarat pendaftaran (Peraturan KPU no. 12/tahun 2012 di lapiran 1 model F-Parpol). (sudah dilewati)
3.       KPU melakukan verifikasi administrasi 6 Oktober(Peraturan KPU no. 12/tahun 2012 di lapiran 1 model F4 Parpol).  
4.       KPU melakukan verifikasi faktual. Ditingkat pusat dan provinsi, 26 Oktober- 3 Nopember 2012. Ditingkat Kabupaten/Kota 26 Oktober- 20 Nopember 2013.
5.       KPU mengumumkan parpol peserta pemilu 2014, pada 9 Januari 2013, atau 11 Januari 2013.
Berikut 12 parpol telah gagal di verifikasi awal KPU:
1.    Partai Pemuda Indonesia (PPI), hanya menyerahkan 12 dokumen
2.    Partai Indonesia Sejahtera (PIS), hanya menyerahkan 4 dokumen
3.    Partai pemersatu Bangsa (PBB), hanya menyerahkan 16 dokumen
4.    Partai aksi Rakyat (PAR), hanya menyerahkan 16 dokumen
5.    Partai Pelopor, Hanya menyerahkan 3 dokumen
6.    Partai republik Indonesia, hanya menyerahkan 12 dokumen
7.    Partai Islam, hanya menyerahkan 16 dokumen
8.    Partai Merdeka, hanya menyerahkan 8 dokumen
9.    Partai Patriot, hanya menyerahkan 14 dokumen
10.  Partai Barisan Nasional (Barnas), hanya menyerahkan 15 dokumen
11.  Partai Pemersatu Nahdlatul Ummah (PPNU), hanya menyerahkan 11 dokumen
12.  Partai Matahari Bangsa (PMB), hanya menyerahkan 15 dokumen

Sumber: Detiknes.com

Inilah 46 Parpol yang mendaftar di KPU


Inilah 46 Parpol yang Mendaftar di KPU untuk Pemilu 2014

Jakarta KPU sudah menutup pendaftaran partai politik (Parpol) yang tertarik mengikuti Pemilu 2014. Tercatat ada 46 parpol yang berminat bertarung dalam pesta demokrasi terbesar bangsa ini.
46 Parpol tersebut akan diverifikasi oleh KPU untuk diketahui apakah berkasnya sudah lengkap. Berikut ini dafar 46 parpol tersebut yang diperoleh detikcom dari KPU, Jumat (7/9/2012).
1. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)
2.Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
3.Partai Pemuda Indonesia (PPI)
4.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
5.Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI)
6. Partai Kongres
7. Partai Serikat Independen (SRI)
8. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
9. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
10. Partai Bulan Bintang (PBB)
11. Partai Pemersatu Bangsa (PPB)
12. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
13. Partai Amanat Nasional (PAN)
14. Partai Golongan Karya (Golkar)
15. Partai Karya Republik (Pakar)
16. Partai Nasional Republik (Nasrep)
17. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
18. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
19. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
20. Partai Buruh
21. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
22. Partai Pelopor
23. Partai Republik Indonesia
24. Partai Demokrat
25. Partai Damai Sejahtera (PDS)
26. Partai Republika Nusantara (Republikan)
27. Partai Islam
28. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme)
29. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)
30. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
31. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI)
32. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)
33. Partai Aksi Rakyat (PAR)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
35. Partai Merdeka
36. Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB)
37. Partai Republik
38. Partai Kedaulatan
39. Partai Persatuan Nasional (PPN)
40. Partai Patriot
41. Partai Bhineka Indonesia
42. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
43. Partai Barisan Nasional (Barnas)
44. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia)
45. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah (PPNUI)
46. Partai Matahari Bangsa (PMB)
 (gah/gah)
Sumber : detik news

Paul Budi Kleden: Khotbah Misa 75 Tahun Seminari Ledalero


Tulisan berikut dalah Khotbah misa yang disampaikan oleh P. DR. Paul Budi Kleden, SVD dalam peryaan misa 75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero.  

Ayat yang tidak menjadi bagian dari teks injil yang dibicarakan hari ini.
Sebenarnya menjembatani urutan nama dan kisa kelahiran Yesus dan meringkas silsiah Yesus dalam tiga periode. 14 keturunan dari Abraham sampai  Daud. Empat belas dari Daud sampai pembuangan ke Babel, empat belas lagi d ari pembuangan ke babel hingga kelahiran Yesus. Kalau kita menggunakan jumlah yang sama untuk membagi sejarah seminari ini berdasarkan jumlah rektornya, maka kini, pada masa kepemimpinan Pater Kletus Hekong sebagai rektor ke 18 dari lembaga ini, kita sudah berada dalam babak kedua. Dan babak kedua itu berakhir dengan pembuangan ke Babel. Apakah masa Daud, saman keemasan lembaga ini sudah lewat dan kita sedang mengarah pada pembuangan? Kita pasti akan mengalami tantangan dan goncangan, namun saya yakin dan kita berdoa agar pada kepemimpinan rektor yang ke 28 seminari ini tidak akan mengalami masa pembuangan, tidak dibuang oleh umat, di telantarkan oleh serikat, apalagi diabaikan para alumninya. Karena kita bertumpuh pada keyakinan dan membangun harapan: bahwa kekal abadi kasih setia Tuhan.

Saudara/i.....
“ Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab kekal abadi kasi setia-Nya”. Kekal, abadi itu sifat Allah. Para pemazmur memujanya sebagai kasih yang tak pernah menyerah, para penyair mengumpamakannya dengan wadas yang kokoh bertahan menentang terpaan gelombang dan hempasan angin. Kekal itu sifat Allah. Para kekasih menyanyikannya sebagai melodi yang tak pernah sumbang, para peziarah mengalaminya sebagai bintang penuntun yang tak kunjung pudar. Kekal itu sifat Allah. Pada pihak lain, manusia sebagai ciptaan bersifat sementara. Berubah itu cirinya. Pemazmur mengumpamakannya dengan daun yang segar di pagi hari dan cepat layu diterpa terik mentari, para pencari kebenaran dan keadilan sering mengalaminya sebagai bunglon yang bebrubah warna menurut keadaan. Sementara, itu sifat manusia, berubah itu cirinya. Sejarah mencatatnya sebagai pertukaran rezim dan dinasti, perubahan sistim, pergantian pemimpin dan peralihan generasi.

Kasih setia Tuuhan dialami ditengah kerapuhan dan kesementaraan kita. Dan melalui kerapuhan dan kesementaraan kita itu, Tuhan hendak memencarkan kasih setianya yang abadi. Semakij kita menyadari keabadian kasih Allah dan kekekalan kasih setia-Nya, semakin rela dan jujur kita mengakui bahwa kita ini serba terbatas, bahwa hidup kita fana dan karya kita rapuh. Sejarah kita terpenggal dan pengaruh kita tak langgeng, kekuasaan kita entah politik, religius entah intelektual atau sosial, tidak abadi.

Israel mengalami kesetiaan itu dan mengukirnya dalam penuturan silsilah, sebuah daftar panjang para pendahulu, sebagaimana dikisahkan dalam dalam Injil tadi. Dari silsilah itu bukan hanya deretan nama-nama orang yang teguh imannya, dalam pikirannya, unggul wataknya dan terpuji perilakuknya. Pada daftar itu tertampung pula  orang-orang yang yang telah menjual imannya demi kekuasaan. Yang menghinati bangsanya sendiri tersebab oleh kerakusan, yang mencemarkan nama sukunya karena perilaku yang tak terpuji. Pada deretan itu tertulis pula nama-nama yang tidak banyak dikenal, mereka yang biasa-biasa tanpa momen bersejarah yang namanya tidak menggetarkan hati bangsa-bangsa dan kiprahnya tidak mengundang decak kagum, yang cahaya wajahnya tidak mengundang simpati dan gema suaranya tidak terdengar berwibawa, yang tidak ditinggalkan banyak kesan untuk dikenang selain mewarisi darah dan meneruskan tasli kekerabatan pada urutan garis keturunan.

Tuhan seperti ini, yang menunjukan kesetiaanya melalui manusia biasa yang sederhana tanpa banyak kelebihan, yang memancarkan sinar kasih-Nya keduniapun melalui orang-orang yang gampang dilupakan sejarah, Dialah yang dimadakan israel seperti yang diungkapkan pemazmur tadi. Nabi Mikha menyebutnya sebagai Tuhan yang memperhatikan keterpencilan Betlehem Efrata, yang hampir tak pernah disebut oleh suku-suku Yehuda, yang namanya tak ada dalam daftar penguasa dan tak muncul pada peta pemimpin. Tuhan dimadahkan sebagai Allah yang setia, karena tidak memalingkan wajahnya dari  tempat dan orang-orang yang terbuang, tidak menghapus dari ingatan dan memutihkan dari hati-Nya ajah dan nama mereka sederhana dan sering dibuat tidak berdaya. Seperti dikatakan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, memang sejak awal Tuhan sudah punya opsi yang jelas, dan dengan telaten Dia mewujudkan opsi itu, untuk membenarkan dan memuliakan manusia, terutama mereka yang sering dibuang dan gampang diabaikan, yang hanya dipinang disaat pemilu lalu diceraikan sesudah dapat kekuasaan. Dari  semula Tuhan punya tekad untuk pilih, benarkan dan memuliakan manusia, teristimewa mereka yang umumnya hanya dikunjungi selama dianggap masih bermanfaat, lalu dianggap sepih sesudah orang memperoleh apa yang dibutuhkannya.

Tuhan seperti ini telah memilih Maria istri Yosef, sebagai Bunda Alllah menjadi bukti yang memancar sinar kasih Allah, yang menggemakan warta Sang Sabda ke dunia dan sejarah. Merayakan kelahiran Maria berarti merayakan kesetiaan Tuhan yang merendah untuk meninggikan. Merayakan kelahiran maria berarti mengenangkannya sebagai Ledalero, bukti tempat Yesus almasih, sang mentari Sabda bersandar untuk masuk ke dalam dunia dengan wajahnya yang pulihkan semangat dan beri kelegaan pada yang bersusah dan suaranya yang menggoncangkan dan suara-Nya yang menggoncang mereka yang angkuh hatinya.
Tuhan itu pula yang menyalakan kerinduan Arnold Janssen dan membakarnya dengan semangat berapi untuk mendidik dan mengutus misionaris, yang dalam terang teologinya saat itu, pergi membawa terang untuk “melenyapkan kegelapan dosa dan kebutaan manusia tak beriman”. Sejak 137 tahun yang silam itu, ribuan misionaris SVD telah dididik dan diutus, dalam kesadaran baru, untuk menghalau kegelapan dari orang-orang yang buta melihat sesamanya sebagai orang-orang yang telah dipilih, dibenarkan dan dimuliakan Allah. Misionaris dididik dan diutus untuk membentuk persekutuan manusia yang mesti saling menghargai, sebab ada keyakinan, dalam diri setiap orang Tuhan menampilkan wajah-Nya dan dalam semua kebudayaan Dia menggemakan suara-Nya. Misisonaris dididik dan diutus bertukar gagasan dan berbagi hidup, memberi dari kedalaman pengalamanya dan belajar dari ketulusan hati orang yang beragama dan berbudaya lain, mereka yang miskin dan tersisih, yang sedang mencari iman atau merasa tak punya alasan cukup untuk beriman.

Kita bersyukur pada Tuhan karena Ia baik, sebab kesetiaan-Nya telah membuka hati para misionari     untuk melihat bakat keagamaan dan semangat pengorbanan anak-anak Nusa Tenggara Timur yang mau terlibat dalam karya  besar misi Gereja dan perutusan serikat. Dan sejak tahun 37, 75 tahun silam, bukit Ledalero yang mulanya dijauhi penduduk dan ditakuti penghuni sekitar, menjadi bukit yang berdaya tarik , sebagai panti pendidikan dan sebagai almamater. Sebagai panti pendidikan bukit ini memanggil ribuan orang muda untuk membiarkan diri diteguhkan kebeneran Firman dan ditantang kejelsan Sabda, agar memurnikan motivasi dan menjernihkan pilihan, supaya mengenal diri dan memahami kepribadian. Sebagai panti pendidikan bukit ini membantu, agar frater mampu mengambil keputusan yang tepat, entah diutus sebagai awam yang menggarami dunia dalam berbagai bidang karya, atau dikirim sebagai misionaris ke berbagai penjuru dunia yang pantulkan cahaya dan gemakan warta kesetiaan Allah.

Sebagai almamater, bukit ini terus memanggil para alumninya, awam dan imam, bukan hanya sebagai bunda yang dibakar kerinduan bernostalgia, tapi bagai ibu yang terus berusaha menyampaikan rasa bangga bagi yang sukses, mengungkapkan keprihatinan bagi yang salah arah, meneguhkan yang kecapaian di medan karya. Sebagai almamater bukti ini terus memanggil para alumni, awam dan imam untuk menyegarkan komitmen dan memperbaharui tekad agar dimana dan kapan saja kita tetap menjadi Ledalero, menjadi bukit yang memancarkan terang dan menggemakan suara Tuhan.

Sejarah 75 tahun seminari ini, adalah sejarah yang digores para penghuni dan alumni, para karyawan/ti dan simpatisan. Merayakan ulang tahun seperti ini mengajak kita untuk bertapak undur, mengenang segala yang sudah dialami dan semua orang yang pernah berbagi hidup disini. Dan kita seperti semua orang lain, sangat sadar bahwa rentang waktu 75 tahun diisi kerbehasilan pun kegagalan. Ada kisah keberhasilan yang memebanggakan tetapi juga tak sedikit kegagalan yang membuat umat binggung dan warga geleng kepala. Ada yang pergi dengan kenangan indah bersamaan namun ada pula yang memendam sakit hati dan kepahitan. Bagi banyak orang, bukit ini menjadi tempat matahari sungguh bersandar dan Sabda menggemakan warta, namun bagi sejumlah orang, bukit ini menjulang terlampau tinggi sehingga menghalangi orang mengalami kejelasan sinar ilahi dan melunakan ketegasan Firman Allah. Bagi banyak orang, bukit ini mendekatkan Allah yang berpihak, namun bagi yang lain, bukit ini menjadi tanda Allah yang menjauh dan tak terjangkau.

Kita madahkan syukur Tuhan yang setia, karena Dia relakan diri dipantulkan dan digemakan oleh kita, manusia yang sering terlilit keangkuhan dan terjerat egoisme. Semakin kita sadari keabadian kasih Allah, semakin kita rela akui keterbatasan dan kerapuhan kita. Kita, umat beriman tidak selalu merupakan bagian terbaik dari masyarakat kita. Kita, para misionaris SVD dimana-mana sering bukanlah misionaris yang paling andal dan tanpa pamrih dari Gereja. Kita para penghuni dan alumni dari seminari ini, bukanlah putra-putra terunggul dari kampung dan keluarga kita. Kita, yang hari ini merayakan pesta-pesta khusus, bukanlah pribadi-pribadi yang paling istimewah dari angkatan dan teman-teman kita. Walau demikian kita semua, umat beriman, para misionaris SVD, penghuni dan alumni, punya alasan untuk bersykur dan berbesar hati, karena juga kepada dan melalui kita Tuhan mau turun sebagai cahaya yang memelekan mata dan melihat realitas seadanya, kita semua punya alasan untuk bersyukur, karena kepada dan melalui kita Tuhan terus mau datang sebagai cahaya yang menyejukan yang terbakar amarah, tetapi juga membakar lagi semangat yang mulai pudar. Kita semua punya alasan untuk bersyukur, sebab kepada dan melalui kita Tuhan terus memperdengarkan suara-Nya yang menyatakan kebenaran ditengah kebiasaan dan praktik pemutarbalikan kebenaran, menggemakan suara-Nya tentang keadilan ditengah umat dan masyarakat yang lebih suka gemakan kehendak sendiri. Kita semua punya alasanuntuk bersyukur, karena kepada dan melalui kita Tuhan setia datang ditengah umat-Nya, kepada serikat dan seminari ini, Tuhan selalu datang, karena Ia adalah hidup, dan hidup mengandung daya cipta yang tak tertahan. Tuhan datang, karena ia adalah cahaya, dan cahaya itu tak mungkin tinggal tersembunyi. Tuhan datang, karena adalah suara, dan suara tak bisa terus diredam dalam kebisuan. Tuhan datang, karena ia adalah cinta, dan cinta selamanya menyerahkan diri...               

Ledalero Mulanya Bukit Angker



Tanggal 20 Mei tahun ini Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, seminari tinggi terbesar SVD sejagad dan salah satu seminari tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia, merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Perayaan syukur untuk peristiwa penting ini dilaksanakan bulan September ini. Inilah nukilan sejarahnya.

LEDALERO, mulanya adalah sebuah bukit yang dianggap angker oleh penduduk, dijauhi karena dipandang menjadi hunian roh-roh yang mudah tersinggung. Kini, bukit ini memiliki daya tarik yang mengundang perhatian banyak pihak, pemerintah dan masyarakat Indonesia, dan para anggota SVD dan sahabat-sahabat mereka di berbagai negara. 

Karena ribuan alumninya yang tersebar di berbagai tempat sebagai imam misionaris dan awam yang berkiprah di berbagai bidang, karena gagasan-gagasan yang disumbangkan dari bukit ini untuk Gereja dan bangsa Indonesia, Ledalero bukan lagi sebuah tempat terpencil dan tertutup. Semuanya ini bermula 75 tahun yang lalu. Apa yang terjadi waktu itu?


Pada tanggal 20 Mei 1937 Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero secara resmi/kanonis didirikan. Pada hari itu, P. Wilhem Gier, pemimpin tertinggi Serikat Sabda Allah (SVD) saat itu, mengeluarkan keputusan untuk mendirikan sebuah rumah pendidikan para calon imam, biarawan misionaris SVD di Ledalero. Keputusan itu dibuat berdasarkan izin yang diberikan oleh Vatikan pada tanggal 5 Mei 1937.


Keputusan mendirikan seminari tinggi Ledalero dimotivasi terutama oleh ensiklik Maximum Illud dari Paus Benedictus XV pada tahun 1919. Ensiklik ini diterbitkan setahun setelah berakhirnya Perang Dunia I. Menurut P. Frans Cornelissen yang sangat berjasa dalam pendidikan para calon imam di Nusa Tenggara, aktor intelektual di balik ensiklik ini adalah pemimpin Kongregasi Propaganda Fide saat itu, Kardinal Willem van Rossum CSSR. 


Gereja Katolik yang waktu itu semata-mata mengandalkan para misionarisnya dari Barat, harus mengalami kenyataan bahwa perubahan situasi politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para misionaris ke berbagai tempat di dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius perekrutan tenaga imam dan biarawan dari wilayah-wilayah misi. 


Di Indonesia, terobosan yang lebih berani ke arah pendidikan para calon imam pribumi dilakukan para Yesuit di Jawa. Dua orang dari angkatan pertama sekolah pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah, menamatkan pendidikan gurunya pada tahun 1911 dan melamar untuk menjadi imam. 


Hanya seorang yang kemudian meneruskan pendidikannya mulai tahun 1914 di Belanda dan ditahbiskan imam tahun 1926. Pada tanggal 16 Juli 1915 Petrus Darmaseputra dan Fransiscus Satiman diterima menjadi novis Yesuit di Belanda. Pada tahun 1923 para Suster Fransiskanes dari Heythuisen membuka novisiat mereka. 


Itu berarti empat abad setelah terjadinya penyebaran agama Katolik secara sistematis dan berkesinambungan, barulah putera-puteri Indonesia dianggap pantas menjadi imam dan biarawan/ti. Dibutuhkan waktu sekian lama, bukan karena tidak ada orang Indonesia berniat menggabungkan diri, tetapi karena orang masih menganut pandangan bahwa orang Indonesia asli tidak memiliki bakat untuk menjalani kehidupan seperti ini. 


Tanggapan atas Maximum Illud di Nusa Tenggara diberikan oleh Mgr. Arnold Verstraelen yang menugaskan P. Frans Cornelissen untuk memulai sebuah seminari menengah. Menurut Mgr. Verstraelen, Vikariat Sunda Kecil yang pada waktu itu telah memiliki lebih dari 100.000 orang Katolik, sudah perlu mempunyai sebuah seminari. 


Menurut pengakuan P. Cornelissen, Mgr. Verstraelen memberikan penugasan kepadanya untuk mendirikan seminari seminggu setelah dia tiba bersama tiga rekan dan tiga bruder SVD di Ende. Mulanya dia hanya disuruh ke Sikka atau Lela. Kemudian Uskup katakan, "Sudah ada begitu banyak orang Katolik di sini. Dan ada juga ensiklik Bapa Suci yang mengajak para uskup misi untuk membuka seminari. 


Sudah ada juga beberapa orang muda yang telah menyampaikan maksudnya akan menjadi imam. Maka kami berpendapat: Pater bisa mulai dengan seminari itu". Frans Cornelissen memang memiliki ijazah sebagai guru, dan sebelum berangkat ke Indonesia sudah diingatkan oleh Pater J. Bouma yang menjadi rektor rumah misi Uden, bahwa sangat mungkin dia akan ditugaskan untuk menjadi penilik sekolah. 


Namun, dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang baru saja tiba di Flores langsung diberi kepercayaan untuk memulai satu tugas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Uskup Verstraelen memang mempunyai visi tentang Gereja Nusa Tenggara yang turut dipimpin oleh tenaga imam pribumi. Namun, dia tidak mempunyai gambaran yang sangat jelas mengenai bagaimana program pembinaan para calon pribumi itu harus dilaksanakan. 


Kepada P. Cornelissen dia katakan, "Sudah pasti harus diberikan Latin, bahasa Belanda dan Agama. Di samping itu bileh putuskan sendiri apa saja yang perlu dan berguna. Engkau seorang guru, maka lebih tahu dari saya mana yang perlu."


Berbekalkan kepercataan itu, Frans Cornelissen memulai seminari pertama di Nusa Tenggara. Ide besar dengan dampak sejarah yang panjang ternyata tidak dimulai dengan membangun fasilitas serba lengkap. Orang tidak mulai dengan bangunan dan fasilitas lain. Orang mulai dengan manusia. 


Sejarah seminari di Nusa Tenggara bermula pada tanggal 2 Februari tahun 1926 dengan menggunakan pendopo pastoran Lela sebagai ruang kelas. P. Cornelissen mendampingi 6 siswa pertama wilayah di Flores dan Timor. Tiga setengah tahun kemudian, pada tanggal 15 September 1929, seminari ini dipindahkan untuk menempati rumah yang dirancang dan dibangun khusus untuk tujuan itu, yakni di Todabelu-Mataloko. 


Frans Cornelissen adalah tokoh pendidikan, yang mempunyai prestasi besar bagi perkembangan pendidikan pada umumnya di Flores, secara khusus pendidikan para calon imam. 


Dia harus menghadapi banyak tantangan. Misalnya, pandangan sejumlah misionaris tentang ketaklayakan orang-orang pribumi untuk menjadi imam, dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam Gereja Katolik; persoalan pembiayaan untuk lembaga pendidikan; bahasa Melayu yang masih kurang dipahami oleh P. Cornelissen sendiri sebagai syarat untuk dapat mendampingi secara efektif para seminaris. Kendati terdapat sejumlah tantangan, pendidikam seminari tetap dijalankan.



Dititip di ‘rumah Tinggi’
PADA tahun 1932, angkatan pertama seminari telah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Bagaimana selanjutnya? Gedung khusus belum ada. Maka mereka pun dititipkan di rumah yang baru selesai dibangun untuk para misionaris SVD di Mataloko, sebuah rumah bertingkat yang karena itu disebut "Rumah Tinggi" 

Namun, pertanyaan paling mendasar adalah: apakah para lulusan itu menjadi calon imam praja/diosesan atau SVD? P. Cornelissen mengajukan gagasan: sebaiknya orang-orang pertama dari Nusa Tenggara ini diterima sebagai calon imam SVD. Alasannya, waktu itu semua imam yang bekerja di wilayah ini adalah anggota SVD. 


Agar lebih tampak persamaan antara imam-imam pribumi dan SVD, maka orang-orang pertama ini diterima sebagai calon imam SVD. Perbedaan pribumi dan Barat tidak diperbesar lagi dengan perbedaan imam praja dan religius. Maka, setelah setahun menanti, tujuh orang angkatan pertama novis SVD diterima secara resmi dan memulai masa novisiatnya pada tanggal 16 Oktober 1933. 


Enam orang dari angkatan ini kemudian mengikrarkan kaul pertama pada tanggal 17 Januari 1936. Saat itu mereka sudah cukup maju dalam studi, yang telah dimulainya pada tahun 1932. P. Cornelissen, yang mendampingi para calon ini sejak seminari menengah, mempunyai rasa bahagia dan bangga tersendiri. 


Karena para frater hanya dititipkan di "Rumah Tinggi" di Mataloko, maka sejak tahun 1935 mulai dicari tempat baru untuk sebagai seminari tinggi. PJ Bouma yang saat itu menjadi pemimpin tertinggi SVD di wilayah ini, dibantu oleh PH Hermens dan PA Visser mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Lembah Hokeng menjadi salah satu alternatif yang cukup kuat. Namun, kecemasan akan malaria menjadi alasan utama untuk mundur dari kemungkinan itu. 


Akhirnya, dengan persetujuan Raja Don Thomas Ximenes da Silva, ditetapkanlah Ledalero sebagai tempat bagi seminari tinggi SVD. Ledalero, tempat sandar matahari ini memang tempat ideal untuk sebuah  seminari tinggi, karna letaknya tidak jauh dari beberapa paroki besar seperti Nita dan Koting, lagi pula cukup dekat dengan kota pelabuhan Maumere. Maka, pada tahun 1936 pembangunan beberapa gedung penting pun dimulai. 


Setelah mengeluarkan keputusan pendirian Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal 20 Mei 1937, pada tanggal 3 Juni, pemimpin tertinggi SVD memindahkan novisiat dari Todabelu-Mataloko ke Ledalero, setelah mendapat persetujuan dari Vatikan dua hari sebelumnya. Dengan ini, seminari tinggi Ledalero sudah dapat dihuni secara resmi. 


Rombongan pertama yang tiba di Ledalero adalah dua novis, yakni Lukas Lusi dan Niko Meak, didampingi pemimpin novisiat P. Jac. Koemeester. Lukas Lusi kemudian menarik diri dari SVD dan menjadi imam praja Keuskupan Agung Ende. Niko Meak kemudian meninggal dunia pada tanggal 30 November 1938 sebagai frater. 


Tidak lama berselang, rombongan para frater yang telah studi pun tiba. Di antaranya Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale, yang kemudian ditahbiskan sebagai dua imam pribumi pertama SVD Indonesia pada tanggal  28 Januari 1941. 


Saat rombongan para novis dan frater tiba untuk pertama kalinya di Ledalero, mereka disambut umat Nita dengan ucapan dalam bahasa Sikka: "He miu ata novisen mole ata frater, mai baa deri ei Ledalero" yang artinya: hai para novis dan frater, datanglah dan tinggallah di Ledalero. Pada saat awal itu, jumlah calon imam sebanyak 16 orang: 5 orang frater mahasiswa teologi, 5 orang frater mahasiswa filsafat, dan 6 orang novis. 


Ungkapan orang Nita di atas menunjukkan bahwa pendidikan calon imam dan biarawan didukung sepenuhnya oleh umat. Umat menerima mereka dengan tangan terbuka untuk mengambil bagian dalam hidup mereka, mengalami jatuh bangun perjuangan hidup dan kegembiraan serta kebahagiaan. 


Para biarawan calon imam tidak melayang di atas angin, tetapi mesti berakar dalam kehidupan umat. Seminari, tempat persemaian panggilan untuk menjadi imam dan biarawan bukan pertama-tama rumah yang dibangun megah dengan aturan yang ketat, tetapi kehidupan umat di gubuk-gubuk sederhana yang mengenal matahari sebagai satu-satunya jaminan ketetapan ritme hidup. Jika rumah yang megah menumpulkan kepekaan para biarawan dan calon imam untuk menangkap kegelisahan umat, dan ketatnya aturan mengeraskan hati mereka untuk menanggapi persoalan masyarakat, maka seminari sebenarnya gagal menjalankan perannya. 


Berkat keramahan dan keterbukaan umat untuk selalu membumikan panggilan para biarawan dan calon imam, maka Ledalero, kendati harus menghadapi banyak tantangan dan masalah, tetap menjadi rahim yang menghasilkan imam, misionaris biarawan SVD yang diutus ke berbagai bangsa dan barisan panjang para awam yang berkiprah pada beragam bidang kehidupan. Pada tahun 1939 Ledalero mencatat 19 calon imam SVD. 


Menurut catatan Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik di Indonesia, Jilid II, 1903-1942, dari 176 siswa di seminari menengah yang memulai pendidikannya antara tahun 1926-1936, hanya 29 orang atau 16% menjadi yang ditahbiskan imam. Kini, pada saat merayakan pesta 75 tahun, seminari ini telah menghitung lebih dari 893 imam SVD sebagai alumninya, di antaranya 10 orang uskup. Sebagian yang lainnya ditahbiskan sebagai imam dalam beberapa tarekat religius lain atau imam praja dari sejumlah keuskupan. Lebih dari separuh alumni adalah awam.


Tiga Periode Penting

Seminari ini telah melewati tiga periode penting dalam sejarahnya. Periode pertama dapat disebut sebagai periode Seminari Belanda, yakni dari awal berdiri sampai akhir tahun 1950-an.


Kenapa disebut demikian? Karena kebanyakan staf dosennya adalah misionaris berkebangsaan Belanda dan bahasa pengantar di komunitas adalah bahasa Belanda. Dalam perkuliahan digunakan bahasa Latin. 


Para frater harus mengenakan jubah pada hampir setiap saat. Disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci. Tetapi juga kedekatan dengan umat sangat diperhatikan baik oleh para dosen pun para frater. Generasi yang dihasilkan dari periode dapat dilukiskan dengan kata-kata yang digunakan P. Anton Pernia dalam suratnya mengenang alm. Mgr. Donatus Djagom, SVD. 


"Gerenasi pertama SVD dari Indonesia dan Asia yang cerdas, tangguh, sedikit individualis, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Cerdas, serta memiliki komitmen religius yang kuat.


Jadi Markas Tentara Jepang 

IMAM pertama dari Seminari ini ditahbiskan tiga setengah tahun setelah lembaga ini berdiri, yakni pada tanggal 2 Januari 1941. Karolus Kale Bale dan Gabriel Manek ditahbiskan menjadi imam di Gereja Nita. P. Jacob Koemeester, rektor pertama Ledalero menulis tentang peristiwa itu demikian, "Minat orang serani besar sekali. 

Mereka kini melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang-orang mereka juga dapat mencapai imamat agung yang tinggi itu. Frater-frater dan siswa-siswa seminari menengah merasa kerinduannya akan imamat lebih menyala lagi dan dengan kurang sabar menantikan hari-hari itu, ketika mereka akan menerima jabatan yang sama". 


Setahun kemudian, di bawah bayang-bayang Perang Dunia II dan ancaman pendudukan Jepang, generasi kedua ditahbiskan, kendati belum menuntaskan studi teologinya. Tahbisan-tahbisan "prematur" ini membantu menjawabi kesulitan yang dihadapi Gereja Nusa Tenggara, ketika hampir semua misionaris berkebangsaan Jerman dan Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Selama masa pendudukan Jepang itu pula, seminari Ledalero dijadikan markas tentara Jepang, sehingga untuk sementara para calon imam dipindahkan ke Todabelu.


Fajar harapan kembali merekah bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Para misionaris dikembalikan, Gereja mengalami kebangkitan, seminari pun dihuni lagi. Rencana untuk masa depan pun ditempa lebih serius. 


Salah satunya adalah menyiapkan tenaga Indonesia untuk bekerja sebagai dosen di Ledalero. Caranya adalah mengirimkan orang-orang yang dipandang berbakat untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Maka, pada tahun 1948 dua imam dan tiga frater dikirim untuk meneruskan studi mereka di Belanda. Pada tahun 1955 satu dari mereka, P. Paul Sani kembali ke Ledalero dan mengajar sebagai dosen pertama asal Indonesia. 


Dengan ini dimulailah secara perlahan episode kedua, yang dapat disebut sebagai tahap Indonesianisasi. Semakin banyak tenaga Indonesia menjadi pengajar di Ledalero, walaupun tidak semuanya bertahan lama. 


Tahap kedua ini dipacu pula oleh perubahan di dalam Gereja yang dibawa oleh Vatikan II. Angin pembaruan yang memberikan perhatian semakin besar kepada elemen-elemen pribumi, yang umumnya disebut sebagai inkulturasi, mendorong refleksi yang semakin serius mengenai keberakaran pendidikan para calon imam SVD dalam konteks Indonesia. 


Pada waktu ini didiskusikan pula secara meluas soal partisipasi orang-orang Indonesia dalam kepemimpinan dalam Gereja, termasuk di Ledalero. Pekan Studi para imam tamatan Ledalero pada awal tahun 1970-an berbicara secara khusus mengenai tema ini. Rektor pertama Ledalero yang berkebangsaan Indonesia diangkat pada tahun 1966 dan menjalankan masa tugasnya untuk satu periode. Apa yang lumrah dewasa ini, pada waktu itu menjadi sebuah masalah. 


Dalam peta politik Indonesia, periode ini jatuh bersamaan dengan periode pemerintahan Presiden Soeharto yang melancarkan program pembangunan. Generasi para tamatan Ledalero dari periode ini ditandai oleh rasa kebangsaan yang tinggi dan dukungan bagi pembangunan yang diprogramkan pemerintah. Kemitraan dengan pemerintah menjadi hal yang penting bagi mereka. 


Para pejabat pemerintah sering mengadakan kunjungan ke Ledalero. Di antaranya adalah Jendral Ahmad Yani yang memberikan kuliah umum kepada para frater Ledalero lima hari sebelum dibunuh dalam peristiwa kejam yang disebut sebagai Gerakan 30 September 1965. Janjinya untuk kembali lagi ke Ledalero tidak dapat lagi terwujud.


Sebagai sebuah tarekat misi, para anggota SVD harus memiliki kesediaan untuk berkarya di negara-negara lain sesuai kebutuhan tarekat. Ledalero tidak hanya mendidik para calon imam SVD untuk berkarya di negaranya, tetapi untuk kebutuhan serikat di seluruh dunia. Pada tahun 1982, dua orang Frater yang berkaul kekal mendapat benumming untuk menjadi misionaris di Papua New Guinea. Mereka pergi ke sana setelah ditahbiskan pada tahun 1983. Dengan ini mulailah epiosed ketiga, Ledalero menjadi seminari bagi seluruh dunia. 


Kalau pada tahun 1926 sejumlah misionaris masih meragukan entahkah orang-orang Nusa Tenggara bisa menjadi biarawan dan imam, dewasa ini anak-anak kelahiran tanah dan budaya Nusa Tenggara telah menjadi misionaris di berbagai belahan bumi. Sejak itu, seminari tinggi ini sudah mengutus lebih dari 406 orang biarawan imam misionaris untuk berkarya di 45 negara di 5 benua. 


Walaupun harus mengatasi tantangan bahasa dan perbedaan budaya, para misionaris SVD tamatan Ledalero umumnya mudah menemukan cara untuk mendekati umat. Mereka berkarya dalam pelayanan pastoral di paroki, menjadi guru dan pendidik atau pemimpin. Beberapa di antaranya dikenal sebagai pejuang kemanusiaan dan pembela hak-hak warga dan umat yang miskin dan tersisih. 


Periode ini ditandai oleh komitmen sosial yang semakin kuat dan keterbukaan bagi misi SVD sejagad. Kehadiran semakin banyak dosen dalam berbagai bidang keahlian, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, membuat Ledalero semakin terbuka untuk menanggapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, tidak lagi dengan pendekatan pembangunan, tetapi dengan pendekatan advokasi bagi rakyat yang menjadi korban dalam proses pembangunan. 


Para dosen Ledalero bersuara mengungkapkan berbagai kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pada kesempatan seminar maupun melalui media massa. Para mahasiswa pun tidak tinggal diam. Mereka terlibat dalam beberapa aksi massa untuk membela kepentingan warga yang miskin dan tersingkirkan. 


Para Frater turut mendemonstrasi menentang proses hukum yang tidak adil atas diri seorang pastor di Larantuka yang dituduh mencemarkan nama baik bupati. Ketika di Manggarai 6 petani kopi ditembak mati oleh aparat, para mahasiswa dan dosen Ledalero tidak tinggal diam. Suara protes dan demonstrasi pun digalakkan untuk menentang rancangan undang-undang negara yang dinilai diskriminatif. 


Selain itu, keterbukaan kepada misi SVD sejagad ditumbuhkan melalui sharing para misionaris yang datang berlibur. Kisah mereka tentang kegembiraan dan duka cita, keberhasilan dan tantangan mereka, membantu memperluas wawasan dan terlebih menanamkan semangat serta menyiapkan batin mereka untuk bermisi. 


Dewasa ini, sekitar 2/3 Frater yang berkaul kekal mendapat penempatannya di luar negeri. Misi dalam arti proses seperti ini sebenarnya telah dimulai dan dialami di Ledalero. Sebagaimana di banyak lembaga pendidikan calon imam dan religius lainnya, proses pendidikan menjadi misionaris di seminari seperti Ledalero adalah proses saling menjernihkan dan memperkaya. Proses ini tak selalu mudah. 


Pertobatan untuk menjadi rendah hati, meluluhkan benteng keangkuhan diri tak selalu gampang. Ketulusan dan kejujuran harus selalu diperjuangkan, dan tak sedikit yang mesti membayar mahal untuknya. Selain itu, kepekaan sosial dan keberanian untuk menanggapi masalah-masalah sosial pun mendapat perhatian yang semakin penting. Orang perlu mengatasi godaan untuk tinggal dalam kenyamanan diri dan kelompok sendiri.


STFK Ledalero

Ledalero bukan hanya nama untuk seminari tinggi. Nama ini pun digunakan untuk Sekolah Tinggi Filsafat sebagai lembaga yang diakui keberadaannya oleh negara Indonesia. Sekolah ini bernama lengkap Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero). Dalam relasi dengan pemerintah Indonesia bidang pendidikan, nama lembaga inilah yang dikenal. Tentu saja, STFK Ledalero adalah perpanjangan tangan dari Seminari Tinggi Ledalero. 


Lembaga ini dicetuskan karena mempertimbangkan kenyataan akan perlunya pengakuan negara bagi para lulusan Ledalero. Pengakuan ini sangat diperlukan bagi para lulusan yang awam, agar mudah mendapatkan pekerjaan di luar konteks Gereja. 


Tetapi juga bagi para imam, yang mendapat kepercayaan dari keuskupan atau tarekat untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan, memiliki ijazah yang diakui pemerintah mendatangkan banyak kemudahan dan kemudian menjadi syarat yang harus dipenuhi. Saat itu ada yang mengusulkan agar diambil pendidikan Kateketik dengan gelar BA sebab dipandang lebih mudah urusannya. 


Yang lain menolak gagasan ini dan mempertahankan studi khusus filsafat dan teologi sebagai ciri lembaga ini. Soal lain adalah, apakah lembaga itu secara resmi diafilisasikan pada lembaga lain seperti Atma Jaya atau berdiri sendiri. Atas pertimbangan ini, maka pada tahun 1969 para pimpinan regio-regio SVD Indonesia dan para Uskup Nusa Tenggara memutuskan untuk tetap berdiri sendiri dan mempertahankan spesifikasi dalam bidang filsafat dan teologi. 



Masih pada tahun yang sama keputusan ini didiskusikan lebih lanjut dengan P. Musynsky, Superior General yang saat itu berkunjung ke Indonesia. Keputusan resmi dari Pemerintah Indonesia diberikan pada bulan Juni 1971. Setahun kemudian, angkatan pertama sudah membuat ujian negara BA. 


Berjalannya waktu membawa juga perubahan dalam kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Karena perubahan ini dan memperhatikan persyaratan yang sudah dimiliki, maka pada tahun 1981 STFK pun diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan Program Sarjana Filsafat. Peningkatan program studi ini terus diupayakan dengan menyelenggarakan program pascasarjana/magister teologi sejak tahun 2003. Pada tahun 2012 program studi ini mendapat akreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. 


Mulanya mahasiswa STFK adalah calon imam SVD dan para calon imam praja dari keuskupan-keuskupan se-Nusa Tenggara serta atau mantan calon imam dari kedua kelompok tersebut. 

Kemudian, para calon Karmel, Trapist (OCSO), Scallabrinian, Rogationist, Vocationist, Camelian,  Stigmata, Somasca (CRS), MSSCC pun menjalani studinya di Ledalero. Demikian pun beberapa tarekat perempuan seperti SSpS dan CIJ mengutus para susternya belajar di lembaga ini. Pada tahun 1990, para calon imam praja Keuskupan Atambua, Kupang dan Sumba pindah ke Kupang. 


Karena penambahan jumlah biara yang mengirim para calonnya dan karena keterbukaan STFK menerima mahasiswa yang sama sekali bukan calon, termasuk perempuan, sebagai mahasiswa, maka jumlah mahasiswa tidak berkurang, malah selalu bertambah. Pada awal tahun kuliah 2012/2013 berjumlah 846 orang, yang didampingi oleh 41 orang dosen. 


Sebagai lembaga ilmiah yang diakui, STFK Ledalero berurusan dengan kementrian pendidikan nasional. Standar yang harus dipenuhi diturunkan oleh pemerintah. Berbagai laporan mesti dikirim ke instansi-instansi pemerintah. Secara berkala sekolah ini didatangi oleh tim yang memberikan penilaian mengenai kualitas pendidikan. 


Pekerjaan administrasi memang terkesan menumpuk, dan orang bisa bertanya mengenai kegunaannya. Namun, semua ini pun serentak harus dilaksanakan agar tetap diakui sebagai lembaga publik yang berhak mengeluarkan ijazah yang diakui oleh negara. STFK bersyukur bahwa sudah ada dua orang dosennya diberi gelar profesor dan sejumlah lainnya mendapat jabatan akademis pada berbagai tingkatan. 


Selain persoalan ijazah, pengakuan negara pun memungkinkan STFK Ledalero berada dalam jalinan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi lain. Para mahasiswa STFK semakin terlibat dalam jejaring dengan para mahasiswa dari kampus lain. Jejaring ini membantu memperluas wawasan para mahasiswa STFK Ledalero yang sehari-hari menekuni bidang teologi dan filsafat dan sejumlah ilmu penunjang. Mereka diasah untuk terlibat dalam diskursus mengenai berbagai masalah dengan rekan-rekan mahasiswa dari perguruan tinggi lain. 


Pengakuan negara ditunjukkan pula dengan kunjungan para pejabat negara dan tokoh nasional. Salah satu kunjungan yang meninggalkan kesan yang mendalam adalah kunjungan dari Bapak Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia pada tanggal 6 dan 7 Februari 2004. 


Untuk pertama kalinya seorang tokoh Islam yang disegani dan mantan Presiden Indonesia menginap semalam di Ledalero. Penampilan beliau yang buta namun mempunyai cakrawala pengetahuan yang luas dan kedalaman spiritualitas yang kaya meninggalkan kesan yang mendalam bagi seluruh civitas akademica STFK Ledalero. 


Gempa yang Mengubah Pola Hidup


Pada penghujung tahun 1992, nama Ledalero kembali sering didengar atau dibaca para sahabat SVD. Alasannya, pada tanggal 12 Desember jam 13.30 terjadi gempa tektonis berskala 6, 2 Richter yang disusul tsunami di sebagian besar pulau Flores dan sekitarnya. 

Patahan Austronesia menimbulkan goncangan yang hebat dan gelombang pasang yang menyeret banyak warga Flores. Para penghuni Ledalero yang mulai beristirahat siang selepas makan siang, berhamburan ke luar kamar. Ledalero kehilangan dua sama saudara dalam bencana alam tersebut. 


Hampir semua bangunan di Seminari Ledalero hancur. 19.800 m2 dari total 39.600 m2 rusak total. Untuk sementara para penghuni Ledalero mendiami barak-barak. Karena kesulitan besar untuk mengatur makanan dan atap bagi ratusan penghuni, para frater untuk sementara dipulangkan ke rumah. Sebagiannya diberi pekerjaan untuk mendata kerusakan dan korban di berbagai pelosok Flores.


Sementara itu, bantuan cepat mengalir. Jaringan SVD sejagad sangat bermanfaat pada kesempatan ini. Pimpinan tertinggi SVD segera menggalang bantuan. Juga di dalam negeri bantuan berdatangan. Berkat uluran kebaikan berbagai pihak, perlahan kehidupan di Ledalero dimulai lagi, walau dalam bentuk yang lain. 


Gempa yang menghancurkan bangunan-bangunan, memaksa para penghuni Ledalero dan pimpinan SVD untuk memikirkan pola hunian dan metode pembinaan yang terbaik. Alternatif yang dimunculkan waktu itu antara lain, memindahkan rumah formasi dari Ledalero ke tempat lain yang dipandang lebih bebas dari ancaman gempa. Namun, umat yang telah membagi suka dan dukanya bersama seminari sekian puluh tahun, tidak boleh ditinggalkan sendirian. 


Justru ketika ancaman atas kehidupan menjadi demikian riil, kita harus memutuskan untuk tinggal bersama mereka. Maka, ditetapkan bahwa seminari tidak dipindahkan, hanya dicari model yang baru. 


Yang dimaksudkan dengan model baru adalah pembagian para frater dalam unit-unit hunian yang lebih kecil. Para frater dibagi dalam 8 unit. Sebagian unit dapat menempati gedung yang masing-masing tersisa dari gempa, sebagian lain harus dibangun baru. 


Setiap unit memiliki kamar makan, dapur dan ruang doa tersendiri. Dua anggota SVD berkaul kekal tinggal di setiap unit sebagai pendamping para frater. Dengan kesatuan tempat hunian yang lebih kecil, para frater harus lebih banyak mengambil tanggungjawab dalam mengatur hidup harian. Belanja dan sebagian tugas memasak ditangani para frater sendiri. 


Hal ini berlangsung beberapa tahun, kemudian dibatalkan lagi. Kini diterapkan kembali untuk menerapkan lagi sistem yang sama, di mana para frater sendiri mengelola uang belanja makanan dan bertugas memasak sekali dalam sehari. Tiga hari dalam seminggu dua orang Frater dari setiap unit harus bangun pagi-pagi dan berangkat ke Maumere, membeli ikan dan sayur segar yang diperlukan untuk dua hari. 


Gedung yang paling akhir dibangun adalah gedung-gedung kuliah dan kapela seminari. Selama 9 tahun kegiatan perkuliahan terjadi di barak-barak. Ada angkatan imam Ledalero yang menghabiskan seluruh masa studinya dalam barak-barak tersebut. Banyak pengalaman lucu dapat dikisahkan mengenai perkuliahan di tempat seperti itu. 


Karena dinding ruangan yang terbuat dari bambu, suara seorang dosen dapat didengar dan dimengerti lebih di berbagai ruangan, kendati di ruangan lain tersebut mereka sedang berhadapan dengan seorang dosen lain. Lelucon yang dikisahkan seorang dosen mengundang tertawa mahasiswa dari semua kelas. Situasi ini berlangsung sampai tahun 2001, ketika gedung perkuliahan STFK seluruhnya dibangun baru. Dan kapela Seminari diresmikan pada tanggal 12 Desember 2002, tepat sepuluh tahun setelah gempa. 


Tantangan ke Depan

Sebagai sebuah seminari besar, Ledalero menghadapi tiga tantangan utama ke depan. Pertama, mencari model pembinaan yang semakin berakar dalam realitas Indonesia serentak terbuka bagi karya misi lintas batas. Keterbukaan terhadap realitas Indonesia terutama ditunjukkan dalam kepekaan sosial dan tanggapan terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat. 


Kesiapan untuk misi lintas batas terutama terkonsentrasi pada kesediaan serta kesiapan bekerja di tengah umat yang berbeda budaya dan bersama rekan-rekan SVD yang datang dari wilayah berlainan.


Bekerja di tengah umat yang berbudaya lain memang tidak selalu gampang, dan sering lebih sulit lagi hidup dan berkarya dengan rekan-rekan sebiara dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman. Para frater pun mesti disiapkan untuk menghadapi pengalaman menggereja yang berbeda. Budaya Nusa Tenggara yang sangat menghormati para imam dapat membuat orang menjadi klerikalistis. Namun, para misionaris SVD dikirim juga ke wilayah-wilayah, di mana gerakan awam sangat kuat dan imam dihargai bukan berdasarkan status melainkan karena kualitas hidup dan kesaksian. Selain itu pembelajaran bahasa menjadi sebuah tantangan.


Kedua, memikirkan isi dan model pendidikan yang lebih berakar dalam realitas Indonesia serentak terbuka bagi tugas misi sejagad. Keberakaran dalam konteks Indonesia ditumbuhkan dengan pendalaman akan kekayaan dan kekurangan budaya sendiri, kepekaan terhadap realitas sosial masyarakat dan ketrampilan untuk memberikan tanggapan, baik yang dalam bentuk advokasi maupun inisiatif-inisiatif pemberdayaan. 


Komitmen terhadap isu-isu keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan yang didukung oleh kerasulan Kitab Suci, komunikasi serta animasi misioner perlu mendapat perhatian yang semakin besar. Model pendidikan pun harus terus menerus dipertimbangkan agar sesuai dengan kondisi kaum muda dalam Gereja dan masyarakat yang sangat kuat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi komunikasi. 


Karena berbagai pengaruh itu, usia kematangan untuk mengambil keputusan yang definitif untuk seumur hidup tidak lagi sama dengan kondisi pada 50 tahun yang lalu. Sebagaimana seminari-seminari lain, Ledalero pun mesti memikirkan sistem pendidikan para calon imam biarawan yang sanggup menanggapi perubahan ini. Kontribusi gagasan dari umat dan masyarakat, terutama alumni awam dan imam pasti akan sangat membantu usaha ini. 


Ketiga, tantangan finansial. Sebuah lembaga pendidikan para biarawan calon imam/misionaris butuh pendanaan yang besar. Sebagai seminari milik SVD, penanggungjawab utama pendanaan adalah kongregasi misi ini. Dan sumber dana terbesar yang dikelola oleh serikat-serikat religius seperti SVD adalah pemberian umat. 


Di banyak tempat di berbagai wilayah dunia umat memberikan derma untuk karya misi di berbagai tempat, termasuk karya pembinaan para calon misionaris. Umat yang bermurah hati itu umumnya bukan orang-orang yang hidup dalam kelimpahan. Dari kesederhanaannya mereka mempunya kesediaan untuk berbagi. Namun, dewasa ini jumlah umat seperti ini di Eropa dan Amerika semakin berkurang. Sebab itu, serikat-serikat misi seperti SVD harus mencari jalan untuk menggalang dana di dalam negeri sendiri. Untuk selanjutnya, kelangsungan pendidikan para calon imam/biarawan/misionaris di Ledalero akan semakin bergantung pada kemurahan hati umat dan warga, terutama pada alumninya. 


Kendati harus menghadapi berbagai tantangan ini, para penghuni Ledalero tetap dipenuhi optimisme, karena mereka tidak sendirian. Sudah sepanjang 75 tahun Tuhan memancarkan sinar kasih-Nya atas bukit ini, melalui komitmen dan kerelaan berkorban para misionaris perintis, para penghuni, umat dan warga, pemerintah serta alumni. Diimani, Tuhan yang sama akan tetap menyatakan kesetiaan-Nya dan menggerakkan banyak orang untuk terus berjalan bersama Ledalero. 


Atau, dalam bahasa John Dami Mukese dalam puisi menyongsong 70 Tahun Ledalero, "setia menapak Jalan Mentari/dalam ziarah tak berakhir." (Paul Budi Kleden/habis)


Tulisan ini di copy dari Pos Kupang.Com, yang dimuat secara bersambung