Halaman

Selasa, 09 November 2010

PNPM LEMBATA 2011, NUBATUKAN DAN ATADEI DIPASTIKAN TIDAK DAPAT BLM


Harapan masyarakat Nubatukan dan Atadei untuk mendapatkan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tahun 2011 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakaat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) pupus sudah. Tidak Cuma itu status program di dua kecamatan ini-pun tidak lagi berstatus program inti, namun menjadi lokasi program dengan status Penguatan Teknikal Asisten (TA).
Hal ini disampaikan langsung oleh MIS PNPM-MP Prov. NTT,  I Made Agus Wirajaya melalui surat elektorniknya kepada Super tanggal 15 oktober 2010 lalu. melalui e-mail I Made Agus Wirajaya mengatakan,  ancar-ancar lokasi dan alokasi PNPM TA 2011 dari Pokja Pengendali Program Penanggulangan kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, dari 9 kecamatan lokasi program di kabupaten Lembata, dua kecamatan yaitu kecamatan Nubatukan dan kecamatan Atadei tidak mendapatkan alokasi BLM di TA 2011.
Hal ini terjadi karena selama tiga tahun berturut, kecamatan Nubatukan dan Kecamatan Atadei diikutsertakan dalam alokasi dana BLM, juga pada tingkat kemandiriannya oleh program dianggap cukup baik. I Made Agus Wirajaya dalam e-mailnyapun menjelaskan, walau tidak dikut sertakan dalam BLM 2011 dua kecamatan tersebut tetap menerima dampingan dari PNPM, atau yang disebut dengan Technical Assistance (TA). Artinya dua kecamatan ini tidak dibiarkan berjalan sendiri tanpa pendampingan program.
Namun demikian menurut MIS PNPM-MP Provinsi NTT ini, kecamatan Nubatukan dan Atadei tetap mendapatkan alokasi dana, yakni dana Teknikal Asisten. Hanya sampai dengan saat ini belum di tentukan besaranya.   
Selain itu berkaitan dengan penurunan alokasi dana BLM sebesar 1 Milyar di tahun 2010 dari sebelumnya 3 milyar di tahun 2009 untuk kecamatan Nubatukan, I Made Agus Wirajaya menjelaskan bahwa, Alokasi BLM ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam penyediaan DDUB (Cost Sharing Daerah) PNPM-MP T.A. 2010 Pemerintah Kabupaten Lembata bersurat kepada Pemerintah Pusat bahwa Pemerintah Kabupaten Lembata tidak sanggup menyediakan DDUB sesuai dengan kesepakatan sebelumnya dan mengajukan kesanggupan penyediaan DDUB sejumlah Rp. 3 Milyar, dan hal ini disetuji oleh Pemerintah Pusat dengan tidak merubah/mengurangi alokasi Dana Pusat dari APBN (Dana Pusat tetap sejumlah Rp. 12 Milyar), sehingga sebagai konsekuensinya ada beberapa Alokasi BLM Kecamatan yang mengalami penurunan alokasi BLM. 
Sementara itu, Sekretaris Tim Pengelola Kegiatan PNPM tingkat Kelurahan Selandoro, Abdul Rasyid Likuwatan saat dikonfrontir di kediamannya Rabu, (10/11) mengaku terkejut mendegar informasi ini, pasalnya Konsultan PNPM di tingkat kecamatan maupun kabupaten sampai dengan saat ini belum menginformasikan kepada masyarakat.
Namun demikian, ia mengakui jika hal ini telah diperdebatkan dalam forum Musyawarah Antar Desa Di Kecamatan Nubatukan, saat itu menurut Abdul, Konsultan Kabupaten membantah dan mengklarifikasi bahwa, sampai dengan saat ini Pemda lembata masih melakukan upaya klarifikasi ke pemerintah pusat, dan memintah masyarakat untuk tetap aktif dalam pelaksanaan program.
Oleh karenanya, Abdul yang ditemui di kediamannya di bilangan wangatoa, keluarahan selandoro itu meminta agar Pihak Konsultan maupun Pemda segara menyampaikan informasi mengenai tidak dikutsertakan kecamatan Nubatukan dan Atadei dalam BLM tahun 2011 kepada masyarakat, karena ia yakin jika Pemda maupun Konsultan telah menerima pemberitahuan dari pemerintah pusat. “pasti pemda dan konsultan sudah tau tapi mereka tidak mau omong terbuka ke masyarakat” tandasnya.
            Sehingga menurut abdul, informasi nan penting ini sudah harus disebarkan ke masyarakat, agar menjadi jelas dan tidak menimbulkan masalah-masalah ikutan bagi perjalanan program di masyarakat.

Siapa yang Berani Mengusik Tidur 'Baron of Mining?

(Sebuah catatan penting tentang rencana tambang di Lembata)

Oleh: Ferdinand Lamak 

PROTES warga beberapa desa di Kecamatan Lebatukan, Lembata terhadap Pemda Lembata lantaran telah melakukan kesepakatan dengan investor (Merukh Enterprises) untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas kandungan emas dan tembaga di wilayah itu, kini menjadi kian kusut saja. Sikap Pemda Kabupaten Lembata dalam menghadapi protes warga sejumlah kampung itu pun tampak jauh dari wajah yang ramah. Wajah ramah yang harusnya ditunjukkan secara arif oleh para pemimpin pemerintahan yang sejatinya melayani ‘tuan besar’ bernama rakyat itu. Pemda begitu defensif-nya (membentengi diri), bergeming dengan sikap awalnya dengan logika "Pokoknya kita jalan terus!"
Ironisnya, sikap ini memberikan kepada kita kesan, seolah Pemda Lembata adalah perpanjangan tangan dari pemilik modal untuk mengeksekusi kepentingan investor di Lembata. Saya malah lebih cenderung menyebut kondisi yang kini dialami oleh Pemda Lembata sebagai sebuah ‘keterjebakan’ di dalam perangkap yang mereka pasang sendiri. Hasilnya, maju dihadang rakyat, mundur dihadang investor. Serba salah!
Membabibutanya sikap Pemda Lembata yang bersikukuh untuk melanjutkan rencana penambangan itu, sejenak memunculkan pertanyaan yang menggelitik di dalam benak saya. Siapakah sesungguhnya Merukh Enterprises (ME) itu, hingga membuat pemimpin-pemimpin di Lembata sana menjadi ‘hilang pendengaran’ terhadap jeritan warganya yang menolak penambangan itu? Bukankah, mereka-mereka inilah yang telah menjadikan Anda sebagai pejabat tertinggi di seantero Lembata? Sudah sangat banyak pandangan, analisis maupun catatan kritis yang menyoroti kasus penambangan di Lembata ini.
Aspek cost of environment (biaya yang muncul karena tercemarnya lingkungan hidup) memang selalu menjadi dasar pertimbangan utama dalam sebuah rencana eksploitasi material dari perut bumi. Bahkan dengan adanya kasus ini, tidak saja orang cerdik pandai yang bicara tentang lingkungan hidup. Rakyat di Kedang dan Leragere, Lebatukan dan sekitarnya pun menjadi lebih fasih berbicara tentang isu-isu lingkungan hidup, terutama mengenai dampak penambangan di kampung mereka, terhadap ekosistem di sekitarnya, kelak.
Pemda sendiri sejauh ini sepi dari argumentasi yang logis dan rasional. Satu-satunya alasan yang selalu dikemukakan adalah benefit ekonomi yang akan diperoleh dari penambangan itu. Komentar itu juga yang saya dengar langsung dari seorang pejabat di lingkungan "think tank’ Pemda Lembata. "Lembata akan jadikabupaten yang kaya raya, karena deposit emas dan tembaga di sana nomor satu di dunia," ungkap sang pejabat itu, tanpa tahu apa yang dimaksudkan dengan ‘nomor satu’ itu.
Sebagai orang sehari-hari berhimpitan dengan isu seputar investasi dan dunia ekonomi bisnis, hemat saya, argumentasi benefit ekonomi yang kerap dikemukakan Pemda Lembata selama ini pada titik tertentu dapat diterima. Tetapi, betapapun benefit itu membuat air liur kita meleleh-leleh, komparasi dengan cost yang akan ditanggung pun harus segera menyadarkan Pemda Lembata pada pertimbangan rasional, apakah rencana ini akan dilanjutkan atau tidak.
Saya agak terheran-heran ketika ada pejabat di lingkungan Pemda Lembata yang selalu berbicara bahwa penambangan ini akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sungguh, jika benar sejatinya penambangan ini akan memberikan dampak pada kesejahteraan rakyat, lalu mengapa mereka protes? Pertanyaannya sederhana saja. Pernahkah Anda mendengar berita bahwa ada rakyat yang menolak disejahterakan oleh pemerintahnya? Saya sendiri merasa yakin bahwa rakyat Lembata belum sampai pada titik ‘tidak waras’ untuk menolak jika ada pihak yang datang menawarkan diri melepaskan mereka dari belenggu keterbatasan ekonomi. Menjadi lebih konyol lagi, pemerintah justru bersikukuh untuk tetap membuka penambangan itu untuk kesejahteraan rakyat. Masa ada pemerintah yang datang dan berkata kepada rakyatnya, "Pokoknya kamu setuju atau tidak, tetapi minggir, kami mau mensejahterakan kalian." Konyol bukan?
Meskipun mengusung logika penambangan itu sebagai sebuah upaya ‘menyejahterakan’, warga pun kemudian menolak. Mereka tidak ingin disejahterakan melalui sebuah eksploitasi perut bumi Lembata. Dilihat dari riwayat penolakan tambang di negeri ini, tidak pernah ada kasus dimana warga ditangkapi dan dibui lantaran memrotes dan menolak disejahterakan. Tetapi sebaliknya, masalah justru sering menimpa pihak yang secara diam-diam menandatangani nota kesepakatan itu. Ketika deal-deal rahasia antara pemda dan investor, konsesi-konsesi serta iming-iming menggiurkan, hingga membuat MoU itu ada, lalu pada giliran pelaksanaannya mengalami kendala, siapa yang akan disalahkan? Investor tentu saja tidak akan menerima begitu saja ketika salah satu pihak melanggar nota kesepakatan itu. Jika demikian, maka pertanyaannya kini, apa sebetulnya yang tengah terjadi di balik ngototnya Pemda Lembata ini?

Siapakah sesungguhnya Merukh?
Nama Merukh sejak September silam mulai santer terdengar di Lembata. Mulai dari kabar bahwa pengusaha ini akan masuk ke Lembata untuk menambang emas dan tembaga di sana hingga aksi protes yang dilakukan oleh warga bakal lokasi penambangan itu. Nama Merukh seketika menjadi buah bibir. Namun, pertanyaan selanjutnya, siapa sesungguhnya pria ini?
Bagi pria kelahiran 10 Juni 1936 di Pulau Rote, yang bernama lengkap Jusuf Merukh ini, persoalan di Lembata mungkin sebuah persoalan yang ‘kecil’ sepanjang pergumulannya dengan urusan tambang menambang. Merukh, anak dari pasangan Yunus Merukh (pegawai pemerintah Belanda di Maros, Sulawesi Selatan, yang kemudian bekerja di perusahaan swasta milik Belanda), dan Esther Merukh itu, kemudian beranjak remaja di Ujung Pandang (kini Makassar). Debut awal lulusan S-1 di Texas Agricultural and Mechanical University, AS ini di dalam dunia pertambangan, bermula ketika ia mendapat HPH (hak pengelolaan hutan) yang kemudian membuatnya berhasil membeli 500 kuasa pertambangan, sampai akhirnya ia menguasai sejumlah tambang emas di Indonesia.
Semua itu ia peroleh karena kedekatannya dengan kekuasaan di masa silam. Apalagi, Merukh sendiri sempat terkenal sebagai salai satu tokoh Partai Nasional Indonesia. Di masa Bung Karno, misalnya, Merukh termasuk salah seorang yang sering dipanggil ke istana. Mas Jusuf, demikian Bung Karno dan keluarganya memanggil, tak cuma terlibat dalam soal urusan negara. Tapi juga kepentingan keluarga presiden.
Sebagai Ketua PNI Jakarta Selatan, dialah yang mencarikan lahan untuk tempat tinggal Guntur dan Megawati, di kawasan Kebayoran. Begitu pula ketika Dewi Soekarno ingin membuat sertifikat tanahnya, Ibu negara ini tak segan-segan meminta bantuan Merukh. Menurut pengakuan Merukh kepada sebuah Tabloid Ekonomi Bisnis terbitan Jakarta, 1997 silam, kekayaannya bermula dari HPH yang dipegangnya. HPH itu ia kontrakkan pada pengusaha Jepang, sementara Merukh sendiri ongkang-ongkang kaki mengantungi royalti.
Masuknya Merukh ke pertambangan sendiri berawal dari ajakan seorang teman warga negara Amerika Serikat, bernama Tony Branco. Dengan modal tabungan sebanyak US$ 5 juta, Merukh membeli tak kurang dari 500 hak kuasa pertambangan (KP). Tujuannya hanya satu, mencari chrom. Tapi sial, yang ketemu selalu emas. Padahal, waktu itu harga emas sedang jatuh-jatuhnya. Kendati ditinggal mitra asingnya, di beberapa lokasi Jusuf terus melakukan penambangan. Hasilnya, selain emas, ia juga menemukan mangan dari Pulau Halmahera. Ekspor mangaan itu merupakan hasil pertamanya.
Saking tertariknya pada pertambangan, ia tak bosan-bosan mendesak pemerintah agar segera membuka bidang usaha ini bagi investor asing. Usulan itu makin gencar diajukan ketika Menteri Pertambangan dijabat Soebroto. Tidak sia-sia, pemerintah akhirnya menyetujui usulan bekas Ketua DPRD DKI ini. Pada awal 1990-an, nama Merukh sudah tidak banyak terdengar, kecuali ketika ia dan Gerry Mbatemoi disebut-sebut dalam kisruh dalam tubuh PDI pimpinan Drs. Suryadi. Namun di kurun waktu 1996-1997, namanya kembali mencuat seiring dengan mencuatnya sengketa mengenai siapa yang berhak mengelola deposit emas yang sangat besar di Busang, Kalimantan Timur.
Jusuf, yang mengaku sebagai penemu dan pemilik tambang emas Busang (bahkan konon nama Busang itu dia yang berikan), merasa sangat dirugikan, ia menggugat Bre-X, perusahaan penambangan emas dari Kanada. "Kalau saya menemukan tambang, akan dihargai orang luar, sehingga mudah membawa orang luar ke dalam untuk kerja sama," katanya kepada tabloid itu.
Kini Merukh menjadi pemilik legal right bagi pertambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Busang itu, menurut Jusuf, bukan barang yang tidak bertuan. "Saya yang menemukan, dan sudah keluar 20 juta dolar sekian untuk membuktikan itu. Uangnya dari mana? Saya pinjam. Kalau kita meminjam dari seseorang, kemudian diserahkan ke orang lain-lain, ‘kan saya bisa dituntut. Pengacara-pengacara saya juga bisa nuntut saya."
Nah, dari gambaran mengenai siapa sesungguhnya Merukh di atas dengan segala sepak terjangnya di dunia pertambangan nasional, maka saya memperkirakan, langkah Pemda Lembata ini cenderung menjebak diri sendiri. Kiprah Merukh yang kerap dijuluki ‘Sang Veteran’ atau "Baron of Mining’ ini sudah menunjukkan bahwa beberapa sengketa penambangan akibat dilanggarnya MoU, akhirnya ia menangkan.
Bagi Pemda Lembata saat ini, maju kena, mundur pun kena. Tentu saja, tergantung klausul dari MoU yang mereka tandatangani. Ini seperti yang terjadi pada kasus sengketa hak eksplorasi tambang emas Martabe, di Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Implikasi yang lain yang mungkin timbul adalah, jika eksplorasi merekomendasikan bahwa kandungan emas dan tembaga di dalam perut Lembata layak dieksploitasi, maka belum tentu ME akan menggelontorkan investasi untuk menanganinya. Apalagi jika bermitra dengan investor asing sudah lama menjadi prinsip Merukh dalam berbisnis di dunia pertambangan, bukan tidak mungkin pola ini pun akan diterapkannya di Lembata.
Catat saja beberapa fakta berikut, dalam Kontrak Karya PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) PT. Tanjung Sarapung milik Merukh, mendapat saham 20%. Demikian juga di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), melalui bendera PT Pukuafu Indah, Merukh mengendalikan 20% saham perusahaan itu. Di dalam bisnis, pola seperti ini merupakan hal yang wajar. Konsesi terhadap goodwill, atau intangible asset lain dalam bentuk kepemilikan saham (share) adalah hal yang normal. Tetapi ini akan menjadi petaka besar bagi warga Lembata, dan bukan tidak mungkin akan menjadi mimpi buruk juga bagi masyarakat di dua kabupaten terdekat, Flores Timur dan Alor, jika limbah (tailing) kemudian dialirkan lewat pipa bawah laut untuk dibuang ke tengah laut.
Yang menjadi sangat memilukan, semua dampak yang timbul dari ekploitasi tambang tidak langsung dirasakan sekarang. Bahkan sampai masa jabatan bupati dan Wakil Bupati Lembata saat ini usai pun, dampaknya belum terasa. Tetapi tunggu, nanti pada 10 hingga 15 tahun setelah eksploitasi dilakukan, bukan tidak mungkin berita mengenai kasus pencemaran lingkungan di Lembata dengan korban rakyat jelata, akan menghiasi wajah koran ini saban harinya. Sama seperti yang dialami oleh warga di sekitar 527.448 hektar lahan yang menjadi wilayah operasi PT Newmont Minahasa Raya, di Desa Ratotok, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Pernahkah terbayang oleh warga setempat bahwa Kontrak Karya yang disetujui oleh Presiden RI kala itu, Soeharto, pada 6 November 1986, kemudian akan melahirkan kasus pencemaran lingkungan yang sempat heboh pada 2004 silam? Dilema Pemda Lembata dalam kasus rencana penambangan ini, hanya akan berakhir jika Pemda Lembata tidak melihat MoU sebagai sebuah awal dari kiamat jika melanggarnya. Jika masih meyakini bahwa suara rakyat adalah Suara Para Leluhur, Lewo Tana, Leu Au’ dan Suara Tuhan Penguasa Alam Semesta, maka tak perlu takut membangunkan, sekalipun itu "Sang Baron" yang tengah nyenyak tertidur pulas. Jika sudah cukup lama, banyak kebijakan yang tidak menggunakan hati nurani maka, kini pergunakanlah. Sebagaimana nasihat nan arif dari para leluhur Lamaholot berikut ini, "Peten penukut taan onet." (Yang Berarti: Pikirkanlah dan renungkanlah dengan hati nuranimu, sebelum membuat keputusan).
*Penulis adalah jurnalis dan pemilik media, tinggal di Jakarta.

VISI LEMBATA 2021 & ENTREPRENEURIAL LEADERSHIP

oleh : Ferdinand Lamak Rajan
Judul tulisan di atas mungkin terlalu abstrak dan teoritikal bagi sebagian orang. Namun, tulisan ini juga, hanya sebuah coretan kecil yang saya buat di tengah kegundahan saya, betapa terpuruknya tanah kelahiran saya, Lembata jika tahun depan nanti rakyatnya kembali salah memilih pemimpinnya.
Saya meyakini bahwa deretan kata-kata di atas sungguh sangat dan bisa dilakukan di Lembata, terutama jika kita hendak mencari model kepemimpinan yang pas bagi Lembata yang kita cintai. Entrepreneurial Leadership, kepemimpinan kewirausahawan adalah salah satu opsi yang lebih solutif ketimbang menggunakan paradigma usang, kepemimpinan yang berorientasi pada anggaran-budget-based leadership. Dan ini, tidak hanya tepat dilakukan di Lembata, melainkan juga di wilayah kabupaten lain.
Kabupaten Sragen dan Lamongan adalah contoh kesuksesan dari entrepreneurial leadership, dimana Sragen lewat Untung Sri Wiyono sukses mencapai efiensiensi dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan melalui penerapan E-Government, sementara Lamongan berhasil menggandeng Temasek untuk pengembangan industrial estate (kawasan industri) dan pembangunan bandar udara masa depan. Dalam takaran dan skala yang berbeda, Lembata punya sekian banyak potensi yang dapat dikelolakembangkan secara optimal jika, pemimpin yang dipilih oleh rakyat adalah dia yang memiliki sensitifitas tinggi untuk tidak hanya menjadi pengguna anggaran semata, tetapi juga pemikir dan pekerja keras, bagaimana meningkatkan value dari anggaran tersebut untuk melipatgandakan nilai tambah bagi rakyat Lembata.
Ada cukup banyak potensi yang jika hendak dielaborasi secara gradual, maka saya akan memulai dari yang paling mungkin dilakukan jika seorang pemimpin memiliki entrepreneurial leadership:

Pembenahan Disiplin dan Etos Kerja Aparatur
Tidak ada data yang valid, tetapi dalam estimasi saya, 75% jumlah uang yang beredar di Lembata bersumber dari berbagai dana yang datang dari pusat dan keluar dalam bentuk berbagai anggaran pembangunan di Lembata. Sekitar 25% sisanya adalah kontribusi dari sektor swasta, meskipun kita mesti sadari juga bahwa terlalu banyak 'grey area' di sekitar garis batas antara sektor pemerintahan dan sektor swasta di Lembata.
Dengan asumsi di atas, maka paradigma aparatur pemerintah dalam melayani pemerintah, harus segera dibenahi mengingat terlampau tingginya tingkat degradasi kinerja yang dapat terukur secara kasat mata oleh rakyat dan diartikulasikan secara lantang dan telanjang di berbagai wilayah di Lembata. Keluhan tentang birokrat dan wakil rakyat yang korup, mungkin valid untuk dapat digunakan sebagai parameter kwalitatif-nya.
Pengalaman saya di tahun 2006 saat pergi ke berbagai desa menyerap aspirasi masyarakat Lembata memberikan saya sebuah pemakluman bahwa, rakyat berada di dalam dilematika yang teramat menghimpit, ketika mereka berteriak ataupun lirih mengeluh tentang rendahnya kepuasan pembangunan yang mereka rasakan, di sisi yang lain mereka pun harus mengalami ironi karena kerabat handai taulan mereka justru duduk sebagai pejabat di jajaran birokrasi Lembata. Ketika rakyat di Lebatukan berteriak menolak tambang, celakanya yang duduk sebagai kepala think tank perencana pembangunan di Lembata (Bapeda) adalah anak kandung Lebatukan. Saya tidak bermaksud mengkotakkan rakyat dan aparatur dalam satu kotak untuk geo-oriented dalam kebijakan pembangunan. Yang mau saya soroti adalah dilematika dan ironi yang sedang terjadi dan dialami rakyat.
Itu sebabnya, birokrasi sebagai pelayan rakyat dan pengelola berbagai anggaran pembangunan di Lembata, harus segera dibenahi mental dan spiritual-nya. Birokrat harus dibuka horison berfikirnya, bahwa kerja mereka adalah pelayanan. Menjadi PNS harus dimaknai sebagai sebuah kontrak seumur hidup untuk bekerja bagi rakyat karena, waktu atau jam kerja mereka, sudah 'dibeli' oleh rakyat dengan memberikan mereka gaji plus berbagai tunjangan, promosi jabatan dan bahkan sampai mereka pensiun pun, kehidupan mereka sudah terjamin aman. Komparasi sepadannya adalah profesional di sektor swasta yang bekerja totally untuk perusahaan atau lembaga dan tidak boleh sedikitpun melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan merugikan secara materiil dan immateriil bagi perusahaan yang menggaji-nya. Di dalam diri PNS, harus mulai ditanamkan kesadaran bahwa, tidak akan pernah ditemukan, orang dibayar setiap bulan, dijamin pensiunnya untuk kemudian menjadi raja dan acuh terhadap rakyat yang membayarnya. Apalagi jika sampai bergaya pongah dan angkuh di hadapan rakyatnya sendiri.
Dan untuk kondisi ini, pemimpin yang punya entrepreneurial leadership harus membantu jajaran birokrat untuk melakukan mental switch dan orientation switch. Dudukkan kesadaran mereka, meski ini tidak mudah, bahwa PNS adalah profesi mulia, bukan profesi buangan. PNS adalah orang-orang pilihan yang sudah dijamin kehidupannya sampai batas usia hidup mereka, bahkan selama-lamanya, meski mereka sendiri belum menjamin seberapa tinggi etos kerja mereka. Menjadi PNS yang profesional adalah ibadah dan mulia. Pemimpin yang punya entrepreneurial leadership tidak sepatutnya memberikan vonis atau stempel yang ekstrim akan kondisi ini.
Pembenahan aparatur ini harus dilakukan sejalan dengan reward and punishment yang sepadan berdasarkan alat ukur yang tool's nya bisa dirancang oleh BKD.

Efektifitas dan Efisiensi
Dalam beberapa komentar dan tulisan di facebook, saya selalu menyampaikan bahwa Lembata dengan kondisi seperti saat ini, menyimpan berbagai potensi dan resources untuk dapat bangkit kembali. Potensi dimaksud bukanlah kandungan emas di Kedang dan Leragere. Bukan pula panas bumi di Nuba Atalojo - Atakore. Hemat saya, potensi yang paling mudah dan mungkin untuk digarap di tahap awal dan harus menjadi prioritas adalah efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
Ekonomi biaya tinggi dalam penyelenggaraan pembangunan selama ini, harus segera dijinakkan dengan jurus-jurus efisiensi yang lazim dilakukan di sektor swasta. Contoh in-efisiensi yang selama ini terjadi: Perjalanan dinas yang menghabiskan tidak sedikit anggaran baik oleh pemerintah maupun legislatif, mestinya dapat diefisienkan dengan sangat selektif menentukan pemberian SPPD oleh kepala SKPD atau pimpinan lembaga. Modus penambahan penghasilan lewat budget perjalanan dinas dapat dicegah, dan dengan kontrol yang ketat, sistim yang dibangun dengan sendirinya dapat mencegah orang untuk tidak menjadi pencuri.
In-Efisiensi yang lain adalah, berbagai aktifitas yang dilakukan dengan tujuan peningkatan kapasitas aparat dan anggota dewan di luar Lembata, khususnya di Jawa. Hemat saya, jika kegiatan itu seperti BIMTEK dll. dijalankan secara berjemaah-artinya melibatkan seluruh anggota dewan atau sejumlah penjabat pemerintah, lebih efisien jika dilakukan terobosan dengan melakukan In-House BIMTEK. Instrukturnya lah yang didatangkan dari Jakarta untuk memberikan berbagai materi itu di Lembata. Efisiensi yang ditimbulkan bisa berkali-kali lipat ketimbang setiap orang ke Jakarta dengan mengantongi SPPD selama 7 hari kerja, meski sudah jadi rahasia umum bahwa kegiatan selama 3 hari bisa disulap menjadi hanya satu hari saja. Selebihnya, pelesir.
Kebijakan pembangunan rumah potong hewan, pabrik es, pelabuhan pendaratan ikan, penyulingan air laut menjadi air tawar, relokasi kantor bupati dan kantor-kantor lainnya, adalah kebijakan in-efisien yang telah dihasilkan oleh pemerintah kabupaten Lembata. Tidak harus dicela, tetapi jika pun ada pelanggaran hukum di dalamnya, tak juga harus ditutupi atau dilindungi.
Nah, jika semua perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di Lembata, mengunakan mindset efektifitas dan efisiensi, maka niscaya saving pun akan meningkat untuk dapat dialokasikan pada pos-pos pembangunan lain yang lebih urgen dan lebih berdayamanfaat. Kita pasti butuh perencana yang andal, berwawasan luas dan tidak sok tahu atau sekadar mengandalkan senioritas kepangkatan dll.

Revitalisasi Simpul Ekonomi Rakyat
Visi pembangunan ekonomi rakyat mustahil jika dirancang hanya dalam kurun waktu lima tahun. Kalkulasi saya, 5 tahun pertama adalah masa persiapan dan baru akan mulai dipanen manfaatnya di periode berikutnya. Itu sebabnya, saya lebih tertarik mengasumsikan bahwa peralihan periode kepemimpinan di kabupaten ini harus dilakukan dalam sebuah proyeksi pembangunan berjangka 10 tahun. Mengapa? Karena berbagai bottleneck yang terjadi harus diurai satu per satu dan dicarikan solusi yang bukan retoris. Solusi yang apllicable adalah musuh paling besar dari retorika tanpa makna dan abstrak yang meninabobokan rakyat.
Nah, modal dasar pembangunan jika mau dirancang dalam satu durasi menengah (10 tahun) sebetulnya sudah tersedia. Natural resources, cukup tersedia. Heavy untuk struggle for life, masyarakat kita ulet. Mereka tinggal butuh solusi akseleratif saja dari pemerintah. Konkrit saja seperti ini:
Petani & Nelayan: Mereka memiliki keterbatasan opsi yang amat sangat dalam aktifitas produksi maupun konsumsi mereka. Dependensi mereka terhadap saudagar lokal amat sangat tinggi dan melilit. Padahal, merekalah yang memiliki dua modal dasar, dari sekian banyak modal dasar lainnya yang saya sebutkan di atas. Saya memandang perlu dihidupkannya kembali local corporation atau perusahaan daerah sebagai holding untuk investasi luar yang datang untuk memberikan nilai tambah bagi natural resources (non tambang tentu saja - red), sementara koperasi dan UKM dihidupkan untuk menaungi aktifitas produksi dan konsumsi langsung mereka.
Pada titik ini, saya sepakat dengan konsep membumi yang dimiliki oleh salah seorang calon yang bercita-cita menjadikan Lembata sebagai benchmark kabupaten koperasi tingkat nasional. Sebuah konsep yang memiliki visibilitas tinggi untuk diterapkan, memungkinkan secara regulatif, dan lazim di dalam perekonomian moderen era global. Mungkin sedikit yang perlu di perdalam lagi adalah pada sisi pembagian peran dengan aktifitas investasi dalam jangka panjang, dengan menggunakan BUMD sebagai payung-nya.
Menurut saya, kegelisahan yang paling dalam dirasakan masyarakat lembata saat ini dalam kaitan dengan urusan kebun dan ladang mereka adalah pada kontradiksi pasar yang selalu menempatkan mereka dalam posisi yang terjepit. Jika, harga komoditi hasil produksi mereka selalu bergantung pada informasi harga komoditi di pasar surabaya yang entah valid atau tidak, demikian pula yang terjadi pada komoditi inflow dari luar yang mereka butuhkan seperti beras, bawang, dll. Semuanya ditentukan oleh pedagang tanpa mereka bisa mengintervensi itu.
Di sinilah saya melihat adanya tantangan, siapa yang bisa merancang sebuah konsep untuk mendudukan rakyat sebagai sebuah kekuatan ekonomi dalam menentukan kedua hal di atas; harga komoditi mereka dan komoditi luar yang masuk ke Lembata? Bagi saya, hanya pemimpin yang memiliki jiwa kewirausahawan yang mampu membuat formulasi ampuh dan dapat dimplementasikan.

Tambang, Solusi Paling Akhir
Jika efektifitas dan efisiensi pembangunan merupakan potensi yang paling dapat digarap di tahap awal, maka saya berpandangan bahwa, tambang apapun itu namanya, adalah solusi paling akhir. Jika perlu, bupati yang terpilih melakukan referendum untuk mengetahui secara detail, apa aspirasi langsung dari rakyat.
Soal tambang emas, rakyat sudah banyak tahu mula dan akhirnya seperti apa. Namun yang ingin saya berikan catatan kritis adalah pada, bagaimana sikap pemda dan anggota dewan dalam menyikapi rencana investasi pihak ketiga untuk mengeksploitasi panas bumi di Atadei.
Akal sehat saya tidak bisa menerima jika pemerintah dan anggota dewan, menganggap bahwa potensi itu dapat dikembangkan untuk meningkatkan derajat ekonomi masyarakat Lembata. Kalau rakyat, itu lain soal karena wajar jika mereka tidak atau kurang paham pada hal-hal berkaitan dengan geometri....upsss...maaf, geothermal itu :)
Siapakah investor 'sinting' yang mau datang ke Lembata untuk membenamkan ratusan miliar bahkan triliunan rupiah untuk kembangkan energi panas bumi di Lembata. Sekadar perbandingan dengan Pertamina Geothermal Energy di Kamojang Jawa Barat; Energi yang diproduksi dari Kamojang berkapasitas 200 Mega Watt itu,140 MW di antaranya berupa uap yang dipasok ke Indonesia Power (anak perusahaan PT PLN) dan 60 MW berupa listrik yang langsung dipasok kepada PLN. Sementara itu di Lembata, menurut Tim konsultan panas bumi, PT Nadia Karsa Amerta bernama Munasir Amran, sebagaimana diberitakan Pos Kupang, 12/2/2009, investasi yang dibutuhkan mencapai Rp2 Triliun. Kapasitas panas bumi di Atadei, menurut yang bersangkutan mencapai 60 MW. (Data dari ESDM: 40 MW).
Nah, pertanyaannya kini...jika investasi sebesar ini sudah dibenamkan, lalu apakah benar PLN akan menyerap semua energi yang dipasok tersebut? Apakah dari Lembata ke pulau-pulau lain di sekitarnya sudah terbentang jaringan interkoneksi yang menjadi syarat mutlak pendistribusian energi tersebut? Asal tahu saja, salah satu kendala pengembangan PLTP Kamojang selain pada aspek pendanaan yang kini tengah mereka harapkan dari pinjaman ke pemerintah Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan Bank Dunia, pengembangan mereka juga terhambat karena belum adanya interkoneksi di seluruh Sumatra dan pulau lainnya serta interkoneksi Jawa-Sumatra, padahal listrik yang dihasilkan juga harus disalurkan.
Sementara itu dari sisi lokasi, masih banyak sumber panas bumi lain di luar Lembata yang mungkin akan menjadi prioritas terdahulu untuk dieksploitasi seperti: Seulawah Agam, NAD 160 MW, Jailolo, Maluku Utara 75 MW, Telaga Ngebel, Jatim 120 MW, Gunung Ungaran, Jateng 50 MW, Gunung Tampomas, Jabar 50 MW, Tangkuban Perahu, Jabar 220 MW, Jaboi, NAD 50 MW, Sekincau-Suoh, Lampung dengan potensi Sekincau 264 MW dan Suoh 238 MW, Marana, Sulteng 40 MW, Suwawa, Gorontalo 65 MW, Songa Wayaua, Maluku Utara 140 MW, dan Mataloko, NTT 65 MW.
Itulah sebabnya, saya berpikiran bahwa dengan investasi yang demikian tinggi dan potensi utilisasi yang demikian rendahnya (mengingat tidak adanya industri di Lembata dan belum adanya jaringan interkoneksi untuk distribusi energi) maka sudah sepatutnya kita pendam dulu birahi kita untuk menghadirkan proyek mercu suar ini di Lembata, dalam satu-dua dasawarsa ke depan. Mungkin, nanti...ketika anak cucu kita membutuhkan ini, barulan potensi ini digarap.

Entrepreneurial Leadership, Membuat 2+2 = 8
Pola kepemimpinan yang dijalankan di banyak daerah di Indonesia menganut sistim birokrasi lama yang hanya menjalankan partitur penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana sudah diatur dalam textbook, miskin kreasi dan inovasi. Itu sebabnya, terkadang kita jumpai, demi amanat peraturan yang ditafsirkan secara membabibuta dengan kacamata kuda, pemborosan pun dipilih untuk dilakukan, karena pemborosan itu legal, meski negatif untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Saya lantas bertanya-tanya, pernahkah seseorang dijebloskan ke penjara lantara efisiensi yang dia lakukan untuk menghemat dan mengetatkan penggunaaan anggaran?
Mental seperti ini rasanya sulit untuk mendongkrak akselerasi Lembata ke titik bangkit yang kita inginkan bersama. Mengapa? Pola pemanfaatan dan penghabisan anggaran seperti ini sudah terjadi dan terbukti membawa Lembata ke jurang ketertinggalan nan dalam seperti saat ini.
Maka, jika di dalam kepemimpinan lama, kita hanya dapat mengenal logika 'pengurangan' anggaran tanpa terukur benefit yang dihasilkan dari penggunaaan anggaran itu, dan ini pun tidak terawasi dengan baik oleh legislatif kita dari kedua generasi yang sedang dan sudah menjabat ini, kini sepertinya sudah tiba saatnya kita melakukan turn arround; mencari pemimpin yang mampu memberikan nilai tambah bagi kapital yang diturunkan dari pemerintah pusat dalam bentuk DAU dan DAK, sehingga jangankan 100-80 tinggal 10 saja (karena ada kebocoran anggaran), tetapi 50-25 pun tidak hanya tersisa 25, melainkan dalam wujud tertentu dia justru bertambah nilainya, sehingga 50-25 menjadi 75. Karena, sesungguhnya modal yang diberikan dari pusat harus dikelola sebaik dan se-transparan mungkin untuk bisa menghasilkan added value, sehingga 2+2 bukan hanya 4 tetapi bisa mejadi 8. Dan, hanya pemimpin dengan Entrepreneurial Leadership-lah, yang memandang pembangunan Lembata dalam spektrum yang lebih berjangka panjang, dan dalam kurun waktu itulah itu menjalankan pembangunan sebagai medium untuk memberikan added value bagi modal dalam bentuk berbagai dana yang datang dari pusat.

Adakah calon pemimpin seperti ini yang dimiliki oleh Lembata?
Jakarta, 12.37, Selasa, 9 November 2010.