Halaman

Minggu, 19 Agustus 2012

Bupati Lembata: Saya Kaget Dengar Sudah Habiskan 1 M


POS KUPANG.COM, LEWOLEBA -- Bupati  Lembata, Eliaser Yentji Sunur kaget merebaknya isu di masyarakat Lembata bahwa perjalanan dinas keluar daerah  selama ini telah menghabiskan dana sekitar Rp 1 miliar hingga Rp 3 miliar. 

"Saya kaget dengar bahwa saya sudah habiskan dana Rp 1 miliar, bahkan Rp 3 miliar untuk perjalanan dinas saya selama ini. Itu hanya bohong-bohongan saja," kata Eliaser dalam konferensi pers di Aula Kantor Bupati Lembata, Selasa (14/8/2012).

Sambil menggelengkan kepala dan tertawa, Eliaser menegaskan, informasi itu menyesatkan. Berdasarkan sumber yang tidak jelas. Eliaser menjelaskan, jika sampai Rp 1 miliar apalagi Rp 3 miliar, itu artinya bupati keluar daerah menggunakan uang sendiri.  Sebab, lanjut Eliaser, pagu dana APBD Kabupaten Lembata untuk perjalanan dinas bupati dan wakil bupati  sebesar Rp 813.800.000. Dari jumlah itu, sebesar 60 persen untuk perjalanan dinas  bupati dan 40 persen untuk wakil bupati.

Eliaser mengatakan, bupati telah merealisasikan dana perjalanan dinas sebesar 59 persen  dan wakil bupati sebesar 58 persen. "Hampir sama, saya sudah realisasikan 59 persen dana, pak wakil 58 persen," kata Eliaser, diamini Sekda Lembata, Petrus Toda Atawolo.
 

Eliaser mengatakan, pemerintah belum mengajukan tambahan dana perjalanan dinas keluar daerah mendahului perubahan APBD tahun 2012. Sebab, sisa dana yang ada masih bisa digunakan untuk perjalanan dinas hingga akhir tahun 2012 ini. "Paling tinggal tiga bulan saja tahun ini. Agustus sudah tidak ada lagi," ujarnya.

Berapa jumlah perjalanan dinas? Bupati Eliaser mengarahkan menjawab pertanyaan itu kepada Sekda Lembata, Petrus Toda Atawolo. Demikian juga di bagian keuangan, Pos Kupang diarahkan untuk menemui Sekda. Tetapi, Sekda belum bisa memberikan jawaban. Ditelepon ke nomor telepon selularnya tidak aktif, dan SMS juga belum dibalas.

Mengapa bupati sering jalan keluar daerah? Eliaser  mengaku berada di Jakarta lebih sibuk daripada di Lembata. Karena banyak kegiatan.  Kegiatan di Jakarta, demikian Eliaser, mengikuti kewajiban orientasi kepala daerah. Bertemu sejumlah menteri seperti Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Daerah Tertinggal, Menteri BUMN, Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif, Kepala Staf Angkatan Laut, Apindo, Suryadi Sasmita, Dirjen Perhubungan, dan Bappenas.

Eliaser menyebut tujuan pertemuan untuk melobi program kementerian yang mungkin bisa diover ke Lembata guna mempercepat pembangunan di Lembata.  Kesempatan pertama, kata Eliaser,  Mari Elka Pangestu akan turun langsung ke Lembata melalui Maumere, Kabupaten Sikka.
 

Selain itu, pengusaha Suryadi dari Apindo Jakarta telah menyatakan kesiapan untuk mendorong pengusaha yang tergabung dalam Apindo untuk berinvestasi di Lembata. Salah satunya pemilik Matahari Mall Jakarta meluaskan pasarnya di Lembata dengan harga barang di Lembata sama dengan di Jakarta.

Eliaser menjelaskan, tingginya harga barang di Lembata disebabkan biaya kapal mahal. Hal itu terungkap dari sejumlah pengusaha di Lembata. Bupati pun bertekad mendorong agar barang-barang di Jakarta drop langsung ke Lembata, tidak lagi lewat Surabaya di Jawa Timur.

Selain itu,  bupati juga menjajak kemungkinan penyeberangan kapal feri  Maumere-Lembata atau Larantuka-Lembata khusus untuk barang. Sedangkan kapal feri Lewoleba-Adonara sudah disetujui Dirjen  Perhubungan, hanya menunggu aksi saja. Hal ini untuk mendorong mobilitas barang Lembata-Adonara. 

Bupati juga sudah mendorong pemerintah pusat supaya cepat mengintervensi pelayaran Lewoleba-Wakatobi, karena Wakatobi pintu masuk pasar nasional Indonesia Timur melalui Makassar di Sulawesi Selatan.

Isu konektivitas, Bupati Eliaser mengatakan, berpijak pada sejarah dagang di Lembata. Selama ini, Lembata dekat berhubungan dagang dengan Makassar dan  Jawa. Bukan Kupang-Lewoleba atau Sumbawa. Konektivitas darat sementara ini sedang dibangun konsep segitiga emas Lembata, yakni Lewoleba-Lamalera-Bean.
 

Jalur strategis nasional Baja menuju Balauring sementara dikerjakan. Untuk menyelesaikan jalan nasional Lewoleba- Kedang butuh dana Rp 50 miliar.

Dalam bidang pertanian dan peternakan, jelas Eliaser, pemerintah dan DPRD sudah bekerja sama dengan Universitas Gajah Madah (UGM) Yogyakarta. "Kita sudah ke Yogya jajak kerja sama pertanian dan peternakan intergrity. Kita sudah dapat lahan hibah 50 hektar di Balarebong," kata Eliaser.

Bupati mengatakan, pencapaian berkat lobi kepada pemerintah pusat, yakni peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar  50 persen. Keseringan ke luar daerah, tegas Eliaser, bukan tanpa tujuan. Tujuannya, tandas Eliaser, membuka komunikasi dengan beberapa kementerian agar mengintervensi secara cepat pembangunan di Lembata.
 

"Jalan ini ada manfaatnya. Ada peningkatan DAU kita. Proyek bandar udara, Desalinasi Tokojaeng dan lainnya," katanya. Ia menjelaskan, pada tahun-tahun awal pemerintahan (2012), Lembata Baru  mengarahkan diri penataan birokrasi, konsolidasi politik dan sosial.

Pada tahun 2012, sembari membangun komunikasi dengan pusat merupakan tahun konsep, berdasarkan pemetaan masalah di tahun 2011. Tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun kerja. Selanjutnya tahun 2015 adalah tahun evaluasi. Karena itu, tegas Eliaser,  jangan mempolitisir semua yang dilakukan oleh pemerintah daerah. (kk)

Editor : alfred_dama
Sumber : Pos Kupang

Perjalanan Dinas Bupati Lembata Habiskan Dana 1 M


Pos Kupang - Kamis, 16 Agustus 2012 | 10:12 WITA


POS KUPANG.COM, LEWOLEBA -- Anggota DPRD Lembata dari Fraksi Nurani Pencari Keadilan (NPK), Bediona Philipus, mencermati perjalanan dinas Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur, sejak dilantik September 2011 hingga Agustus 2012.

Bediona mengatakan, perjalanan dinas bupati sudah 34 kali. Jika diperkirakan lima hari setiap kali perjalanan dinas, maka jumlah hari perjalanan dinas Bupati Lembata sebanyak 170 hari. Bediona merincikan, perjalanan dinas bupati tahun 2011 delapan kali dan Januari hingga Agustus 2012 sebanyak 26 kali. Total 34 kali bupati melakukan perjalanan dinas.

Ditemui di kediamannya di Lewoleba, Rabu (15/8/2012), Bediona merincikan, pada September 2011 bupati melakukan perjalanan dinas luar daerah (LD) dua kali.  Perjalanan dinas tersebut menghabiskan dana Rp 33.285.400 dan dalam daerah (DD) sebesar Rp 700.000. Pada  Oktober 2011 dua kali perjalanan LD menghabiskan dana Rp 45.564.100, dan perjalanan DD Rp 1.400.000.

Tertinggi bulan November 2011, dua kali perjalanan LD menghabiskan dana Rp 96.132.500 dan perjalanan DD tak terhitung. Pada Desember 2011 dana perjalanan LD  Rp 8.318.000 dan perjalanan DD Rp 5.600.000. Sedangkan Januari hingga awal Agustus 2012, hitungan kasarnya  26 kali perjalanan dinas. Bediona tidak menghitung total biayanya.

Bediona mengakui pada November 2011, bupati paling banyak menghabiskan dana perjalanan dinas sebesar Rp 96 juta. Menurut Bediona, bupati diperkirakan cukup lama berada di luar daerah pada November 2011.

Bediona mengatakan,  perjalanan dinas bupati dan wakil bupati hanya proporsional pada bulan pertama setelah pelantikan. Pada September 2011, wakil bupati dua kali perjalanan LD menghabiskan anggaran Rp 29 juta dan pada November 2011 sebesar Rp 26 juta. Selanjutnya menyusut bahkan tidak pernah sama sekali pada  Desember 2011.

Perjalanan LD bupati, kata Bediona, merupakan konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah. Itu hal wajar. Karena pemerintah daerah harus memelihara hubungan dengan pusat dan propinsi.
 

Tetapi, kata Bediona, frekuensi (banyak) dan intensitas perjalanan LD bupati yang begitu tinggi melahirkan risiko. Di antaranya risiko anggaran, risiko meninggalkan tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Konsekuensi berikutnya, jelas Bediona, karena bupati dan wakil bupati sama-sama pulang dari "perantauan" belum mengenal secara personal aparatur pemerintahan dan seluk beluk birokrasi serta pemetaan persoalan pembangunan di Lembata.

Banyaknya waktu yang dipakai bupati di luar daerah, kata Bediona, menghilangkan kesempatan bupati mengenal dan mengurus aparatur birokrasi dan masyarakat di Lembata. Menurut dia, fenomena yang terlihat selanjutnya adalah reformasi birokrasi terlambat. Baru terjadi bulan Juli 2012. Reformasi birokrasi cenderung tidak matang.

Selaian itu, lanjut Bediona, menempatkan aparatur tak berkualitas pada satuan kerja perangkat daerah SKPD strategis. Sebaliknya yang berkualitas digeser pada SKPD tidak strategis. Demikian juga orang muda dipromosikan menduduki jabatan tertentu, padahal ada senior yang lebih memahami dan berkualitas. Implikasi lain, demikian Bediona, agenda perencanaan pembangunan daerah tidak terencana. Misalnya, terkait RPJMD, RKPD dan RAPBD. Agenda percepatan pembangunan jalan dan jembatan tidak tampak.

Recovery ekonomi, kata Bediona, masyarakat petani  yang jumlahnya 87 persen, 67 persen di antara mereka tamatan SD dan tidak bersekolah, serta 29 persen di antaranya tergolong miskin.  Bediona mengatakan, tingginya perjalanan dinas tidak berpengaruh terhadap penambahan anggaran di luar DAU dan DAK APBD 2012. (kk)

Editor : alfred_dama
Sumber : Pos Kupang

Setoran ‘Uang Keamanan’ Freeport ke Indonesia


Freeport-McMoRan Copper & Gold, yang merupakan induk dari PT Freeport Indonesia menganggarkan ‘uang keamanan’ untuk operasionalnya di sejumlah negara. Di Indonesia, ‘uang keamanan’ Freeport mencapai US$ 14 juta atau sekitar Rp 126 miliar, terbesar setelah setoran keamanan ke AS.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold, disebutkan anggaran keamanan untuk di Indonesia mencapai US$ 14 juta. Angka itu lebih rendah dibandingkan ‘uang keamanan’ di AS yang mencapai US$ 81 juta. Namun Freeport tidak mengeluarkan anggaran keamanan untuk operasionalnya di Chili, Peru dan Republik Demokratik Kongo. Ditambah uang keamanan dalam jumlah kecil di sejumlah negara, total dana yang digelontorkan Freeport untuk keamanan mencapai US$ 97 miliar. Dalam laporan keuangan tersebut, Freeport membuka dana-dana yang dibayarkannya ke pemerintah di negara-negara tempat mereka beroperasi. Termasuk di Indonesia, yang masuk dalam kandidat negara Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) pada 2010.
Dijelaskan, PT Freeport Indonesia (PTFI) bekerjasama dengan pemerintah memelihara pesanan publik, mendukung upaya penegakan hukum dan melindungi personel serta properti perusahaan. Untuk itu, PTFI memberikan dukungan biaya penyediaan keamanan dari pemerintah hingga US$ 14 juta pada tahun 2010. Dana dukungan keamanan ini digunakan untuk bermacam infrastruktur dan biaya lain termasuk makanan, perumahan, bahan bakar, perjalanan, perbaikan kendaraan, biaya kecelakaan dan administrasi serta program bantuan komunitas.
Secara total, pembayaran Freeport ke pemerintah Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$ 1,974 miliar. Rincian dari setoran Freeport ke Indonesia adalah:
·             Pajak Pendapatan Korporasi, Refunds Netto : US$ 1,293 miliar
·             Pajak Withholding untuk dividen asing : US$ 173 juta
·             Pajak gaji karyawan : US$ 43 juta
·             Dividen : US$ 169 juta
·             Royalti dan pajak lainnya : US$ 185 juta
·             Biaya Keamanan (Property Taxes) : US$ 14 juta
·             Pajak dan Fee lain-lain : US$ 97 juta.
Setoran Freeport ke pemerintah Indonesia merupakan yang terbesar. Kepada pemerintah AS, Freeport ‘hanya’ setor US$ 749 juta. Total setoran Freeport ke pemerintah di negara-negara tempat dia beroperasi mencapai US$ 3,744 miliar.
Seperti diketahui, masalah biaya keamanan Freeport ke personel militer di Indonesia baru-baru ini menuai kritikan. Kontras menyatakan sebanyak 635 orang aparat TNI-Polri ditugaskan untuk pengamanan obyek vital PT Freeport Indonesia. Berdasarkan surat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) Papua Nomor B/918/IV/2011 tertanggal 19 April 2011 yang diperoleh KontraS, mereka terdiri dari 50 anggota Polda Papua, 69 anggota Polres Mimika, 35 anggota Brimob Den A Jayapura, 141 anggota Brimob Den B Timika, 180 anggota Brimob Mabes Polri dan 160 anggota TNI. Personel ini diganti setiap bulan sekali. Satgas pengamanan ini diberikan imbalan Rp 1,25 juta per orang yang diberikan langsung oleh manajemen PT Freeport Indonesia kepada aparat.
Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo membenarkan adanya dana dari Freeport untuk personel Polri di Papua. Menurut Kapolri, dana itu seperti uang saku. “Kalau misalnya ada bantuan dari salah satu yang kita lakukan kegiatan pengamanan tentunya itu adalah bagian dari seperti uang saku,” ujar Kapolri.
Sumbernya dari sini.