Halaman

Rabu, 27 Februari 2013

Menelisik Pembunuhan Merry Grace

Kasus pembunuhan terhadap Merry Grace alias Yosephine Keredok Payong tahun 2002 lalu, terungkap pada Januari 2013. Selama 10 tahun, pelaku Herman Jumat Masan alias Herder, memainkan isu kepada orangtua korban bahwa Merry Grace masih hidup dan bekerja di Kalimantan.

Herder, sarjana filsafat teologi itu berkenalan dengan Merry Grace sekitar tahun 1997. Keduanya kemudian bekerja di Desa Lela, Sikka, NTT. Mereka mengabdi di bidang kemanusiaan.

Simon Soge Ola (54) salah satu warga Adonara di Kupang, Selasa (5/2/2013), mengatakan, dari hubungan itu Merry Grace hamil. Merry kemudian dikeluarkan dari tempat dimana ia bekerja.

Atas bantuan Herder, Merry kemudian masih diperkenankan bekerja sebagai relawan di tempat itu, dan tinggal di asrama yang berdekatan dengan tempat Herder bekerja. Bayi laki laki itu lahir malam hari, saat suasana liburan sekolah, di kamar Herder. Tidak seorang pun tahu proses kelahiran itu.

Selama hamil, Merry dilarang ke mana mana, dan perutnya diikat kencang. Herder pun berusaha menutupi perbuatannya kemudian mencekik bayi itu lalu menguburkannya. Tempat penguburan bayi itu ditanami bunga mawar.

Hubungan Herder dan Merry Grace masih berlangsung. Tahun 2002 Merry Grace kembali hamil anak kedua. Herder minta digugurkan lagi. Proses pengguguran diusulkan di kamar Herder. Namun usulan itu ditolak Merry. Padahal, Herder telah membeli perlak (terpal) pengalas kasur untuk proses pengguguran dan pendarahan tertampung di dalam plastik.

Penolakan itu menimbulkan pertengkaran antara Merry dan Herder. Merry menilai tindakan itu tidak dibenarkan. Herder harus bertanggung jawab karena sudah dua kali menghamili Merry. Herder pun emosi kemudian mencekik leher Merry yang tengah hamil sekitar tujuh bulan. Pembunuhan ini terjadi pada hari libur, di mana para mahasiswa yang dibina Herder tengah libur.

Usai membunuh Merry, Herder menguburkan jenazah Merry bersama bayinya di lubang pembuangan sampah. Jenazah Merry dan bayinya dibungkus di dalam perlak (plastik) kemudian dikuburkan.

Usai penguburan, Herder kemudian menulis surat ke orangtua Merry di Adonara. Isinya antara lain, “Mama,,, tidak usah mencari saya karena saya pindah tugas di Jakarta. Nanti saya akan beritahu, tempat tinggal dan alamat baru saya.” Tertanda Merry Grace.

Namun, sejak itu orangtua tidak pernah dapat kabar sama sekali. Mereka terus melakukan pencarian. Setiap dilakukan pencarian, tiba tiba ada kabar, Merry sudah pindah di Kalimantan, dan terakhir tahun 2010 tersiar kabar Merry berada di Bandung, dan akan merayakan Natal di Adonara bersama orangtuanya.

Ternyata isu bohong itu sengaja dimainkan Herder untuk mengelabui kecurigaan orangtua. Tahun 2006, Herder kemudian pindah tugas dari Lela di Kabupaten Sikka ke Hokeng, Kabupaten Flores Timur, menangani perusahaan milik Keuskupan Larantuka.

Akan tetapi, Herder dinilai tidak jujur mengelola keuangan perusahaan. Ratusan juta rupiah uang milik Keuskupan Larantuka hilang. Herder lalu dipindahkan ke Kalikasa, Lembata. Ia menolak, dan kemudian mengundurkan diri sebagai anggota Keuskupan Larantuka.

Setelah meninggalnya Merry, Herder membina hubungan khusus dengan seorang gadis di Maumere, Sofi namanya. Ia berjanji menikahi gadis itu setelah keduanya membangun rumah di kampung Herder di Lamahelan, Adonara. Rumah pun dibangun tahun 2010. Sofi berperan besar dalam proses pembangunan itu.

Akan tetapi, orangtua Herder tak setuju dengan rencana perkawinan itu mengingat utang Herder sudah ratusan juta. Utang itu untuk kepentingan Herder selama kuliah sampai bekerja. Tahun itu juga Sofi pulang ke Maumere. Ia lalu menghubungi Herder, apakah hubungan mereka masih dilanjutkan atau tidak, ternyata Herder mengatakan tidak lagi.

Sofi marah dan kemudian melaporkan tindakan bejat Herder membunuh Merry dan kedua anaknya itu ke sejumlah pejabat keagamaan di Maumere. Namun laporan itu tidak ditanggapi. Tahun 2011, saudara Merry bernama Pit Payong pulang tugas kemanusiaan dari Filipina dan bekerja di salah satu lembaga swasta di Maumere.

Sofi pun melaporkan kasus ini kepada Pit, tetapi Pit juga tidak segera menindaklanjuti­nya. Ia minta orangtua adat di kampung Tanah Boleng dulu untuk membuat upacara adat, guna memastikan apakah Merry sudah meninggal dunia atau belum.

Akhir tahun 2012 hasil upacara adat yang disebut bau lolon itu menunjukkan, Merry sudah meninggal. Orangtua Merry kemudian melapor ke polisi di Maumere. Penggalian pun dilakukan atas petunjuk Sofi pada 27 Januari 2013. Sofi tahu mengenai pembunuhan dan tempat penguburannya karena Herder berulang kali membawanya berdoa di tempat tersebut. Sesuai kesaksian Sofi, saat berdoa di taman bunga itu, Herder menyampaikan permohonan maaf berulang kali kepada Merry dan bayinya.

Andai saja, Herder menikahi Sofi, kasus pembunuhan ini mungkin tidak akan terungkap. Sofi melaporkan kasus ini ke semua pihak, termasuk keluarga Merry karena merasa dikhianati Herder.

Penggalian makam pun dilakukan pada hari Minggu 27 Januari 2013. Di tempat itu ditemukan perlak (plastik), rambut, tulang belulang, gigi, dan cincin milik Merry. Kawat yang dipasang pada gigi Mery oleh seorang perawat gigi di Lela masih tampak utuh, cincin emas milik korban dengan tulisan “MG” masih ada.

Sekarang, orangtua korban sudah berada di Maumere. Sedangkan tes DNA sedang dilakukan di Denpasar, namun sejumlah alat bukti sudah mengarah pada Herder.

“Kami sudah tetapkan Herman Jumat Masan alias Herder sebagai tersangka. Alat bukti sudah kuat. Dia sudah mengakui perbuatannya,” kata Kasat Reskrim Polres Sika AKP Achmad.

Gila!



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gila diartikan sebagai sakit ingatan, sakit jiwa, sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal; tidak biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan; terlalu, kurang ajar, ungkapan kagum; atau dapat juga berarti terlanda perasaan sangat suka. Jadi memang pemakaian kata gila tidak melulu identik dengan seseorang yang sakit ingatan.

Kabupaten Lembata dalam sebulan belakangan ini, halaman media massa di penuhi dengan berita tentang ketidakharmonisan hubungan dua lembaga penyelenggara pemerintahan di daerah yakni DPRD dan Pemerintah, tidak hanya para penyelenggara negara (baca: pemerintahan) rakyatpun ikut terkuras pikiran dan energinya. 

Karena berpikir untuk memajukan suatu daerah tidak hanya pemimpin, tapi juga rakyat. Perseteruan dua lembaga penting dan terhormat di Kabupaten Lembata itu membuat rakyat kita bertanya bagaimana mungkin itu bisa terjadi? padahal mereka selalu bersama dalam mengambil sebuah langkah dan menentukan kebijakan untuk membangun daerah ini. Untuk dan atas nama siapakah itu? “Gila”

Ditujukan kepada siapa ungkapan tersebut, saya tidak tahu. Tetapi ketika membaca, atau mendengar informasi-informasi terkait perseteruan dua lembaga ini, saya percaya kita tentu bergumam “Gila” dan memang Gila, jika dua lembaga yang seharusnya berpikir cerdik untuk membangun rakyat, malah berkelahi. Kalau terus berkelahi, kapan mereka punya waktu untuk mengurus rakyat?

Sedikit kita flas back ke tahun 2012, dimana kita juga dikabarkan tentang penggunaan dana perjalanan dinas yang juga membuat rakyat harus mengurut dada dan sudah pasti kata “Gila” itu tentu terlontar tanpa disadari.
Bagaimana tidak, di tengah mirisnya kondisi ekonomi rakyat, dan rusaknya sarana infrastruktur jalan mereka (baca: pemimpin) Para wakil rakyat dan elite birokrasi malah berpikir untuk jalan-jalan menghabiskan dana. Tak tahu untuk apa dan apa pula yang di bawah untuk Lembata.

Kita juga tentu masih ingat akan wacana pembelian 25 unit mobil yang di peruntukan bagi sarana operasional 25 orang anggota DPRD. 

Saat itu saya sempat berpikir, ini ide gila. Bagaimana mungkin rakyat yang adalah tuan di negeri ini selalu mengeluh tentang sulitnya sarana transportasi, biaya sekolah yang mahal, harga komoditi yang murah, malah wakilnya membeli mobil, hanya untuk alasan kenyamanan dalam tugas. Gila bukan? tugas pemimpin untuk membuat rakyat menjadi nyaman, bukan malah sebaliknya.  

Dari hari ke hari, kita disuguhi berita-berita yang tidak hanya dapat membuat kita mengurut dada, tapi juga sering mendorong kita untuk berkomentar, “Gila!” Cerita getir memilukan (bahkan kadang memalukan) ini datang silih berganti. Masyarakat pun cenderung bersikap permissiveness. Hari ini menjadi headline, esok hari sudah tidak dibicarakan atau bahkan dilupakan.

Saya berpikir  tak usah lagi mengurusi hal-hal remeh-temeh, apalagi harus berkelahi. Banyak persoalan besar yang perlu diselesaikan di negeri ini, rakyat ile ape yang kesulitan air, orang atadei yang berteriak minta jalan di perbaiki, nelayan lewoleba yang menangis akibat lautnya rusak, reformasi birokrasi yang masih asal-asalan, duagaan mafia proyek, dugaan mark up harga, mutu pekerjaan yang buruk, dan segepok masalah lain yang masih menanti untuk diselesaikan. 

Berbagai masalah di negeri kita ini, membutuhkan tindakan cepat nan tegas dan menyata dari seorang pemimpin seperti yang dijanjikan saat kampanye. Dalam konteks ini memang kita membutuhkan pemimpin yang bertindak cepat untuk mengatasi segala persoalanya yang di hadapi, yang kemudian dapat membuat kekaguman hingga harus bergumam “wah gila benar” atau mungkin gumaman lain yang juga tak kalah gilanya. “Luar bisa, kapan dia punya waktu untuk keluarganya kalau saat liburpun dia masih sibuk urus Lembata”

Francis Fukuyama dalam bukunya, Trust, mengingatkan kita, langkah apa pun tak akan cukup untuk menyelesaikan masalah suatu bangsa tanpa adanya trust, jaminan rasa aman. Sesungguhnya yang diperlukan saat ini adalah kerelaan para pemimpin dan elite untuk saling mendengar, mengakhiri perdebatan, dan mencari jalan keluar terbaik buat menyelamatkan bangsa dari kehancuran. 

Para pemimpin harus duduk bersama dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Dan yang tak kalah penting, pemimpin haruslah memberi contoh teladan yang baik bagi rakyatnya. Panutan harus dimulai dari atas. Tanpa itu semua, jangan harap kabupaten ini keluar dari situasi gila seperti saat ini.
sekedar catatan pinggir
Yogi Making

Senin, 25 Februari 2013

Gereja didesak proaktif dalam penuntasan kasus meninggalnya mantan suster



Pastor Pater Payong, SVD
Gabungan dari sejumlah organisasi kemanusiaan mengeluarkan petisi bersama di Jakarta, Minggu (24/2), mendesak agar Gereja Katolik berperan aktif dalam penuntasan kasus meninggalnya Merry Grace, mantan suster dan dua anak kecil yang kerangkanya ditemukan di kompleks Tahun Orientasi Rohani (TOR) Lela, Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir Januari lalu.

Petisi yang dikeluarkan oleh Vivat Internasional, Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah organisasi lain ini diputuskan setelah diadakan Misa dan diskusi bersama dengan menghadirkan narasumber utama Pastor Peter Payong SVD, wakil keluarga korban yang adalah paman Merry Grace.

Sebagaimana diketahui, menurut pengakuan pelaku Herman Jumat Masan (HJM), mantan pastor yang sudah ditahan polisi di Maumere, Merry Grace dan anaknya meninggal di kamar HJM saat melahirkan pada 2002. Anak tersebut merupakan hasil hubungan gelap mereka. Bersama bayinya itu, Merry Grace dikubur di dekat kamar HJM – yang kala itu bertugas sebagai pendamping calon imam projo di TOR Lela – pada malam hari ketika penghuni seminari sedang tidak ada di tempat.

Sebelumnya, pada 1999, Merry Grace melahirkan anak pertama, juga hasil hubungan gelapnya dengan HJM, tapi kemudian meninggal karena mulutnya ditutup oleh HJM. Saat kedua kejadian ini berlangsung, HJM masih berstatus sebagai imam projo Keuskupan Larantuka dan Merry Grace sudah berstatus sebagai mantan suster SSpS. Ia meninggalkan biara pada 1997.
Petisi yang dikirimkan kepada 4 Uskup di Flores, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), juga sejumlah lembaga pemerintahan seperti Komnas HAM, Polri, termasuk media menyatakan, “Kasus yang terjadi sungguh bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Kami berpendapat ini merupakan tindakan kriminal yang terencana”.
Semua pihak yang mengetahui informasi tentang kasus ini didesak untuk tidak bisu, tetapi berkolaborasi dengan polisi dalam membantu proses penyelesaian yang hingga saat ini masih dalam tahap penyelidikan dan dalam waktu dekat akan dilakukan rekonstruksi kejadian.

“Kami mendesak institusi Gereja Katolik di Flores mendorong semua pihak agar membantu penyelesaian masalah ini. Kami juga mendesak institusi Gereja Katolik, agar segera meminta maaf pada korban, umat seluruhnya dan khususnya keluarga korban”, bunyi petisi ini.

Pastor Peter Payong mengatakan, dirinya memang kecewa karena hingga saat ini pihak Keuskupan Larantuka, institusi yang menaungi pelaku ketika kejadian pembunuhan berlangsung, belum menyatakan sikap resminya. Hal ini berbeda dengan Keuskupan Maumere yang sudah eksplisit menyatakan dukungan.
“Saya tidak tahu, apakah akan ada sikap resmi dari pihak Keuskupan Larantuka. Tapi, yang jelas saya berharap, dalam waktu dekat gereja segera bersuara, misalnya dengan menyatakan dukungan penuh atas penuntasan kasus ini”, katanya.

Pastor Peter yakin sudah jelas bukti yang mengarah pada pelaku HJM. “Tapi, kami juga menghargai kerja keras polisi terkait penyelidikan kasus ini”, tambahnya.

Sementara itu, Agustinus Payong Dosi, kuasa hukum keluarga korban mengatakan, pihaknya berharap pelaku dihukum maksimal sesuai dengan pasal yang dilanggarnya.

“Kami memang belum merasa puas sebelum mengetahui hukuman yang akan diberikan kepada pelaku”, ungkapnya.

Ia menjelaskan, apa yang telah dilakukan oleh pelaku tidak hanya mencederai kemanusiaan, tetapi juga merusak Gereja.

“Kasus ini menjadi pelajaran bagi kaum berjubah untuk menghargai komitmen mereka pada pilihan hidup yang sudah diambil. Saya berharap, kaum berjubah, siapapun dia, yang telah melanggar kaulnya tidak hanya mengaku dosa, tapi juga segera meninggalkan jubah,” terangnya.

Agustinus menambahkan, Gereja tidak boleh menutup-nutupi kasus ini dengan alasan menjaga nama baik.
“Ini mesti dibuka. Saat persidangan nanti, kami meminta agar media dengan bebas meliput, biar semuanya jelas. Biar ini menjadi kesempatan bagi Gereja untuk berefleksi diri”, tegasnya.

Menanggapi kasus ini, Pastor  Bernardus Soebroto Mardiatmaadja SJ, Dosen Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta berharap, perlu kecermatan untuk melihat apa latar belakang kasus ini.
“Memang banyak pastor yang brengsek. Tapi, menangani masalah seperti ini membutuhkan data yang benar-benar akurat”, katanya.

Ia berharap agar tidak melakukan generalisasi bahwa banyak orang tidak peduli, termasuk pihak Gereja.
Ia pun meminta agar ada intropeksi diri semua pihak. “Harus dicari sebabnya, mengapa pelaku yang sudah studi teologi bisa dengan enteng membunuh.  Apa ini punya kaitan dengan dimensi psikologis, pola pendidikan di seminari tinggi, seminari menengah atau mungkin keluarga pelaku. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu digali”, katanya.

Ia juga menegaskan, sebagai orang Katolik, pelaku juga punya hak spiritual untuk mengaku dosa.
“Soal hukum tentu jalan terus, tapi pelakunya juga mesti diberi kesempatan untuk mengakui dan memohon ampun atas kesalahannya. Kita mesti adil, termasuk menjamin terpenuhinya hak spiritual pelaku”, tegasnya.
Sumber : http://indonesia.ucanews.com

Minggu, 24 Februari 2013

Rapat Badan Musyarwarah:Ketua DPRD Lembata Berang



Ketua DPRD, Yohanes Derosari, Marah.Foto : Yogi. M
LEWOLEBA, LEWOLEMBATA-Gara-gara Bupati Lembata belum menandatangani Peraturan Bupati tentang Perjalanan Dinas, Ketua DPRD Lembata Yohanes Derosari marah besar. Tak sungkan Derosari menuduh Bupati menghambat penyelenggaraan pemerintahan.

Kejadian ini berlangsung dalam Rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kabupaten Lembata yang dihadiri oleh Sekertaris Daerah (Sekda) Petrus Toda Atawolo, dan beberapa staf Sekretariat Daerah Kabupaten Lembata, Selasa 29/1/2013 di ruang sidang DPRD Kabupaten Lembata.
“Pa Sekda, saya mau tanya kenapa itu Bupati belum tandatangan Perbub tentang Perjalanan Dinas? ini beda sekali dengan pemerintahan Ande Manuk, kalau pak Ande dulu hal-hal yang berkaitan dengan DPRD dia langsung selesaikan. Ada apa dengan Bupati ini, apakah dia tidak mau tanda tangan Perbub itu, karena kita turunkan anggaran perjalanan dinasnya dari Rp. 4 juta ke Rp. 2,5 juta?” hardik Derosari.
Hoat, demikian panggilan akrab Yohanes Derosari dihadapan sejumlah anggota Banmus DPRD dan Sekda mengatakan, tertundanya penandatangan Perbub dan beberapa Peraturan Daerah, adalah bentuk penghambatan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dia menduga, tindakan Bupati Eliaser Yentji Sunur dilandasi dendam peribadi.
Dengan nada penuh emosi, Ketua DPRD  yang juga pimpinan Partai Golkar Lembata ini  mengatakan,  Pengelolaan pemerintahan, tidak boleh disamakan dengan pengelolaan sebuah perusahan. Apalagi sampai membawa masuk persoalan pribadi kedalam urusan penyelenggaraan pemerintahan. Dia mengancam akan terus melakukan perlawanan.
“Jangan bawa-bawa masuk urusan pribadi kedalam penyelenggaraan pemerintahan. Kalau ada persoalan pribadi silahkan kita baku jaga, tapi jangan menghambat penyelenggaraan pemerintahan. Ini pemerintahan, tidak sama dengan kelola perusahaan. Kalau model begini mau jadi apa ini Lembata? hancur daerah ini, saya akan lawan habis” ancam Hoat dengan nada keras sambil mengetuk-ngetuk meja.
Beberapa kali terlihat Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Lembata Yosep Meran Lagaor mencoba menengahi, namun selalu di tolak Hoat yang saat itu bertindak sebagai pimpinan rapat. Suasana sidang semakin memanas, PNS lingkup Sekretariat DPRD Lembata pun terlihat memadati area sekitar ruang sidang, menyaksikan keributan ini.
Masih dengan nada kesal, Hoat meminta Sekda Petrus Toda Atawolo untuk menjelaskan alasan tertundanya penandatanganan Perbub dan beberapa perda tersebut. “sabar dulu pak wakil, saya minta Sekda coba jelaskan dulu kenapa bisa jadi begini” kata Hoat, saat Wakil Ketua meminta untuk bicara.
Sementara itu, Sekda Lembata Petrus Toda Atawolo saat di beri kesempatan untuk menjelaskan terkait tertundanya penandatanganan beberapa peraturan itu mengatakan, naskah peraturan sudah berada di meja Bupati sejak beberpa pekan silam, dirinya sudah meminta untuk di tandatangani. Namun hingga Bupati melakukan perjalanan dinas ke Jakarta, peraturan itu belum di tandatangani.
“Ini terkait kewenangan pak, peraturan itu sudah ada di meja Bupati, saya beberapa kali sudah minta pak Bupati untuk tandatangan, tapi sampai dengan beliau jalan ke Jakarta, peraturan itu belum beliau tandatangan” jelas Sekda.
Lebih lanjut Sekda menjelaskan, walau Perbub tentang perjalanan dinas itu belum ditandatangani, namun tidak berarti bawah tindakan ini merupakan bentuk menghambat penyelenggaraan pemerintahan, perjalanan dinas pejabat bisa dilakukan, sementara terkait biaya akan diselesaikan saat Perbub itu resmi di tandatangani.
Akumulasi Persoalan
Sekda: Petrus Toda Atawolo dan Tim Eksekutif. Foto : Yogi. M
Situasi emosional di ruang sidang kemudian berhasil diredahkan ketika Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Lembata, Yoseph Meran Lagaor menengahi pembicaraan. Dia meminta agar pemerintah maupun DPRD untuk menyikapi segala persoalan secara arif. Karena bagi Lagaor, masalah Lembata hanya dapat diselesaikan oleh DPRD dan Pemerintah.
“Saya menyadari kalau situasi ini didasari oleh akumulasi persoalan yang tercipta selama ini, disini kewibawaan dua lembaga ini diukur, jadi saya ajak semua kita untuk berpikir arif.  Marilah kita menanggapi semua masalah baik dalam sistim maupun diluar sistim yang berkaitan dengan Lembata ini, dengan kepala dingin. Hanya dua lembaga ini yang bisa menyelesaikan persoalan Lembata, dan jangan sampai kita korbankan rakyat” harap Lagaor. (Yogi Making)