Halaman

Senin, 25 Februari 2013

Gereja didesak proaktif dalam penuntasan kasus meninggalnya mantan suster



Pastor Pater Payong, SVD
Gabungan dari sejumlah organisasi kemanusiaan mengeluarkan petisi bersama di Jakarta, Minggu (24/2), mendesak agar Gereja Katolik berperan aktif dalam penuntasan kasus meninggalnya Merry Grace, mantan suster dan dua anak kecil yang kerangkanya ditemukan di kompleks Tahun Orientasi Rohani (TOR) Lela, Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir Januari lalu.

Petisi yang dikeluarkan oleh Vivat Internasional, Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah organisasi lain ini diputuskan setelah diadakan Misa dan diskusi bersama dengan menghadirkan narasumber utama Pastor Peter Payong SVD, wakil keluarga korban yang adalah paman Merry Grace.

Sebagaimana diketahui, menurut pengakuan pelaku Herman Jumat Masan (HJM), mantan pastor yang sudah ditahan polisi di Maumere, Merry Grace dan anaknya meninggal di kamar HJM saat melahirkan pada 2002. Anak tersebut merupakan hasil hubungan gelap mereka. Bersama bayinya itu, Merry Grace dikubur di dekat kamar HJM – yang kala itu bertugas sebagai pendamping calon imam projo di TOR Lela – pada malam hari ketika penghuni seminari sedang tidak ada di tempat.

Sebelumnya, pada 1999, Merry Grace melahirkan anak pertama, juga hasil hubungan gelapnya dengan HJM, tapi kemudian meninggal karena mulutnya ditutup oleh HJM. Saat kedua kejadian ini berlangsung, HJM masih berstatus sebagai imam projo Keuskupan Larantuka dan Merry Grace sudah berstatus sebagai mantan suster SSpS. Ia meninggalkan biara pada 1997.
Petisi yang dikirimkan kepada 4 Uskup di Flores, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), juga sejumlah lembaga pemerintahan seperti Komnas HAM, Polri, termasuk media menyatakan, “Kasus yang terjadi sungguh bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Kami berpendapat ini merupakan tindakan kriminal yang terencana”.
Semua pihak yang mengetahui informasi tentang kasus ini didesak untuk tidak bisu, tetapi berkolaborasi dengan polisi dalam membantu proses penyelesaian yang hingga saat ini masih dalam tahap penyelidikan dan dalam waktu dekat akan dilakukan rekonstruksi kejadian.

“Kami mendesak institusi Gereja Katolik di Flores mendorong semua pihak agar membantu penyelesaian masalah ini. Kami juga mendesak institusi Gereja Katolik, agar segera meminta maaf pada korban, umat seluruhnya dan khususnya keluarga korban”, bunyi petisi ini.

Pastor Peter Payong mengatakan, dirinya memang kecewa karena hingga saat ini pihak Keuskupan Larantuka, institusi yang menaungi pelaku ketika kejadian pembunuhan berlangsung, belum menyatakan sikap resminya. Hal ini berbeda dengan Keuskupan Maumere yang sudah eksplisit menyatakan dukungan.
“Saya tidak tahu, apakah akan ada sikap resmi dari pihak Keuskupan Larantuka. Tapi, yang jelas saya berharap, dalam waktu dekat gereja segera bersuara, misalnya dengan menyatakan dukungan penuh atas penuntasan kasus ini”, katanya.

Pastor Peter yakin sudah jelas bukti yang mengarah pada pelaku HJM. “Tapi, kami juga menghargai kerja keras polisi terkait penyelidikan kasus ini”, tambahnya.

Sementara itu, Agustinus Payong Dosi, kuasa hukum keluarga korban mengatakan, pihaknya berharap pelaku dihukum maksimal sesuai dengan pasal yang dilanggarnya.

“Kami memang belum merasa puas sebelum mengetahui hukuman yang akan diberikan kepada pelaku”, ungkapnya.

Ia menjelaskan, apa yang telah dilakukan oleh pelaku tidak hanya mencederai kemanusiaan, tetapi juga merusak Gereja.

“Kasus ini menjadi pelajaran bagi kaum berjubah untuk menghargai komitmen mereka pada pilihan hidup yang sudah diambil. Saya berharap, kaum berjubah, siapapun dia, yang telah melanggar kaulnya tidak hanya mengaku dosa, tapi juga segera meninggalkan jubah,” terangnya.

Agustinus menambahkan, Gereja tidak boleh menutup-nutupi kasus ini dengan alasan menjaga nama baik.
“Ini mesti dibuka. Saat persidangan nanti, kami meminta agar media dengan bebas meliput, biar semuanya jelas. Biar ini menjadi kesempatan bagi Gereja untuk berefleksi diri”, tegasnya.

Menanggapi kasus ini, Pastor  Bernardus Soebroto Mardiatmaadja SJ, Dosen Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta berharap, perlu kecermatan untuk melihat apa latar belakang kasus ini.
“Memang banyak pastor yang brengsek. Tapi, menangani masalah seperti ini membutuhkan data yang benar-benar akurat”, katanya.

Ia berharap agar tidak melakukan generalisasi bahwa banyak orang tidak peduli, termasuk pihak Gereja.
Ia pun meminta agar ada intropeksi diri semua pihak. “Harus dicari sebabnya, mengapa pelaku yang sudah studi teologi bisa dengan enteng membunuh.  Apa ini punya kaitan dengan dimensi psikologis, pola pendidikan di seminari tinggi, seminari menengah atau mungkin keluarga pelaku. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu digali”, katanya.

Ia juga menegaskan, sebagai orang Katolik, pelaku juga punya hak spiritual untuk mengaku dosa.
“Soal hukum tentu jalan terus, tapi pelakunya juga mesti diberi kesempatan untuk mengakui dan memohon ampun atas kesalahannya. Kita mesti adil, termasuk menjamin terpenuhinya hak spiritual pelaku”, tegasnya.
Sumber : http://indonesia.ucanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar