Halaman

Rabu, 15 Desember 2010

Enam Kades Di Nobo Buto Tolak Kumpul Dana Untuk Acara Perpisahan Dengan Bupati Lembata

Gbr. Yoseph Bura Bataona (foto Yogi)
 
“Kami kaget ada surat dari camat lebatukan bahwa kami kumpul uang sebesar 500 ribu perdesa, yang mana uang itu akan dipakai untuk beli gading buat cindramata untuk bupati lembata, jelas kami tidak mau. Kami ambil uang dari mana? Di APBDes tidak ada angaran untuk itu” kata kepala desa atakowa Yoseph Magun (46) saat ditemui dikegiatan pertemuan masyarakat Nobobuto di lodoblolong 18/11/2010 lalu.
Menurut rencana kegiatan perpisahan dengan bupati lembata ini akan dipadu dengan perpisahan Camat Lebatukan Andreas wahon yang telah dimutasikan sebagai camat di Kecamatan Ile Ape, kegiatan dimaksud akan dilaksanakan pada tanggal 19/11/2010.
Kebijakan Camat Lebatukan yang sekarang menjadi camat di Kecamatan Ile Ape ini menurut beberapa kepala desa di pedalaman lebatukan tidak rasional, dan walaupun telah menjadi kesepakatan para kepala desa di nobobuto pedalaman lebatukan ini menolak untuk mengumpulkan uang, hal ini di kerenakan tidak dianggarkan dalam APBDes. Bahkan menurut mereka kegiatan ini hanyalah sebuah acara seremonial yang tak bermanfaat bagi masyarakat. Masih terlalu banyak hal yang harus diurus di desa, dan semua itu membutuhkan uang.
Hal senada juga disampaikan kepala desa Balerebong Albert Raring, ia mengatakan pemberian cindramata kepada pejabat atau mantan pejabat akan memberikan pelajaran yang buruk kepada masyarakat. “kalo bupati mo turun kita kasi gading nanti RT juga minta di kasih hadiah kalo mo turun, jadi ini pelajaran yang buruk untuk masyarakat” tegas Albert. Apalagi menurutnya dalam anggaran pendapatan dan belanja desa tidak ada anggaran untuk acara ceremonial seperti itu, “jadi kami cabut uang dari mana? Dan apakah kalo kami ambil kami tidak dituduh korupsi? Ini ganjil.” Kata sang kades dengan nada sinis penuh tanya.
Pernyataan ini diamini juga oleh Yoseph Bura Bataona Kepala Desa Lamadale, Yoseph Bura Bataona atau yang biasa disapa yopi ini mengatakan, “kami enam kepala desa di Nobobuto sudah sepakat untuk tidak kumpul uang itu”. Tegas Yopi. (Yogi)

Senin, 13 Desember 2010

Abdon Nababan; dari Saksi jadi Ahli







Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN), Abdon Nababan, di sumpah menjadi ahli dalam persidangan Judicial review (JR) Undang-undang (UU) 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Mahkamah Konstitusi terkait HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Sebelumnya beliau hanya sebagai saksi dari termohon yaitu pemerintah, dalam hal ini KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Namun dari kesaksiannya, ketua majelis menilai bahwa Abdon Nababan lebih pantas menjadi seorang ahli dari pada saksi dalam kasus ini.

Ketua Majelis, Mahmud MD, mengangkat Abdon Nababan menjadi ahli dalam persidangan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari selasa 8 Juni 2010 yang lalu. Sebelum di sumpah, Sekjen AMAN ini bertindak sebagai saksi dari termohon.

Selain Abdon Nababan, hadir sebagai saksi dalam persidangan ini adalah Imran Amin dari yayasan Telapak (dari termohon) dan satu orang perwakilan masyarakat adat (nelayan) dari Lamarela, Nusa Tenggara Timur (saksi dari Pemohon).

Sebagai saksi, beliau menjelaskan keterlibatannya dalam proses penyusunan RUU ini hingga menjadi UU. Secara khusus terkait dengan pengaturan hak-hak masyarakat adat atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sejauh mana dampak pemberian HP3 terhadap masyarakat adat.

Menurut kesaksiannya, UU ini diinisiasi dari hasil diskusi pada tahun 1993 di Jakarta.

Pada saat itu yayasan Sejati mengadakan pameran tentang "ilmu bajau setinggi langit sedalam samudera". Siang hari pameran malam harinya diskusi.

Dalam diskusi ini dibahas bagaimana Indonesia dikelola dalam konteks kebudayaan. Hadir dalam diskusi tersebut diantaranya Abdon Nababan, Alm. KH Abdurrahman Wahid (Gusdur), dan MH Ainun Madjid.

Salah satu hasil diskusi, terkristalkan tentang perlunya instansi (departemen) yang kuat untuk mengurusi kelautan (maritim). Maka setelah Gusdur menjadi presiden Republik Indonesia (tahun 1999 mengantikan presiden ke 3, BJ Habibie), maka terbentuklah departemen untuk mengurusi laut yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Abdon Nababan telah mengikuti proses penyusunan UU 27/2007 dan menjadi tim perumus RUU ini mewakili AMAN (pada saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pelaksana). Sehubungan dengan itu, KKP menghubungi beliau untuk menjadi saksi dari Pemerintah di persidangan kelima yang diadakan tanggal 27 April 2010.

Di tengah-tengah kesaksian, ketua majelis, Mahmud MD, memotong penjelasannya. Beliau secara langsung meminta Abdon Nababan untuk menjadi ahli dalam persidangan ini.

"Kesaksian anda lebih cocok disampaikan oleh seorang ahli. Keahlian seperti ini sangat luar biasa. Anda mengetahui dan mengikuti proses penyusunan UU ini. Sehingga anda lebih baik menjadi ahli dalam persidangan ini" Kata Hakim Mahmud MD.



Lalu, Abdon Nababan disumpah menjadi Ahli sebelum melanjutkan penjelasannya.

Kesaksian seorang Ahli, Abdon Nababan

Setelah disumpah, Abdon Nababan, lebih fokus menjelaskan tentang pasal 61 Undang-undang 27 tahun 2007, yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat. Dalam pasal ini, Hak-hak masyarakat diakui sepenuhnya tanpa adanya persyaratan apapun.

Berbeda dengan UU yang mengatur sektor lain, meskipun ada yang mengakui hak-hak masyarakat adat, tetapi memberikan beberapa persyaratan yang sulit untuk dipenuhi masyarakat adat. Dengan kata lain, pengakuan bersyarat.

Terkait dengan HP3, posisi pasal 61 ini tidak lebih tinggi maupun rendah dari HP3.
Karena HP3 diberikan di luar wilayah adat.

Menurut Abdon Nababan, pasal ini menjadi kekuatan bagi masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendapatkan hak-haknya. "Justru HP3 adalah bonus bagi masyarakat adat yang mendapatkannya" jelasnya.

Selain itu, UU ini juga mengandung prinsip Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC). Sehingga masyarakat dapat menolak atau menerima setiap kegiatan / program apapun yang akan dilakukan di wilayah adat mereka.

Saksi kedua, Imran Amin

Imran Amin, aktifis Telapak dan Jaringpela (Jaringan Kerja untuk Pesisir dan Laut), menceritakan pengalamannya selama mendampingi masyarakat adat (nelayan) di Bali.

Menurutnya masyarakat adat (nelayan) akan sangat dirugikan jika sektor kelautan dan perikanan di kelola oleh sektor-sektor lain. Maka diperlukan kementrian dan UU yang secara khusus menangani sektor ini.

Selama ini wilayah pesisir dan laut dianggap "open Acces" sehingga tidak ada yang bisa dimintai pertanggung jawaban jika terjadi kerusakan. Dengan adanya UU 27/2007 ini, maka wilayah pesisir dan laut akan terlindungi dari kejadian tersebut.

Sebagai penutup, disampaikan bahwa UU 27/2007 telah digunakan untuk menghentikan eksplitasi wilayah pesisir oleh perusahaan di Bali.

Kesaksian dari pemohon.

Saksi yang berasal dari perwakilan masyarakat adat (nelayan) di Lamarela ini menceritakan tradisi dari daerahnya, yaitu tentang perburuan Paus. Sebelum melakukan perburuan, masyarakat melakukan ritual terlebih dahulu. Daging Paus yang ditangkap, diprioritaskan untuk manula, janda, dan anak yatim piatu.

Dengan demikian, tradisi ini harus di konservasi atau dilestarikan. "Ibunda telah menaruh, ayahanda sudah mewariskan. Teruskanlah tradisi ini sampai,,," pepatah masyarakat Lamarela yang disampaikan saksi. Namun menurutnya, HP3 akan membelenggu tradisi ini. Sehingga beliau menolaknya.

Kesimpulannya, dengan HP3;

- Identitas masyarakat adat Lamarela akan hilang
- Tradisi dan kebudayaan akan lenyap.

Gugatan Tim Advokasi Tolak HP3

Persidangan ini adalah ke 6 kalinya, sejak Tim Advokasi Tolak HP3 (KIARA, WALHI, YLBHI, KPA, IHCS, PK2PM, SPI, Yayasan Bina Desa Sadawija, API dan wakil-wakil nelayan) mengajukan permohonan pada bulan Januari 2010 yang lalu.

- Sidang pertama diadakan pada tanggal 3 Pebruari 2010
- Sidang kedua diadakan pada tanggal 4 Maret 2010
- sidang ketiga diadakan pada tanggal 8 April 2010
- Sidang keempat diadakan pada 8 April 2010
- Sidang kelima diadakan pada 27 April 2010.

Menurut gugatan pemohon, salah satu alasan HP3 ini harus ditolak karena akan menghilangkan hak-hak masyarakat adat.

Lebih lanjut, apakah HP3 ini akan bisa menggusur hak-hak masyarakat adat yang dijamin dalam Undang-undang ini?.

Minggu, 12 Desember 2010

Polres Lembata Tahan 2 Tersangka Korupsi


Dua tersangka kasus korupsi pada proyek Pekerjaan Pemasangan Jaringan Pipa Air Minum dai Mata Air Belo Bao (Desa Lewuka, Kecamatan Wulandoni) ke Desa Lamalera A dan B Tahun Anggaran 2008 pada Bidang Cipta Karya, Dinas Perjaan Umum Kabupaten Lembata, telah ditahan di ruang tahanan Mapolres Lembata pada Minggu, 12/12/2010 pukul 13.00. Dua tersangka dimaksud adalah, Kritoforus Kalang selaku pelaksana lapangan dan Paulus Papo Belang selaku direktur utama CV. Putra Karya (CV.PK).
Berdasarkan pengakuan Kristoforus Kalang sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pemerikasan tertangal 08 Desember 2010 dijelaskan bahwa pembayaran oleh Dinas PU sudah dilakukan sebesar 95 % dari nilai kontrak sebesar Rp.315. 700.000.- dengan rincian sebagai berikut : uang muka sebesar Rp.94.710.000,- pembayaran termin pertama sebesar Rp. 171.202.531,- dan pembayaran temin II atau pembayaran tahap akhir sebesar 34.002.469,- setalah dipotong pajak total pembayaran seluruhnya adalah sebesar Rp. 266.000.000,-
Pembayaran sesuai dengan dokumen kontrak dan SP2D diabayarkan kepada direktur CV. PK. Atas nama Paulus Papo Belang, namun dalam SP2D tertulis nomor rekeningnya sendiri “pembayaran dilakukan melelaui nomor rekening saya walaupun nama dalam SP2D adalah Paulus Papo Belang” kata Kristo Kalang seperti di kutip dalam BAP-nya.        
Sementara itu pekerjaan yang dilakukan belum mencapai 100 % namun dana sudah tercair seluruhnya berdasarkan kebijakan Kepala Sub Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lembata Silvester Wungbelen, kalangpun mengaku perbedaan nama dan nomor rekening yang tertuang dalam SP2D pun diketahui oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lembata.
Proyek inipun diduga dibekingi oleh anak orang nomor satu lembata, pasalnya dalam pengakuan kalang, dirinya menghubungi Erni Manuk untuk mencarikan bendera, satu minggu setelah dihubungi Erni Manuk datang memberikan kepadanya dokumen dan stempel CV. PK. Walau demikian belum diketahui secara pasti keterlibatan erni dalam kasus ini.

Polisi Kantongi 7 Tersangka

Sementara itu Kapolres Lembata AKBP Marthin Johannes saat bertatap muka dengan Aliansi Kebenaran dan Keadilan Anti Kekerasan (ALDIRAS) kamis 9/12/2010 mengatakan sesuai hasil audit pekerjaan pipanisasi baru mencapai tahap 25 % namun dananya telah tercair 100 % selain itu proyek itu ditelantarkan sementara masyarakat sangat membutuhkan air bersih”
Kepada Tiga perwakilan Aldiras Piter Bala Wukak, Elias K. Making, dan Alex Murin Kapolres mengaku untuk kasus Pipanisasi Beloba-Lamalera polisi telah mengantongi tuju nama tersangka namun untuk tahap awalnya polisi baru menetapkan dua orang sebagai tersangka, karena menurutnya “untuk memperoses seluruh tersangka butuh waktu dan kecermatan penyidik, karena itu polisi akan memeriksa tersangka satu per satu”.
Sementara itu, Kasus lain yang akan diproses menurut kapolres lembata adalah Kasus Das Waikomo, yang dalam tahap ini polisi telah meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan untuk melalukan audit untuk memastikan adanya kerugian negara atau tidak. Jika dalam Audit nanti ditemukan adanya kerugian negara maka pihaknya akan tetap memproses kasus ini seuai aturan yang berlaku.