Halaman

Selasa, 09 November 2010

VISI LEMBATA 2021 & ENTREPRENEURIAL LEADERSHIP

oleh : Ferdinand Lamak Rajan
Judul tulisan di atas mungkin terlalu abstrak dan teoritikal bagi sebagian orang. Namun, tulisan ini juga, hanya sebuah coretan kecil yang saya buat di tengah kegundahan saya, betapa terpuruknya tanah kelahiran saya, Lembata jika tahun depan nanti rakyatnya kembali salah memilih pemimpinnya.
Saya meyakini bahwa deretan kata-kata di atas sungguh sangat dan bisa dilakukan di Lembata, terutama jika kita hendak mencari model kepemimpinan yang pas bagi Lembata yang kita cintai. Entrepreneurial Leadership, kepemimpinan kewirausahawan adalah salah satu opsi yang lebih solutif ketimbang menggunakan paradigma usang, kepemimpinan yang berorientasi pada anggaran-budget-based leadership. Dan ini, tidak hanya tepat dilakukan di Lembata, melainkan juga di wilayah kabupaten lain.
Kabupaten Sragen dan Lamongan adalah contoh kesuksesan dari entrepreneurial leadership, dimana Sragen lewat Untung Sri Wiyono sukses mencapai efiensiensi dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan melalui penerapan E-Government, sementara Lamongan berhasil menggandeng Temasek untuk pengembangan industrial estate (kawasan industri) dan pembangunan bandar udara masa depan. Dalam takaran dan skala yang berbeda, Lembata punya sekian banyak potensi yang dapat dikelolakembangkan secara optimal jika, pemimpin yang dipilih oleh rakyat adalah dia yang memiliki sensitifitas tinggi untuk tidak hanya menjadi pengguna anggaran semata, tetapi juga pemikir dan pekerja keras, bagaimana meningkatkan value dari anggaran tersebut untuk melipatgandakan nilai tambah bagi rakyat Lembata.
Ada cukup banyak potensi yang jika hendak dielaborasi secara gradual, maka saya akan memulai dari yang paling mungkin dilakukan jika seorang pemimpin memiliki entrepreneurial leadership:

Pembenahan Disiplin dan Etos Kerja Aparatur
Tidak ada data yang valid, tetapi dalam estimasi saya, 75% jumlah uang yang beredar di Lembata bersumber dari berbagai dana yang datang dari pusat dan keluar dalam bentuk berbagai anggaran pembangunan di Lembata. Sekitar 25% sisanya adalah kontribusi dari sektor swasta, meskipun kita mesti sadari juga bahwa terlalu banyak 'grey area' di sekitar garis batas antara sektor pemerintahan dan sektor swasta di Lembata.
Dengan asumsi di atas, maka paradigma aparatur pemerintah dalam melayani pemerintah, harus segera dibenahi mengingat terlampau tingginya tingkat degradasi kinerja yang dapat terukur secara kasat mata oleh rakyat dan diartikulasikan secara lantang dan telanjang di berbagai wilayah di Lembata. Keluhan tentang birokrat dan wakil rakyat yang korup, mungkin valid untuk dapat digunakan sebagai parameter kwalitatif-nya.
Pengalaman saya di tahun 2006 saat pergi ke berbagai desa menyerap aspirasi masyarakat Lembata memberikan saya sebuah pemakluman bahwa, rakyat berada di dalam dilematika yang teramat menghimpit, ketika mereka berteriak ataupun lirih mengeluh tentang rendahnya kepuasan pembangunan yang mereka rasakan, di sisi yang lain mereka pun harus mengalami ironi karena kerabat handai taulan mereka justru duduk sebagai pejabat di jajaran birokrasi Lembata. Ketika rakyat di Lebatukan berteriak menolak tambang, celakanya yang duduk sebagai kepala think tank perencana pembangunan di Lembata (Bapeda) adalah anak kandung Lebatukan. Saya tidak bermaksud mengkotakkan rakyat dan aparatur dalam satu kotak untuk geo-oriented dalam kebijakan pembangunan. Yang mau saya soroti adalah dilematika dan ironi yang sedang terjadi dan dialami rakyat.
Itu sebabnya, birokrasi sebagai pelayan rakyat dan pengelola berbagai anggaran pembangunan di Lembata, harus segera dibenahi mental dan spiritual-nya. Birokrat harus dibuka horison berfikirnya, bahwa kerja mereka adalah pelayanan. Menjadi PNS harus dimaknai sebagai sebuah kontrak seumur hidup untuk bekerja bagi rakyat karena, waktu atau jam kerja mereka, sudah 'dibeli' oleh rakyat dengan memberikan mereka gaji plus berbagai tunjangan, promosi jabatan dan bahkan sampai mereka pensiun pun, kehidupan mereka sudah terjamin aman. Komparasi sepadannya adalah profesional di sektor swasta yang bekerja totally untuk perusahaan atau lembaga dan tidak boleh sedikitpun melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan merugikan secara materiil dan immateriil bagi perusahaan yang menggaji-nya. Di dalam diri PNS, harus mulai ditanamkan kesadaran bahwa, tidak akan pernah ditemukan, orang dibayar setiap bulan, dijamin pensiunnya untuk kemudian menjadi raja dan acuh terhadap rakyat yang membayarnya. Apalagi jika sampai bergaya pongah dan angkuh di hadapan rakyatnya sendiri.
Dan untuk kondisi ini, pemimpin yang punya entrepreneurial leadership harus membantu jajaran birokrat untuk melakukan mental switch dan orientation switch. Dudukkan kesadaran mereka, meski ini tidak mudah, bahwa PNS adalah profesi mulia, bukan profesi buangan. PNS adalah orang-orang pilihan yang sudah dijamin kehidupannya sampai batas usia hidup mereka, bahkan selama-lamanya, meski mereka sendiri belum menjamin seberapa tinggi etos kerja mereka. Menjadi PNS yang profesional adalah ibadah dan mulia. Pemimpin yang punya entrepreneurial leadership tidak sepatutnya memberikan vonis atau stempel yang ekstrim akan kondisi ini.
Pembenahan aparatur ini harus dilakukan sejalan dengan reward and punishment yang sepadan berdasarkan alat ukur yang tool's nya bisa dirancang oleh BKD.

Efektifitas dan Efisiensi
Dalam beberapa komentar dan tulisan di facebook, saya selalu menyampaikan bahwa Lembata dengan kondisi seperti saat ini, menyimpan berbagai potensi dan resources untuk dapat bangkit kembali. Potensi dimaksud bukanlah kandungan emas di Kedang dan Leragere. Bukan pula panas bumi di Nuba Atalojo - Atakore. Hemat saya, potensi yang paling mudah dan mungkin untuk digarap di tahap awal dan harus menjadi prioritas adalah efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
Ekonomi biaya tinggi dalam penyelenggaraan pembangunan selama ini, harus segera dijinakkan dengan jurus-jurus efisiensi yang lazim dilakukan di sektor swasta. Contoh in-efisiensi yang selama ini terjadi: Perjalanan dinas yang menghabiskan tidak sedikit anggaran baik oleh pemerintah maupun legislatif, mestinya dapat diefisienkan dengan sangat selektif menentukan pemberian SPPD oleh kepala SKPD atau pimpinan lembaga. Modus penambahan penghasilan lewat budget perjalanan dinas dapat dicegah, dan dengan kontrol yang ketat, sistim yang dibangun dengan sendirinya dapat mencegah orang untuk tidak menjadi pencuri.
In-Efisiensi yang lain adalah, berbagai aktifitas yang dilakukan dengan tujuan peningkatan kapasitas aparat dan anggota dewan di luar Lembata, khususnya di Jawa. Hemat saya, jika kegiatan itu seperti BIMTEK dll. dijalankan secara berjemaah-artinya melibatkan seluruh anggota dewan atau sejumlah penjabat pemerintah, lebih efisien jika dilakukan terobosan dengan melakukan In-House BIMTEK. Instrukturnya lah yang didatangkan dari Jakarta untuk memberikan berbagai materi itu di Lembata. Efisiensi yang ditimbulkan bisa berkali-kali lipat ketimbang setiap orang ke Jakarta dengan mengantongi SPPD selama 7 hari kerja, meski sudah jadi rahasia umum bahwa kegiatan selama 3 hari bisa disulap menjadi hanya satu hari saja. Selebihnya, pelesir.
Kebijakan pembangunan rumah potong hewan, pabrik es, pelabuhan pendaratan ikan, penyulingan air laut menjadi air tawar, relokasi kantor bupati dan kantor-kantor lainnya, adalah kebijakan in-efisien yang telah dihasilkan oleh pemerintah kabupaten Lembata. Tidak harus dicela, tetapi jika pun ada pelanggaran hukum di dalamnya, tak juga harus ditutupi atau dilindungi.
Nah, jika semua perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di Lembata, mengunakan mindset efektifitas dan efisiensi, maka niscaya saving pun akan meningkat untuk dapat dialokasikan pada pos-pos pembangunan lain yang lebih urgen dan lebih berdayamanfaat. Kita pasti butuh perencana yang andal, berwawasan luas dan tidak sok tahu atau sekadar mengandalkan senioritas kepangkatan dll.

Revitalisasi Simpul Ekonomi Rakyat
Visi pembangunan ekonomi rakyat mustahil jika dirancang hanya dalam kurun waktu lima tahun. Kalkulasi saya, 5 tahun pertama adalah masa persiapan dan baru akan mulai dipanen manfaatnya di periode berikutnya. Itu sebabnya, saya lebih tertarik mengasumsikan bahwa peralihan periode kepemimpinan di kabupaten ini harus dilakukan dalam sebuah proyeksi pembangunan berjangka 10 tahun. Mengapa? Karena berbagai bottleneck yang terjadi harus diurai satu per satu dan dicarikan solusi yang bukan retoris. Solusi yang apllicable adalah musuh paling besar dari retorika tanpa makna dan abstrak yang meninabobokan rakyat.
Nah, modal dasar pembangunan jika mau dirancang dalam satu durasi menengah (10 tahun) sebetulnya sudah tersedia. Natural resources, cukup tersedia. Heavy untuk struggle for life, masyarakat kita ulet. Mereka tinggal butuh solusi akseleratif saja dari pemerintah. Konkrit saja seperti ini:
Petani & Nelayan: Mereka memiliki keterbatasan opsi yang amat sangat dalam aktifitas produksi maupun konsumsi mereka. Dependensi mereka terhadap saudagar lokal amat sangat tinggi dan melilit. Padahal, merekalah yang memiliki dua modal dasar, dari sekian banyak modal dasar lainnya yang saya sebutkan di atas. Saya memandang perlu dihidupkannya kembali local corporation atau perusahaan daerah sebagai holding untuk investasi luar yang datang untuk memberikan nilai tambah bagi natural resources (non tambang tentu saja - red), sementara koperasi dan UKM dihidupkan untuk menaungi aktifitas produksi dan konsumsi langsung mereka.
Pada titik ini, saya sepakat dengan konsep membumi yang dimiliki oleh salah seorang calon yang bercita-cita menjadikan Lembata sebagai benchmark kabupaten koperasi tingkat nasional. Sebuah konsep yang memiliki visibilitas tinggi untuk diterapkan, memungkinkan secara regulatif, dan lazim di dalam perekonomian moderen era global. Mungkin sedikit yang perlu di perdalam lagi adalah pada sisi pembagian peran dengan aktifitas investasi dalam jangka panjang, dengan menggunakan BUMD sebagai payung-nya.
Menurut saya, kegelisahan yang paling dalam dirasakan masyarakat lembata saat ini dalam kaitan dengan urusan kebun dan ladang mereka adalah pada kontradiksi pasar yang selalu menempatkan mereka dalam posisi yang terjepit. Jika, harga komoditi hasil produksi mereka selalu bergantung pada informasi harga komoditi di pasar surabaya yang entah valid atau tidak, demikian pula yang terjadi pada komoditi inflow dari luar yang mereka butuhkan seperti beras, bawang, dll. Semuanya ditentukan oleh pedagang tanpa mereka bisa mengintervensi itu.
Di sinilah saya melihat adanya tantangan, siapa yang bisa merancang sebuah konsep untuk mendudukan rakyat sebagai sebuah kekuatan ekonomi dalam menentukan kedua hal di atas; harga komoditi mereka dan komoditi luar yang masuk ke Lembata? Bagi saya, hanya pemimpin yang memiliki jiwa kewirausahawan yang mampu membuat formulasi ampuh dan dapat dimplementasikan.

Tambang, Solusi Paling Akhir
Jika efektifitas dan efisiensi pembangunan merupakan potensi yang paling dapat digarap di tahap awal, maka saya berpandangan bahwa, tambang apapun itu namanya, adalah solusi paling akhir. Jika perlu, bupati yang terpilih melakukan referendum untuk mengetahui secara detail, apa aspirasi langsung dari rakyat.
Soal tambang emas, rakyat sudah banyak tahu mula dan akhirnya seperti apa. Namun yang ingin saya berikan catatan kritis adalah pada, bagaimana sikap pemda dan anggota dewan dalam menyikapi rencana investasi pihak ketiga untuk mengeksploitasi panas bumi di Atadei.
Akal sehat saya tidak bisa menerima jika pemerintah dan anggota dewan, menganggap bahwa potensi itu dapat dikembangkan untuk meningkatkan derajat ekonomi masyarakat Lembata. Kalau rakyat, itu lain soal karena wajar jika mereka tidak atau kurang paham pada hal-hal berkaitan dengan geometri....upsss...maaf, geothermal itu :)
Siapakah investor 'sinting' yang mau datang ke Lembata untuk membenamkan ratusan miliar bahkan triliunan rupiah untuk kembangkan energi panas bumi di Lembata. Sekadar perbandingan dengan Pertamina Geothermal Energy di Kamojang Jawa Barat; Energi yang diproduksi dari Kamojang berkapasitas 200 Mega Watt itu,140 MW di antaranya berupa uap yang dipasok ke Indonesia Power (anak perusahaan PT PLN) dan 60 MW berupa listrik yang langsung dipasok kepada PLN. Sementara itu di Lembata, menurut Tim konsultan panas bumi, PT Nadia Karsa Amerta bernama Munasir Amran, sebagaimana diberitakan Pos Kupang, 12/2/2009, investasi yang dibutuhkan mencapai Rp2 Triliun. Kapasitas panas bumi di Atadei, menurut yang bersangkutan mencapai 60 MW. (Data dari ESDM: 40 MW).
Nah, pertanyaannya kini...jika investasi sebesar ini sudah dibenamkan, lalu apakah benar PLN akan menyerap semua energi yang dipasok tersebut? Apakah dari Lembata ke pulau-pulau lain di sekitarnya sudah terbentang jaringan interkoneksi yang menjadi syarat mutlak pendistribusian energi tersebut? Asal tahu saja, salah satu kendala pengembangan PLTP Kamojang selain pada aspek pendanaan yang kini tengah mereka harapkan dari pinjaman ke pemerintah Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan Bank Dunia, pengembangan mereka juga terhambat karena belum adanya interkoneksi di seluruh Sumatra dan pulau lainnya serta interkoneksi Jawa-Sumatra, padahal listrik yang dihasilkan juga harus disalurkan.
Sementara itu dari sisi lokasi, masih banyak sumber panas bumi lain di luar Lembata yang mungkin akan menjadi prioritas terdahulu untuk dieksploitasi seperti: Seulawah Agam, NAD 160 MW, Jailolo, Maluku Utara 75 MW, Telaga Ngebel, Jatim 120 MW, Gunung Ungaran, Jateng 50 MW, Gunung Tampomas, Jabar 50 MW, Tangkuban Perahu, Jabar 220 MW, Jaboi, NAD 50 MW, Sekincau-Suoh, Lampung dengan potensi Sekincau 264 MW dan Suoh 238 MW, Marana, Sulteng 40 MW, Suwawa, Gorontalo 65 MW, Songa Wayaua, Maluku Utara 140 MW, dan Mataloko, NTT 65 MW.
Itulah sebabnya, saya berpikiran bahwa dengan investasi yang demikian tinggi dan potensi utilisasi yang demikian rendahnya (mengingat tidak adanya industri di Lembata dan belum adanya jaringan interkoneksi untuk distribusi energi) maka sudah sepatutnya kita pendam dulu birahi kita untuk menghadirkan proyek mercu suar ini di Lembata, dalam satu-dua dasawarsa ke depan. Mungkin, nanti...ketika anak cucu kita membutuhkan ini, barulan potensi ini digarap.

Entrepreneurial Leadership, Membuat 2+2 = 8
Pola kepemimpinan yang dijalankan di banyak daerah di Indonesia menganut sistim birokrasi lama yang hanya menjalankan partitur penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana sudah diatur dalam textbook, miskin kreasi dan inovasi. Itu sebabnya, terkadang kita jumpai, demi amanat peraturan yang ditafsirkan secara membabibuta dengan kacamata kuda, pemborosan pun dipilih untuk dilakukan, karena pemborosan itu legal, meski negatif untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Saya lantas bertanya-tanya, pernahkah seseorang dijebloskan ke penjara lantara efisiensi yang dia lakukan untuk menghemat dan mengetatkan penggunaaan anggaran?
Mental seperti ini rasanya sulit untuk mendongkrak akselerasi Lembata ke titik bangkit yang kita inginkan bersama. Mengapa? Pola pemanfaatan dan penghabisan anggaran seperti ini sudah terjadi dan terbukti membawa Lembata ke jurang ketertinggalan nan dalam seperti saat ini.
Maka, jika di dalam kepemimpinan lama, kita hanya dapat mengenal logika 'pengurangan' anggaran tanpa terukur benefit yang dihasilkan dari penggunaaan anggaran itu, dan ini pun tidak terawasi dengan baik oleh legislatif kita dari kedua generasi yang sedang dan sudah menjabat ini, kini sepertinya sudah tiba saatnya kita melakukan turn arround; mencari pemimpin yang mampu memberikan nilai tambah bagi kapital yang diturunkan dari pemerintah pusat dalam bentuk DAU dan DAK, sehingga jangankan 100-80 tinggal 10 saja (karena ada kebocoran anggaran), tetapi 50-25 pun tidak hanya tersisa 25, melainkan dalam wujud tertentu dia justru bertambah nilainya, sehingga 50-25 menjadi 75. Karena, sesungguhnya modal yang diberikan dari pusat harus dikelola sebaik dan se-transparan mungkin untuk bisa menghasilkan added value, sehingga 2+2 bukan hanya 4 tetapi bisa mejadi 8. Dan, hanya pemimpin dengan Entrepreneurial Leadership-lah, yang memandang pembangunan Lembata dalam spektrum yang lebih berjangka panjang, dan dalam kurun waktu itulah itu menjalankan pembangunan sebagai medium untuk memberikan added value bagi modal dalam bentuk berbagai dana yang datang dari pusat.

Adakah calon pemimpin seperti ini yang dimiliki oleh Lembata?
Jakarta, 12.37, Selasa, 9 November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar