Halaman

Rabu, 12 September 2012

Paul Budi Kleden: Khotbah Misa 75 Tahun Seminari Ledalero


Tulisan berikut dalah Khotbah misa yang disampaikan oleh P. DR. Paul Budi Kleden, SVD dalam peryaan misa 75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero.  

Ayat yang tidak menjadi bagian dari teks injil yang dibicarakan hari ini.
Sebenarnya menjembatani urutan nama dan kisa kelahiran Yesus dan meringkas silsiah Yesus dalam tiga periode. 14 keturunan dari Abraham sampai  Daud. Empat belas dari Daud sampai pembuangan ke Babel, empat belas lagi d ari pembuangan ke babel hingga kelahiran Yesus. Kalau kita menggunakan jumlah yang sama untuk membagi sejarah seminari ini berdasarkan jumlah rektornya, maka kini, pada masa kepemimpinan Pater Kletus Hekong sebagai rektor ke 18 dari lembaga ini, kita sudah berada dalam babak kedua. Dan babak kedua itu berakhir dengan pembuangan ke Babel. Apakah masa Daud, saman keemasan lembaga ini sudah lewat dan kita sedang mengarah pada pembuangan? Kita pasti akan mengalami tantangan dan goncangan, namun saya yakin dan kita berdoa agar pada kepemimpinan rektor yang ke 28 seminari ini tidak akan mengalami masa pembuangan, tidak dibuang oleh umat, di telantarkan oleh serikat, apalagi diabaikan para alumninya. Karena kita bertumpuh pada keyakinan dan membangun harapan: bahwa kekal abadi kasih setia Tuhan.

Saudara/i.....
“ Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab kekal abadi kasi setia-Nya”. Kekal, abadi itu sifat Allah. Para pemazmur memujanya sebagai kasih yang tak pernah menyerah, para penyair mengumpamakannya dengan wadas yang kokoh bertahan menentang terpaan gelombang dan hempasan angin. Kekal itu sifat Allah. Para kekasih menyanyikannya sebagai melodi yang tak pernah sumbang, para peziarah mengalaminya sebagai bintang penuntun yang tak kunjung pudar. Kekal itu sifat Allah. Pada pihak lain, manusia sebagai ciptaan bersifat sementara. Berubah itu cirinya. Pemazmur mengumpamakannya dengan daun yang segar di pagi hari dan cepat layu diterpa terik mentari, para pencari kebenaran dan keadilan sering mengalaminya sebagai bunglon yang bebrubah warna menurut keadaan. Sementara, itu sifat manusia, berubah itu cirinya. Sejarah mencatatnya sebagai pertukaran rezim dan dinasti, perubahan sistim, pergantian pemimpin dan peralihan generasi.

Kasih setia Tuuhan dialami ditengah kerapuhan dan kesementaraan kita. Dan melalui kerapuhan dan kesementaraan kita itu, Tuhan hendak memencarkan kasih setianya yang abadi. Semakij kita menyadari keabadian kasih Allah dan kekekalan kasih setia-Nya, semakin rela dan jujur kita mengakui bahwa kita ini serba terbatas, bahwa hidup kita fana dan karya kita rapuh. Sejarah kita terpenggal dan pengaruh kita tak langgeng, kekuasaan kita entah politik, religius entah intelektual atau sosial, tidak abadi.

Israel mengalami kesetiaan itu dan mengukirnya dalam penuturan silsilah, sebuah daftar panjang para pendahulu, sebagaimana dikisahkan dalam dalam Injil tadi. Dari silsilah itu bukan hanya deretan nama-nama orang yang teguh imannya, dalam pikirannya, unggul wataknya dan terpuji perilakuknya. Pada daftar itu tertampung pula  orang-orang yang yang telah menjual imannya demi kekuasaan. Yang menghinati bangsanya sendiri tersebab oleh kerakusan, yang mencemarkan nama sukunya karena perilaku yang tak terpuji. Pada deretan itu tertulis pula nama-nama yang tidak banyak dikenal, mereka yang biasa-biasa tanpa momen bersejarah yang namanya tidak menggetarkan hati bangsa-bangsa dan kiprahnya tidak mengundang decak kagum, yang cahaya wajahnya tidak mengundang simpati dan gema suaranya tidak terdengar berwibawa, yang tidak ditinggalkan banyak kesan untuk dikenang selain mewarisi darah dan meneruskan tasli kekerabatan pada urutan garis keturunan.

Tuhan seperti ini, yang menunjukan kesetiaanya melalui manusia biasa yang sederhana tanpa banyak kelebihan, yang memancarkan sinar kasih-Nya keduniapun melalui orang-orang yang gampang dilupakan sejarah, Dialah yang dimadakan israel seperti yang diungkapkan pemazmur tadi. Nabi Mikha menyebutnya sebagai Tuhan yang memperhatikan keterpencilan Betlehem Efrata, yang hampir tak pernah disebut oleh suku-suku Yehuda, yang namanya tak ada dalam daftar penguasa dan tak muncul pada peta pemimpin. Tuhan dimadahkan sebagai Allah yang setia, karena tidak memalingkan wajahnya dari  tempat dan orang-orang yang terbuang, tidak menghapus dari ingatan dan memutihkan dari hati-Nya ajah dan nama mereka sederhana dan sering dibuat tidak berdaya. Seperti dikatakan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, memang sejak awal Tuhan sudah punya opsi yang jelas, dan dengan telaten Dia mewujudkan opsi itu, untuk membenarkan dan memuliakan manusia, terutama mereka yang sering dibuang dan gampang diabaikan, yang hanya dipinang disaat pemilu lalu diceraikan sesudah dapat kekuasaan. Dari  semula Tuhan punya tekad untuk pilih, benarkan dan memuliakan manusia, teristimewa mereka yang umumnya hanya dikunjungi selama dianggap masih bermanfaat, lalu dianggap sepih sesudah orang memperoleh apa yang dibutuhkannya.

Tuhan seperti ini telah memilih Maria istri Yosef, sebagai Bunda Alllah menjadi bukti yang memancar sinar kasih Allah, yang menggemakan warta Sang Sabda ke dunia dan sejarah. Merayakan kelahiran Maria berarti merayakan kesetiaan Tuhan yang merendah untuk meninggikan. Merayakan kelahiran maria berarti mengenangkannya sebagai Ledalero, bukti tempat Yesus almasih, sang mentari Sabda bersandar untuk masuk ke dalam dunia dengan wajahnya yang pulihkan semangat dan beri kelegaan pada yang bersusah dan suaranya yang menggoncangkan dan suara-Nya yang menggoncang mereka yang angkuh hatinya.
Tuhan itu pula yang menyalakan kerinduan Arnold Janssen dan membakarnya dengan semangat berapi untuk mendidik dan mengutus misionaris, yang dalam terang teologinya saat itu, pergi membawa terang untuk “melenyapkan kegelapan dosa dan kebutaan manusia tak beriman”. Sejak 137 tahun yang silam itu, ribuan misionaris SVD telah dididik dan diutus, dalam kesadaran baru, untuk menghalau kegelapan dari orang-orang yang buta melihat sesamanya sebagai orang-orang yang telah dipilih, dibenarkan dan dimuliakan Allah. Misionaris dididik dan diutus untuk membentuk persekutuan manusia yang mesti saling menghargai, sebab ada keyakinan, dalam diri setiap orang Tuhan menampilkan wajah-Nya dan dalam semua kebudayaan Dia menggemakan suara-Nya. Misisonaris dididik dan diutus bertukar gagasan dan berbagi hidup, memberi dari kedalaman pengalamanya dan belajar dari ketulusan hati orang yang beragama dan berbudaya lain, mereka yang miskin dan tersisih, yang sedang mencari iman atau merasa tak punya alasan cukup untuk beriman.

Kita bersyukur pada Tuhan karena Ia baik, sebab kesetiaan-Nya telah membuka hati para misionari     untuk melihat bakat keagamaan dan semangat pengorbanan anak-anak Nusa Tenggara Timur yang mau terlibat dalam karya  besar misi Gereja dan perutusan serikat. Dan sejak tahun 37, 75 tahun silam, bukit Ledalero yang mulanya dijauhi penduduk dan ditakuti penghuni sekitar, menjadi bukit yang berdaya tarik , sebagai panti pendidikan dan sebagai almamater. Sebagai panti pendidikan bukit ini memanggil ribuan orang muda untuk membiarkan diri diteguhkan kebeneran Firman dan ditantang kejelsan Sabda, agar memurnikan motivasi dan menjernihkan pilihan, supaya mengenal diri dan memahami kepribadian. Sebagai panti pendidikan bukit ini membantu, agar frater mampu mengambil keputusan yang tepat, entah diutus sebagai awam yang menggarami dunia dalam berbagai bidang karya, atau dikirim sebagai misionaris ke berbagai penjuru dunia yang pantulkan cahaya dan gemakan warta kesetiaan Allah.

Sebagai almamater, bukit ini terus memanggil para alumninya, awam dan imam, bukan hanya sebagai bunda yang dibakar kerinduan bernostalgia, tapi bagai ibu yang terus berusaha menyampaikan rasa bangga bagi yang sukses, mengungkapkan keprihatinan bagi yang salah arah, meneguhkan yang kecapaian di medan karya. Sebagai almamater bukti ini terus memanggil para alumni, awam dan imam untuk menyegarkan komitmen dan memperbaharui tekad agar dimana dan kapan saja kita tetap menjadi Ledalero, menjadi bukit yang memancarkan terang dan menggemakan suara Tuhan.

Sejarah 75 tahun seminari ini, adalah sejarah yang digores para penghuni dan alumni, para karyawan/ti dan simpatisan. Merayakan ulang tahun seperti ini mengajak kita untuk bertapak undur, mengenang segala yang sudah dialami dan semua orang yang pernah berbagi hidup disini. Dan kita seperti semua orang lain, sangat sadar bahwa rentang waktu 75 tahun diisi kerbehasilan pun kegagalan. Ada kisah keberhasilan yang memebanggakan tetapi juga tak sedikit kegagalan yang membuat umat binggung dan warga geleng kepala. Ada yang pergi dengan kenangan indah bersamaan namun ada pula yang memendam sakit hati dan kepahitan. Bagi banyak orang, bukit ini menjadi tempat matahari sungguh bersandar dan Sabda menggemakan warta, namun bagi sejumlah orang, bukit ini menjulang terlampau tinggi sehingga menghalangi orang mengalami kejelasan sinar ilahi dan melunakan ketegasan Firman Allah. Bagi banyak orang, bukit ini mendekatkan Allah yang berpihak, namun bagi yang lain, bukit ini menjadi tanda Allah yang menjauh dan tak terjangkau.

Kita madahkan syukur Tuhan yang setia, karena Dia relakan diri dipantulkan dan digemakan oleh kita, manusia yang sering terlilit keangkuhan dan terjerat egoisme. Semakin kita sadari keabadian kasih Allah, semakin kita rela akui keterbatasan dan kerapuhan kita. Kita, umat beriman tidak selalu merupakan bagian terbaik dari masyarakat kita. Kita, para misionaris SVD dimana-mana sering bukanlah misionaris yang paling andal dan tanpa pamrih dari Gereja. Kita para penghuni dan alumni dari seminari ini, bukanlah putra-putra terunggul dari kampung dan keluarga kita. Kita, yang hari ini merayakan pesta-pesta khusus, bukanlah pribadi-pribadi yang paling istimewah dari angkatan dan teman-teman kita. Walau demikian kita semua, umat beriman, para misionaris SVD, penghuni dan alumni, punya alasan untuk bersykur dan berbesar hati, karena juga kepada dan melalui kita Tuhan mau turun sebagai cahaya yang memelekan mata dan melihat realitas seadanya, kita semua punya alasan untuk bersyukur, karena kepada dan melalui kita Tuhan terus mau datang sebagai cahaya yang menyejukan yang terbakar amarah, tetapi juga membakar lagi semangat yang mulai pudar. Kita semua punya alasan untuk bersyukur, sebab kepada dan melalui kita Tuhan terus memperdengarkan suara-Nya yang menyatakan kebenaran ditengah kebiasaan dan praktik pemutarbalikan kebenaran, menggemakan suara-Nya tentang keadilan ditengah umat dan masyarakat yang lebih suka gemakan kehendak sendiri. Kita semua punya alasanuntuk bersyukur, karena kepada dan melalui kita Tuhan setia datang ditengah umat-Nya, kepada serikat dan seminari ini, Tuhan selalu datang, karena Ia adalah hidup, dan hidup mengandung daya cipta yang tak tertahan. Tuhan datang, karena ia adalah cahaya, dan cahaya itu tak mungkin tinggal tersembunyi. Tuhan datang, karena adalah suara, dan suara tak bisa terus diredam dalam kebisuan. Tuhan datang, karena ia adalah cinta, dan cinta selamanya menyerahkan diri...               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar