Tahun 2010 yang lalu, ketika sedang menyaksikan parade
pembangunan yang diarak dari ibu kota kecamatan Lebatukan ke Ibu Kota
Kabupaten, saya dikejutkan dengan sebuah pertanyaan dari putri pertamaku yang
saat itu baru berusia 8 tahun. Pertanyaan yang kemudian dilanjutkan dengan
pernyataan spontan, yang hingga saat ini saya tak pernah lupa.
“Bapa e, itu karena kita otonomi ka?” tanya putriku sambil
menunjuk ke arah kendaraan yang dihiasai berbagai macam hasil pembangunan
selama lembata menjadi sebuah kabupaten definitif (kira-kira begitu, pesan dari parade yang mau disampaikan saat itu). Dalam
dialeg lewolebanya. Saya pun menjawab sekenanya saja, (karena waktu itu sayapun
asyik menyaksikan parade) “ya” jawab saya.
Mendengar jawaban singkat saya itu, putri kecilku langsung
membalasnya dengan sebuah pernyataan yang saya anggap sebagai sebuah bentuk
protes. “eh, kita otonomi le, kenapa jalan-jalan pada rusak semua”. Hardiknya.
Jujur, saya kaget ketika mendengar pernyataan polos dari
seorang anak kecil yang kala itu baru duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Setelah
berpikir sejenak, sayapun mencoba menjawab perntanyaannya (tentunya, sambil
berharap agar tidak ada lagi protes darinya) “karena uang kita tidak cukup tuk
bangun jalan”. Jawab saya. Sekilas saya perhatikan, dahinya berkerut, mungkin
sebagai tanda setuju, tapi bisa juga tidak suka dengan jawaban seperti itu. Tetapi,
untuk saat itu, dan karena putriku tak lagi melanjut dengan pertanyaan lain,
yah...saya anggap dia setuju.
Dua tahun sudah peristiwa diatas terjadi, sekarang putriku
sudah menginjak usainya yang ke 10 tahun, rezim pun berubah, namun demikian
pernyataan spontan dari putri kecilku ini saya anggap masih layak untuk
dipertanyakan kembali, bukan kepada saya. Bukan juga sebagai anak dan ayah,
tetapi pertanyaan ini sepantasnya dipertanyakan oleh kita sebagai rakyat Lembata,
kepada pemimpin. Karena bagi saya, mereka (baca: pemimpin) lah yang paling
bertanggungjawab untuk menjawab pertanyaan ini.
Saya yakin betul, kalau pernyataan putri kecil ku itupun
menjadi pernyataan kita sebagai rakyat lembata.Kondisi jalan di Lembata ini,
hampir tak ada satu ruas jalanpun yang bisa kita bilang baik, padahal sebagai
rakyat kita juga tau, kalau tidak sedikit juga uang yang dihabiskan, atau bisa
kita bilang dengan sengaja dihabiskan untuk banyak kepentingan yang memang
sebenarnya juga tidak penting buat kita (baca: rakyat). Bangun depo mini yang
hingga kini tak dimanfaatkan, bangun pabrik es yang juga sengaja ditelantarkan,
bangun kantor bupati Lusikawak yang juga mungkin saja sengaja dibakar (kita
bisa berasumsi begitu, karena sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai
penyebab kebakaran), Jalan ke jakarta, studi banding yang tak jelas, dan masih
banyak hal yang barangkali juga tak penting bagi kita.
Tak penting, karena kita memang sedang butuh jalan, bukan
kita butuh studi banding, juga bukan butuh bangun kantor mewah ditengah
kehidupan rakyat yang miskin, kita memang butuh BBM (Bahan Bakar Minyak) bukan Buang-Buang Materi karena AMPS
yang ada sebenar mampu melayani kebutuhan minyak bagi kita, asal pemerintah mau
mengusul pertambahan quota minyak bagi Lembata.
Kita kekurangan minyak, bukan karena kita tidak punya Depo
Mini Pertamina, kita kekurangan minyak karena memang jumlah penduduk kita
bertambah, seiring juga dengan bertambahnya kendaraan bermotor dan lain-lain,
sementara jatah minyak kita tak pernah ditambah dari tahun ke tahun.
Andai barang-barang yang penting menurut elite dan menurut
kita yang tak penting itu belum di bangun, dan uangnya dimanfaatkan untuk
bangun jalan (karena uangnya tidak sedikit untuk bangun barang-barang itu),
saya sangka keluhan tentang jalan yang rusak mungkin saja tak terlontar,
mungkin juga kita tak berdosa karena memaki siapa saja yang berhubungan dengan
jalan, dan sudah pasti saya tidak memberi jawaban kepada anak saya bahwa kita
tidak punya cukup uang untuk bangun jalan, karena tak mungkin anak saya membuat
pernyataan soal jalan rusak dimana-dimana.
Kini, di bulan ini, kita merayakan lagi HUT OTDA Lembata
yang ke 13 tahun. Sebuah usia yang kalau diandaikan sebagai manusia, Lembata bukan
lagi bayi, tetapi hampir masuk ke usia remaja, usia Tiga belas tahun,
sebenarnya orang tua tak lagi terlalu pusing tuk menjaga kala kita di luar
rumah, karena memang kita dianggap sudah mulai bisa menjaga diri dan
bertanggungjawab terhadap diri kita. 13 tahun, dimana seorang anak sudah mulai
menunjukan kemapuannya untuk mengerjakan sesuatu.
Namun kini, diusia yang hampir masuk ke akil balik,
pernyataan dan pernyataan spontan seperti yang di lontarkan putri kecilku
masih, dan selalu terdengar. Akh...apakah memang kita tak punya cukup uang tuk
membangun jalan? Ataukah memang uang-uang yang di peroleh dari hasil kita
membayar pajak itu, hanya diperuntukan bagi biaya bangun jalan ke jakarta orang-orang
elit? Ataukah uang kita itu hanya diperuntukan buat beli mobil mewah berplat
merah yang hanya ditumpangi pejabat dan keluarganya, yang suka melintas di tengah
perkampungan yang dihuni oleh kita yang miskin ini?
Kini, kita hendak berpesta HUT, sebagai bukti kita
mensyukuri perjalanan Otada. Saya sepakat jika HUT OTDA diperingati kerena
dengan momentum ini, bisa kita jadikan sebagai momentum refleksi. Baik refleksi
sebagi pemimpin, sebagai bawahan pun sebagai rakyat. Namun terkadang sayapun
kurang suka dengan acara-acara ceremonial dengn tujuan merayakan HUT, yang
terkesan mewah. bagi saya, yang terpenting adalah, upaya kita mencari makna tuk
dapat dijadikan panduan bagi perjalanan kedepan. jadi tidak sekedar tuk
menghabiskan dana hingga ratusan juta. Apalagi model peringatannya dengan cara
menggelar pasar malam. yah, hingga saat ini, saya tak pernah mendapat makna
posif dibalik pagelaran pasar malam, karena yang saya tahu adalah, menggelar
pasar malam sama saja dengan mengajarkan masyarakat tuk berjudi dan
berfoya-foya dengan uang yang baru saja mereka dapat yang mungkin dengan cara
memulung, ngojek, atau berdagang sayur dan ikan keliling.
Boleh jadi kita diajarkan tuk tersenyum karena memenangkan
taruhan-taruhan di diatas meja rolex, atau boleh jadi juga kita diajak
tersenyum kerana mendapat kesempatan mengasah pedang peninggalan nenek moyang,
pada batu asah yang bermerk jawa dan makasar, yang banyak dijajahkan di sekitaran
area pasar malam? yah...boleh jadi. Karena
memang sekarang mereka sedang bermimpi dan berambisi mewujudkan mimpi indah mereka tuk membuat kita
tersenyum. dan sekarang kita tersenyum.
kita tersenyum karena tak mampu menjawab pertanyaan dari seorang anak kecil sekalipun.....s e k i a n.
kita tersenyum karena tak mampu menjawab pertanyaan dari seorang anak kecil sekalipun.....s e k i a n.
Oleh : Yogi Making,
Tulisan ini diangkat dari pengalaman pribadi, sekedar tuk
refleksi bersama
Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar