Halaman

Minggu, 26 Agustus 2012

Demi Gaji Guru Saling Makan Jam Pelajaran


Menarik jika membahas soal guru. Memang saya akui kalau bicara soal pendidikan bukan menjadi bidang saya. Tapi sebagai manusia yang pernah mengeyam dunia pendidikan saya kira tidak salah kalau kita boleh berpendapat, tidak saja soal pendidikan tetapi mungkin soal yang lain.
Nah, kali ini saya ingin berpendapat soal dunia pendidikan, atau secara lebih spesifik soal guru. Judul tulisan diatas mungkin dianggap kasar, namun tentu saya memiliki alasan mengapa saya harus memili judul itu. Yang akan saya urai lebih jauh dalam tulisan saya ini.

Tulisan saya angkat berawal dari keprihatinan saya sebagai anak bangsa (yang juga terlahir dari dunia pendidikan) terhadap dunia pendidikan dewasa ini, terutama bagi dunia pendidikan daerah pelosok. Memang harus diakui bahwa profesi guru telah mendapat perhatian serius dari pemerintahan. Mulai dari pemerintah pusat hingga daerah. Guru dijaman ini lebih sejahtera ketimbang dijaman dulu.  Sejalan dengan itu pemerintah pun mengeluarkan kebijakan dalam peningkatan kemampuan guru. Tidak lain hanya demi pencerdasan anak bangsa.

Kebijakan sertifikasi misalnya, merupakan sebuah kabar gembira. Karena sebagai seorang guru apalagi yang sudah disertifikasi tentunya akan mendapatkan gaji dan tunjangan yang layak. Namun demikian disisi lain dapat membawa bencana bagi guru yang belum disertifikasi.
Kenapa demikian? Sejalan dengan SKB Lima Menteri guru diwajibkan tuk mengajar 24 jam dalam seminggu.  Praktis para guru yang menginginkan sertifikasi akan mengejar jam pengajarannya demi memenuhi syarat tersebut, padahal setiap mata pelajaran telah dibagi dalam setiap minggunya. Misalnya, seorang guru mata pelajaran yang dalam seminggu hanya mengajar 4 jam, maka guru tersebut wajib berusaha sebisa mungkin dengan menambah jam mengajarnya pada sekolah lainnya yang setara, bahkan lebih ekstrim guru mata pelajaran tersebut merebut job guru mata pelajaran yang lainnya. Saling memakan jam pelajaranpun terjadi.

Pada akhirnya guru-guru sepuh (guru sejati) yang dalam setiap mengajar dan mendidik murid-muridnya tidak pernah mengharapkan imbalan, niat dan tujuan mereka hanya satu menyebarkan ilmu yang telah didapatkan dari guru-gurunya sesuai dengan perintah Allah dan telah mengabdi berpuluh-puluh tahun sedikit demi sedikit disingkirkan. Guru sejati berpandangan bahwa mendidik ataupun mengajar bukanlah suatu pekerjaan melainkan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Niat dan tujuan seperti inilah yang sesungguhnya benar-benar dapat mencerdaskan bangsa Indonesia. Berbeda hasilnya murid yang dididik oleh guru-guru sejati dengan murid yang diajar oleh guru yang hanya mengejar sertifikasi, karena niat dan tujuan mereka sama sekali berbeda sehingga pikiran merekapun berbeda.

Para guru yang hanya mengejar sertifikasi tidak berpikir bagaimana nasib murid-muridnya, tujuan mereka adalah gaji bukan mendidik. Memang mereka sangat disiplin dan bertanggung jawab atas jam yang dipegangnya, namun di sisi lain mereka juga acuh terhadap pendidikan murid-muridnya, mereka tidak memikirkan apakah murid-muridnya memahami mata pelajaran yang telah diberikannya atau tidak (karena mata pelajaran yang diampunya bukanlah keahliannya, mungkin), yang penting mereka sudah memenuhi jam ajarnya dan mendapatkan gaji seperti yang diinginkannya. Pantaslah jika murid-murid jaman sekarang tidak sepandai dan secerdas murid-murid yang dulu serta kurang memiliki rasa hormat kepada gurunya, karena gurunya pun salah di dalam niat mendidik murid-muridnya, karena tujuan guru sertifikasi hanya gaji bukanlah mendidik. Sehingga agaknya tidak salah jika saya mengatakan Guru di Indonesia sekarang adalah buruh pengajar bukan pendidik.(yogi making)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar