Halaman

Senin, 01 Desember 2014

Rumah Sakit Umum Lewoleba, Hanya Untuk Tempat Istirahat



LEWOLEBA, FBC-Tak ada yang menjamin jika seorang pasien bisa segera pulih ketika berada di RSUD Lewoleba. Rumah sakit kebanggaan warga lembata itu, kini tak ubahnya seperti hotel yang hanya bisa dijadikan tempat menginap. Dan mirisnya, bagi pasien dengan kondisi ekonomi pas-pasan bahkan harus menanggung utang jika ingin sembuh.
RSUD Lewoleba
Kantor RSUD Lewoleba

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, RSUD Lewoleba kini dalam persoalan serius. Tidak saja kehabisan obat dan bahan habis pakai tetapi keadaan diperparah dengan rusaknya alat kesehatan di laboraturium, dan anehnya walau rumah sakit dalam keadaan kritis, warga terus berdatangan untuk mendapat pelayanan medis.

“Setahu saya, obat sudah habis sejak bulan Pebruari 2014, karena ketika kami mulai berkantor disini, banyak pasien yang datang klaim supaya kami bayar kembali biaya obat yang mereka beli di luar, tetapi mekanisme kami tidak begitu. Kami bayar ke rumah sakit,” kata Kepala Operasional Badan Pelayanan Jaminan sosial Kabupaten Lembata, Novita Nalle.

Dia mengatakan, karena sering di datangi pasien, Novita akhirnya memilih untuk berkoordinasi dengan Sekda Lembata, Petrus Toda Atawolo, karena menurutnya, BPJS tidak berhubungan dengan pasien tetapi dengan pihak RSUD. “ada beban moril kita dengan dengan anggota JKN, sehingga kami komunikasikan dengan Sekda supaya dicarikan jalan keluar yang tidak merugikan masyarakat,” jelasnya.

Jalan keluar yang ditempuh setelah berdiskusi denga Sekda Atawolo adalah, setiap pembelian obat di luar, pasien harus memegang bukti transaksi dan diserahkan kepada pihak manajemen RSUD. Dengan tujuan biaya pembelian obat dikembalikan kepada pasien.   

Kondisi rumah sakit milik pemerintah dan menjadi kebanggan orang lembata ini dapat dipastikan sedang dalam kondisi kritis, pasien yang masuk rumah sakit terus mengeluh karena merasa kesulitan untuk mendapatkan obat. Dan anehnya, ketika keluhan itu disampaikan, pihak manajemen RSUD hanya berkilah dan meminta pasien atau keluarga pasien untuk membeli obat sendiri  dan memegang bukti pembelian agar bisa mengklaim pengembalian uang ke pihak pengelola RSUD.

Padahal rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan dengan fungsi utama adalah, upaya penyelenggaraan kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien. Merujuk pada fungsinya, maka rumah sakit mestinya menyiapkan segala fasilitas untuk mendukung upaya penyembuhan dan pemulihan. Alat kesehatan dan obat menjadi hal wajib untuk disediakan. Jika tidak, maka rumah sakit tak lebih dari sebuah sarana penginapan.

“Kami terdaftar resmi sebagai anggota BPJS, mestinya segala hal yang berkaitan dengan biaya rumah sakit, tidak dibebankan kepada kami termasuk obat. Tapi, sekarang kami dibebankan dengan biaya-biaya yang tidak kami duga sebelumnya. Jujur saja, saya terpaksa minjam uang untuk beli obat, dan saya tidak tahu, apakah biaya yang saya keluarkan ini bisa di kembalikan? Kalau tidak di kembalikan, lalu untuk apa kita masuk anggota BPJS?,” kata Darius Raya, warga Tanjung Batu, kecamatan Ile Ape.

Darius juga keluarga pasien lainnya mengakui, bila mereka diminta memegang semua bukti pembelian obat agar diserahkan kepada pihak manajemen RSUD, dengan harapan biaya yang dikeluarkan dapat dikembalikan.  

Sebagaimana yang disampaikan Linus Lawang. Kakek dari Balita 1,5 tahun yang dirawat diruang ICU karena luka bakar. Lawang Warga Lamahora, Kelurahan Lewoleba Timur di RSUD Rabu, (3/9)  membenarkan jika dirinya diminta untuk mengembalikan semua bukti pembelian obat agar nantinya biaya pembelian obat itu dikembalikan pihak rumah sakit.

Dia menuturkan, cucunya mengalami luka bakar serius dan terpaksa di rujuk ke kupang. Kepada wartawan dia mengatakan, dokter menjelaskan bahwa sang cucu harus dirujuk ke Kupang karena luka bakar yang dideritanya berpengaruh pada gangguan paru-paru.  

“Dokter sendiri bilang, disini kehabisan obat, juga beberapa alat kesehatan yang mendukung upaya proses penyembuhan tidak dimiliki RSUD, jadi sebaiknya dirujuk ke Kupang. Kondisi seperti ini jelas membuat saya marah dan kecewa. Bagaimana mungkin rumah sakit tidak menjamin kesembuhan? Obat saja tidak punya,” ketus Linus.  

Penuturan warga dan kepala Opresional BPJS Lembata mengundang rasa penasaran. FBC akhirnya menemui salah satu pegawai bagian Farmasi, setidaknya hanya untuk membuktikan kebenaran informasi terkait persediaan obat di RSUD. “memang obat lagi kosong. Digudang Farmasi sudah tidak ada apa-apa lagi, dan itu sudah lama. Tapi saya minta tolong, kaka jangan tulis saya punya nama,” kata pegawai farmasi RSUD Lewoleba itu.  

Kondisi ini pun ikut di komentari anggota DPRD Lembata Lazarus Teka Udak. Dalam sidang perdananya di ruang rapat DPRD Kabupaten Lembata, Selasa (9/9) DPRD asal partai Nasdem ini mengatakan, kondisi rumah sakit umum Lewoleba parah dan membutuhkan penangangan segera.
“Saya sudah datang kesana, sekarang tidak saja obat yang habis tetapi juga alat dilaboraturium juga rusak dan terpaksa saya ke rumah sakit damian,” kata Udak.

Manajemen Bobrok

Keadaan rumah sakit kebanggaan warga lembata itu, kini dalam kondisi kritis. Keluhan-demi keluhan terus saja dilayangkan, tidak saja dari warga yang membutuhkan jasa pelayanan, tetapi keluhan juga datang dari karyawan RSUD. Berbagai kritik publik, mestinya ditanggapi positif sembari melakukan upaya pembenahan kedalam, namun terkesan diabaikan. Perubahan kearah yang lebih baik tak juga datang.
Viktor Mado Wathun, Wabub Lembata

Jika sebelumnya keluhan pasien hanya sebatas pelayanan, kini keluhan kian bertambah. Rumah sakit yang mestinya menjamin kesembuhan itu malah membuat pasien kian sulit karena harus menyiapkan obat sendiri.

Keadaan RSUD Lewoleba yang ketiadaan obat ini ternyata diakui juga oleh Wakil Bupati Lembata, Viktor Mado Wathun. Saat dijumpai diruang kerjanya, Jumad (5/9) Viktor tak menampik jika obat dan bahan habis pakai di RSUD Lewoleba sudah habis sejak bulan Februari 2014. Dirinya bahkan sering didatangi warga untuk menyampaikan keluhan.

Jelas, sebagai pemerintah dirinya pun sudah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait termasuk dengan Dinas Kesehatan, dan Manajemen RSUD, sayangnya dirinya hanya diberi jawaban menanti tender, dan terakhir masih menunggu distribusi.

Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi. Sebagai pengelola, pihak manajemen mestinya sudah mempersiapkan jauh sebelumnya. “Tapi memang tidak bisa. Manajemen RSUD itu memang bobrok, bahkan lebih buruk dari manajemen kios. Kalau begini apa yang mau kita harapkan?, coba lihat sekarang, rumah sakit kita memang hanya berfungsi sebagai tempat menginap,” kesal Viktor. Saat berbincang dengan wartawan diruang kerjanya, Viktor berulang kali mempertanyakan alasan kehabisan obat.

Menurutnya, sepanjang manajemen RSUD masih di tangan dr. Aditya Yoga maka dirinya tak yakin bila manajemen RSUD mampu berbenah menuju arah yang baik. “kesulitannya ada di SDM. Dan ini menjadi perhatian serius pemerintah,” katanya.

Pengelolaan Obat

Guna menjawab rasa penasaran terkait alasan kehabisan obat, FBC terus melakukan penulusaran. Berbagai sumber didekati, baik sumber yang berhubungan langsung dengan bidang kesehatan, juga sumber-sumber lain yang prihatin dengan kondisi RSUD Lewoleba. Dari semua sumber yang ditemui, rata-rata bersepakat kalau letak permasalahan sesungguhnya pada buruknya sistem manajemen.

Kor Sakeng, aktivis Aldiras yang lama berkecipung dalam dunia penangangan pengungsi di Timor-Timur mengatakan, ketidak efisiennya manajemen pengelolaan obat di rumah sakit sangat berdampak negatif, baik secara medis maupun ekonomi pasien dan keluarganya. Obat kata Kor Sakeng, adalah sebuah komponen penting dalam manajemen rumah sakit. Pengelolaan obat yang efisien sangat diperlukan agar selalu tersedia saat dibutuhkan, te
Kor Sakeng
rjamin secara mutu, tepat jenis dan waktu juga digunakan secara rasional. “jangan sampai saat dibutuhkan stokya habis,” katanya

Sementara itu sumber lain mengatakan, manajemen pengelolaan obat melibatkan berbagai pihak dan tahapan. Dimulai tahapan seleksi, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan penggunaan obat. Tim di RSUD yang melibatkan berbagai provesi harus bersepakat dan menyeleksi obat-obat yang beredar di rumah sakit. Dan tentu, obat-obat yang di rumah sakit milik pemerintah harus menggunakan daftar obat sebagaimana yang termuat dalam keputusan Menteri Kesehatan-RI guna mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional.

Kendati demikian, ungkap salah satu sumber yang tak lain adalah PNS di lingkup Setda Kabupaten Lembata itu mengatakan, perencanaan pengadaan obat sangat rentan dengan bujukan dan rayuan perusahan-perusahan farmasi yang senantiasa menjanjikan bonus yang menggiurkan. Karena itu, orang yang meminta namanya tidak dipublikasi itu mengatakan, dibutuhkan orang-orang dengan komitmen yang kuat untuk direktrut dalam tim manajemen obat ini.

“Makanya kalau yang masuk dalam tim ini adalah orang-orang yang masih memikirkan kepentingan diri atau kelompok, saya jamin pengelolaan obat akan menjadi asal-asalan, dan akibatnya muncul perencanaan yang tidak jelas, dan pada bagian akhir rumah sakit harus kehabisan obat,” yakin sumber ini.

Mencermati keadaan rumah sakit milik masyarakat lembata ini, sejenak kita tertegun. Karena dari berbagai informasi yang berhasil di himpun menyebutkan banyak sudah warga lembata dengan status ekonomi pas-pasan terpaksa membawa pulang keluarganya yang sedang kritis dan akhirnya harus meregang nyawa.  Bahkan bocah 1,5 tahun yang menderita luka bakar yang dirujuk ke kupang pun kini sudah kembali ke lembata dalam keadaan tak bernyawa. Jenazah cucu dari Linus Lawang ini tiba di lewoleba, Senin (8/9).

Kapan Pengadaan Obat

Dokter Yoga kepada floresbangkit di ruang kerjanya menjelaskan, sistim pengadaan obat mengikuti proses tender umum di pemerintahan. “Iya kita mekanisme tender di pemerintah,” kata Yoga. Penjelasan kepala rumah sakit umum lewoleba ini mendapat reaksi keras dari aktivis Aldiras Kor Sakeng.

Baginya hal yang dijelaskan kepala RSUD itu merupakan sebuah kepura-puraan, sekedar menutup kesalahan. Karena khusus pengadaan obat tidak saja berpedoman pada peraturan Menkes, tentang harga obat untuk pengadaan pemerintah, tetapi juga ada rujukan lain yakni, peraturan presiden nomor 70 tahun 2012, dimana dalam pasal 38 ayat 4 a3, dengan jelas mengamanatkan supaya obat generik yang sifatnya mendesak dilakukan dengan Penunjukan Langsung (PL) dengan negosiasi teknis dan harga kepada pabrik atau distributor resmi.

“Soal harga tetap berpatok pada harga obat e-katalog sebagaimana dalam keputusan Menkes. Aneh, kalau Doter Yoga tidak tahu. Alasan seperti itu hanya menunjukan ketidakberdayaan. Pertanyaan kenapa tidak menggunakan cara PL, kepada dokter Yoga saya ingatkan, jangan main-main dengan nyawa manusia. Kalau tidak mampu turun dari jabatan,” tegas Sakeng.

Menilai ketidakberdayaan dr. Aditya Yoga, Sakeng yang kini terpilih menjadi Koordinator Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras) menggantikan posisi Petrus Bala Wukak, mendesak pemerintah untuk segera menggati direktur RSUD Lewoleba. “saya tidak mengerti lagi kalau direktur RSUD itu tetap di pertahankan,” ujarnya.

Penilaian Sakeng terhadap kemampuan sang direktur RSUD bisa saja benar, namun bisa juga salah betapa tidak penelurusan FBC menemukan indikasi lain. Ada dugaan bila rencana pengadaan obat sengaja di perlambat, agar obat non katalog atau obat yang tidak termuat dalam keputusan Menkes, laris terjual.

Tidak dipungkiri, bila sekian banyak apotik di kota lewoleba ini, menjalin kerjasama dengan pihak rumah sakit, bahkan ada juga apotik milik salah satu orang penting dilewoleba. Dengan demikian diduga, pengadaan obat di untuk RSUD Lewoleba sengaja diperlambat agar obat non katalog di apotik tertentu laku di jual. Lebih jauh dalam penelusuran FBC menemukan, pasien atau keluarga pasien wajib membeli obat pada apotik tertentu. Jika tidak, obat tidak digunakan oleh rumah sakit. 
Terkait dugaan kerjasama dengan apotik tertentu Yoga sang direktur rumah sakit umum lewoleba  Dengan nada terbata-bata dan menampakan wajah cemas mengatakan, “Yah, terserah bapak sajalah, bapak tulis saja,” singkat Yoga.  

Manajer RSUD Menghindar

Sementara itu direktur RSUD Lewoleba, dr. Aditya Yoga tak menampik jika stok obat di RSUD Lewoleba sekarang sedang kosong, namun dia membantah jika kekosongan stok obat itu sudah terjadi sejak bulan Februari 2014. Anehnya ketika ditanya terkait pengadaan, Yoga balik meminta wartawan untuk bertanya langsung ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menurutnya, sebagai pengguna anggaran dirinya tidak boleh mengintervensi PPK.  

Klarifikasi kepala RSUD Lewoleba ini disampaikan kala dijumpai wartawan di ruang kerjanya, kantor RSUD Lewoleba, Jumad (5/9).

“Kalau Februari itu tidak benar, kondisi kita sekarang stok obatnya sedang menipis. Jadi bukan habis pak, dan sekarang kita lagi tunggu distribusi, kalian tanya langsung saja ke PPK,” kata Yoga tanpa beban.

Dia menjelaskan, tender pengadaan obat sudah dilakukan sejak bulan Juni 2014, dan biasanya obat baru datang setelah tiga bulan. Di tambahkan lagi, perusahan yang pemenang tender obat sebanyak 36 dari 37 perusahan yang mendaftar, dengan pagu dana pengadaan obat sebesar Rp. 811.961. 193 dan untuk pengadaan bahan habis pakai sebesar Rp. 919.282.116.

Kepada wartawan, Yoga mengaku memahami kegelisahan pasien, karena itu berbagai upaya telah dilakukan termasuk meminjam obat ke Puskemas yang di kelola dinas kesehatan. Sayangnya kondisi yang sama pun dialamai Puskemas. “Yah, sekaran kita tunggu droping saja pak,” kata Yoga dengan suara yang hampir tak terdengar.   

Saat disampaikan tentang kritik pedas dan penilaian kritis yang dilamatkan kepadanya, Yoga menolak jika dikatakan manajemen RSUD Lewoleba bobrok. “Siapa yang bilang, jangan-jangan kalian yang ngomong begitu. Indikatornya apa?,” tangkisnya. Tak kalah gencar, wartawan pun dengan tegas menyampaiakan kalau yang memberi penilaian tentang bobroknya manajemen RSUD adalah Wakil Bupati Lembata. “Terserah penilaian beliau, saya yah...kerja sesuai prosedur,” jawabnya lagi.

Tunggu Payung Hukum

Janji pihak rumah sakit untuk mengganti biaya pembelian obat yang dibebankan kepada pasien, nampaknya tak mudah untuk di realisasi. Terkait hal ini, direktur RSUD Lewoleba membenarkan jika pihaknya menyarankan kepada keluarga pasien untuk memiliki bukti pembelian agar bisa mengklaim pengembalian biaya. Namun dalam penjelasannya kepada wartawan Yoga mengaku tak yakin penuh, pasalnya hingga saat ini belum ada satupun payung hukum yang mengatur mengenai hal ini.
Direktur RSUD Lewoleba dr. Yoga Aditya dan Nyoman Taranpira

“Kita memang sampaikan begitu kepada keluarga pasien. Tetapi saya juga harus tunggu payung hukum, takut salah nanti. Kalau tidak ada payung hukum, saya tidak bisa lakukan,” kata Yoga.
Diduga akibat banyaknya tekanan yang diterimanya, direktur RSUD Lewoleba ini menutup diri dan menolak untuk ditemui, apalagi oleh jurnalis. Seperti diberitakan, gara-gara datang dengan menggunakan sandal, Dokter yang mestinya ramah itu marah dan nekat mengusir wartawan, bahkan untuk mendapat informasi yang berimbang, wartawan harus bolak-balik rumah sakit selama dua hari untuk mencari sang direktur.  (Yogi Making)

sumber : www.floresbangkit.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar