Halaman

Minggu, 19 Desember 2010

Tumbal

Oleh : Fredhhy Rafael

Nyawa – nyawa tergelat asing
Tak ada kepedulian
Pada wajah – wajah manusia hidup

Demi perjuangan mereka mati
Hati nurani berani tegar
Tapi kondisi kian panas

Negeriku – Perjuangan Multatuli
Di tanah ini bergelimpangan mayat
Darah tercecer amiskan bumi
Harumkan mayapada perjuangan 




Biduk

Hidup ini adalah biduk yang ku kayuh sepanjang waktu
Dijenjang usia ini biduk itu tetap menelusuri arus laut,
Gelombang dan pasangnya tak henti menghempasnya
Ditingkap waktu selalu ada kerinduan untuk menepi,
Namun dermaga di pantai belum terbangun,
Biduk itu tetap mengarungi misteri lautan,
Mati – matian berjuang taklukkan badai,
Samudra biru selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab
Diam menjadi jalan terakhir merenungi nuansa hari-hari

Aku adalah biduk itu
Aku gamang di samudra
Takut gelombang
Takut badai
Paling takut jika tenggelam
Setiap saat memaksaku untuk senantiasa berani meski hati ciut
Awan hitam sering menghalang tatapan
Khawatirku mungkin akan menabrak gunung
Atau tertabrak kayu nyasar yang terhenpas ke laut oleh banjir
Dari belantara yang kini kian habis digergaji tangan jahil

Hidup tergantung pada cuaca dan kebaikan samudra
Memberi peluang untuk selamat walau hanya sebentar
Dan mengisi perut dengan ikan mati dan rerumputan yang ngambang di pucuk arus
Sedangkan dahaga dapat terpuaskan dengan mencicipi setitik air garam
Asin memang, tapi demi kelangsungan hidup harus rela menjalani semua.

Bila malam datang
Di atas biduk kehidupan gulita menggetarkan
Belum lagi haluan biduk ragu – ragu
Ketika dihadang ikan hiu dan gurita raksasa
Buritannya kedinginan dielus kematian yang siap menelan
Hari menjadi sunyi senyap tak berharapan
Ufuk langit semakin dipandang semakin jauh
Harapan terdampar di sebuah tanah terjanji nyaris kabur
Kuba langit kokoh menyelimuti dan lautpun kian menggelora.


Nyawa – nyawa adalah tumbal
Demi pulihkan tanah tertanami kecongkakan
Bangsaku bertahun terolah kepongahan
Mengeruk humus suburkan  kekeringan gila

Orang berkuasa duduk di singgasana istana
Memicing  pada simpuh hormat rakyat
Malu sudah tak ada
Mereka hanya memperjuangkan oportunisme

Kapan mereka itu mau bersimpuh
Sedangkan daki tubuhnya saja sungkan dibasuh
Bukankah otak mereka kerdil dan bodoh ?
Sedangkan sesal pun sulit terucap
Padahal jelas – jelas mereka mencuri

Mereka telah mengantar mayat – mayat
Di atas keranda kekuasaan
Sebagai tumbal
Tapi nyawa – nyawa akan ke surga
Sebab tumbal
Bagi rakyat  adalah perjuangan

Negeri ini merupakan ibu
Mengasuh dengan kasih di pangkuan
Negeri mengharapkan kebenaran
Menyusui semua dengan dada montok
Tak peduli pengkhianat atau pejuang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar