Halaman

Jumat, 15 Oktober 2010

Dari “Woyong Liman Lema” Menuju “Pari Lema”

Super-Lembata
“ Lembata menjadi otonom sebenarnya ingin menurunkan “Woyong Liman Lema” menjadi “Pari Lema”. Demikian sambutan Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona, yang disampaikan Paulus Domi Ruing, pada Musawarah Besar Rakyat Lembata (Mubesrata) di Hadakewa, Senin (11/2010).
Dalam sambutan itu, Tifaona menjelaskan bahwa Lembata “Woyong Liman Lema” adalah berupa kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan, dan keterisolasian yang seharusnya digantikan dengan “Pari Lema”yaitu Lembata yang maju, mandiri, aman, sejahtera, dan beriman. Menurut Tifaona, yang menjadi syarat utama mencapai semua itu,adalah membutuhkan kerja keras dari “Wuno Pito”, yang adalah seluruh masyarakat Lembata, karena Lembata memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam yang sangat potensial, dengan didukung dengan budaya yang mengikat.
Sambutan Tifaona yang dibawakan Ruing, menilai bahwa Lembata sudah 11 Tahun melaksanakan otonomi, namun kenyataannya masyarakat yang bercirikan “Woyong Liman Lema” masih hidup menggelantung di atas tradisi “Likat Matan Telo”. Sedangkan ‘Pari Lema” masih tetap menjadi cita-cita dan harapan yang tak kunjung tercapai.
Bertepatan dengan HUT Otonomi Daerah, Tifaona mengharapkan agar semua masyarakat berusaha meluruskan kembali arah perjuangan Lembata, dengan memantapkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. “ Rakyat Lembata tidak boleh menjadi “Pemeran Pinggiran”, tetapi menjadi pelaku utama pembangunan. Rakyat Lembata tidak boleh hanya diberi ikan, tetapi harus diberi kail, dan mampu memanfaatkannya”Tegas Ruing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar