Halaman

Rabu, 19 September 2012

Antara Skandal Bank Century dan KPK


Misteri skandal Bank Century hingga kini tidak jelas pengungkapan siapa pelaku sesungguhnya dari skandal raibnya Rp 6,7 triliun. Dari penelusuran ke penelurusan tak jelas dimana ujung kepastian hukumnya. Dari Pansus Parlemen, audit investigatif hingga audit forensik oleh BPK RI, bahkan sampai pada pengakuan mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dipanggil Presiden SBY ke Istana Negara terkait pembahasan bailout Bank Century dianggap belum memadai untuk mengungkaptuntaskan skandal ini. Bahkan kasus century telah menelan banyak korban baik orang maupun lembaga, Antasari masuk penjara, KPK dikriminalisasi.

Membiayai Pemilu 2009

Pengakuan Mantan Ketua KPK Antasari Azhar, yang dipanggil Presiden SBY ke Istanah Negara terkait bailout Bank Century memperlihatkan indikasi dan strategi SBY dalam mencari bank yang sakit kemudian digelontorkan dana dan selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pemilu. BI (Bank Indonesia) sudah memegang nama-nama bank yang sakit lalu diajukan untuk di-bailout. Menurut Antasari (Metro Realitas, 10/2008) kurang dari setahun menjelang Pemilu 2009, Antasari mengungkapkan didatangi Boediono yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). Kepadanya, Boediono membahas rencananya menggelontorkan Rp 4,7 triliun untuk menyelamatkan Bank Indover yang saat itu tengah kolaps menuju kebangkrutan. Karena Antasari menolak akhirnya jatuh pada Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Proses demi proses (politisasi) hingga pada Boediono menjadi Calon Wapres SBY karena dianggap berjasa dalam peluncuran Rp 6,7 triliun.

Jika skandal besar ini tidak dibongkar sebelum Pemilu 2014, maka skandal serupa berpeluang terjadi kembali, berikut kasus-kasus korupsi lain yang melibatkan anak manis SBY yang bermain-main dengan dana negara tidak akan tersentuh hukum. Seolah hukum ini diproduk untuk menghamba kepada mereka yang kuat dan berkuasa.

Berharap KPK

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dibentuk berdasar UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak lepas dari peran

Bertrand DeSpeville, seorang pengacara/advokat di Hongkong dan London juga komisioner pada lembaga antikorupsi Hong Kong, Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 1993-1996 yang juga ia dikenal sebagai ahli antikorupsi. Tahun 2001, DeSpeville diminta bantuan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan kajian tentang pembentukan KPK. Hasil kajian tersebut kemudian menjadi acuan Tim Persiapan Pembentukan KPK hingga berujung pada terbitnya UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Kerja-kerja KPK banyak mengambil alih kewenangan Jaksa dan Kepolisian, dianggap dua institusi hukum itu tidak memiliki daya untuk memberantas Korupsi. Tak pelak banyak pejabat, banyak Jenderal dijebloskan KPK ke penjara. Karena KPK begitu gigih memberantas korupsi (kasus-kasus besar) maka lembaga itupun dikriminalisasi dengan berbagai pola, mendapat tekanan dari banyak pihak bahkan penyidik KPKpun ditarik Mabes Polri karena masa tugasnya telah selesai. KPK saat inipun dipandang sebagian kalangan hanya setengah hati dan tebang pilih dalam memberantas korupsi. Bahkan sebagian orang mengusulkan pembubaran KPK dan mengembalikan tugas pemberantasan korupsi pada Kepolisian/Kejaksaan.

Walau disadari, isu pembubaran KPK adalah muncul dari subyektifitas Partai Politik yang terusik atas pengungkapan kasus korupsi oleh KPK. Tapi, usaha kriminalisasi hingga pada upaya pembubaran KPK adalah strategi pengkodisian opini dengan penguatan wacana yang bersifat sistemik, tujuannya untuk melemahkan KPK dan selamat dari kepungan KPK dalam menyidik kasus-kasus besar itu. Kuatnya wacana pembubaran KPK terbesar didorong oleh lembaga parlemen yang dihuni Partai-partai Politik, yang oleh beberapa survey dipandang paling korup.

KPK semestinya didorong untuk penguatan kelembagaan, sistem dan personil, bukan sebaliknya dilemahkan, dikriminalisasi, dibubarkan. DPD RI mengusulkan penguatan lewat amandemen UUD 1945 yang ke lima, menurut DPD, jika KPK didorong dan diatur dalam konstitusi negara, bangsa kita akan menjadi bangsa beradab, dan Indonesia tidak dianggap sebagai Negara ‘ad hoc-krasi’ karena semua persoalan diselesaikan oleh lembaga yang bersifat sementara, KPK misalnya yang bersifat ad hoc/sementara yang hanya diatur UU. Sementara Undang-undang adalah yang paling rawan mengalami judicial review. Hingga saat ini sudah tercatat 11 dari 13 pemohon ingin melumpuhkan pasal-pasal dalam UU KPK tersebut melalui judicial review, ini tanda kemunduran bangsa.

Ujian terbesar dan terberat KPK, apa berani KPK dibawah komando Abraham Samad menuntaskan skandal Bank Century? Tanpa dorongan publik, kita tidak berharap banyak pada KPK dalam penuntasan kasus besar Century dan juga kasus-kasus besar lain yang calon tersangkanya belum tersentuh (masih tarik ulur antar pimpinan KPK), dalam UU KPK, hanya seorang pimpinan KPK tidak setuju maka kasus yang telah diselidiki tidak dinaikan statusnya, olehnya koruptor cukup memegang dan mengendalikan seorang pimpinan KPK, ia akan selamat dari jeratan hukum. Dari kelemahan kelembagaan KPK diatas, ada pihak bahkan menantang jika terbukti sebaiknya “saya digantung di Monas”, artinya tanpa
harus diadili melalui lembaga peradilan. Hitungannya---tidak akan diadili karena KPK dalam kendali. 

Oleh: Akhmad Bumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar