LEWOLEBA, FBC- Warga desa Puor, kecamatan Wulandoni dan
warga desa Uruor kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, akhirnya
bersepakat untuk mengakhiri sengketa lahan pertanian di Il Kwikit. Kesepakatan
damai ini diambil setelah Pemerintah bersama Polres Lembata turun langsung ke
lapangan untuk meninjau lokasi yang disengketakan dan berdialog dengan warga
yang bersengketa.
Sebagaimana yang disaksikan FBC pada Jumat, (5/10/2012),
Wakil Bupati Lembata Viktor Mado Watun, SH bersama beberapa pejabat di
lingkup Setda Kabupaten Lembata serta Kapolres Lembata AKBP Marthen Johannis,
SH bersama bersama jajaran kepolisian resort Lembata terlihat berada di lokasi untuk
memediasi pertikaian antar warga. Kegiatan ini merupakan tindak lajut dari
hasil pertemuan dengan warga desa Puor A dan Puor B di Lewoleba pada Senin
(24/9/2012).
Hadir juga dalam pertemuan itu, Camat Nubatukan Begu Ibrahim
BA, Camat Wulandoni Benediktus Ledo, juga beberapa tokoh masyarakat dari desa
yang bertikai yang tinggal di Lewoleba.
Untuk diketahui, bukit Il Kwikit merupakan sebuah bukit
tandus yang disekitar lerengnya terdapat sejumlah lahan pertanian dan
perkebunan kemiri yang sebagian besarnya sedang dikuasi oleh warga desa Puor A
dan Puor B kecamatan Wulandoni, dimana diklaim oleh warga desa Uruor kecamatan
Nubatukan sebagai hak ulayatnya.
Pantuan FBC, Tim Mediasi Kabupaten yang dipimpin langsung
Wakil Bupati Lembata Viktor Mado Watun dan Kapolres Lembata AKBP Marthen
Johannis, SH, sudah hadir ke lokasi sejak pukul 08.00 waktu setempat.
Namun demikian pertemuan baru dilangsungkan pukul 12.00 WITA. Akibat masih
menanti kehadiran warga desa Puor A dan Puor B.
Warga Saling Bantah Hak Ulayat
Setetah sejenak menggungkapkan rasa kekesalan kepada kepala
desa Puor A dan Puor B yang terlambat datang ke TKP, Wabub Viktor Mado membuka
dialog. “Kami datang kesini tidak untuk membela siapa-siapa, sebagai pemerintah
kami berharap kasus ini segera kita tangani dengan tidak mengorbankan warga,
oleh karenanya saya berharap, dalam dialog nanti, semua kita diharapkan untuk
tetap berpikiran dingan dan tidak mengungkapkan kata-kata yang dapat memicu
konflik. Sebelum mengambil kesimpulan, sebagai pemerintah kami ingin mendapat
gambaran dari masing-masing desa tentang hak kepemilikan atas tanah yang selama
ini diklaim sebagai hak ulayat”. Jelas wabub.
Masing-masing juru bicara (Jubir) diberikan kesempatan untuk
menyampaikan fakta dan data tentang hak kepemilikan atas tanah yang
disengekatakan.
“Berdasarkan cerita dari turun temurun, batas hak ulayat
kami orang Puor terhitung dari bagian timur adalah, Gua Maria, Wat Blokep,
Waiemar, Belengor, sampai ke bukit Il Kera, turun menyusur ke bawah sampai
berbatasan dengan desa Udak Melomata kecamatan Nubatukan dan desa Lewuka
kecamatan Wulandoni ke ujungnya, Kilomata dan Waikujeng”. Kata Jubir Puor Frans
Erak
Sedang bagian barat, lanjut Frans,”Gua Maria, Kepedek, terus
menuju batas dengan desa liwulagan dan terus menuju perbatasan dengan desa
Boto, yang biasa kami sebut dengan Watotika”. Kata Frans.
Sementara itu menurut Frans, tahun 1922 sempat terjadi
kesepakatan persehatian batas yang dibuat oleh kedua desa dihadapan wakil
pemerintahan belanda, yang kala itu dipimpin oleh Bestiur Rambing, sementara
Puor diwakili oleh bapak Beda Blakin, Uruor oleh Bapak Ur Kame juga Nua Lela
(Wulandoni-red) oleh Bapak Paduk.
Keterangan Jubir Puor ini, langsung dibantah oleh warga
Uruor. Melalui ketua BPD Uruor Yoseph Kopong, warga Uruor mengungkapkan
fakta kepemilikannya.
“Kami tidak berbatasan dengan dengan Puor, tetapi kami
berbatasan dengan Imulolong (sebuah desa di sebelah barat Desa Puor-red)
kecamatan Wulandoni. hak ulayat kami terhitung dari, Kung, Tapo Barak, Koli Or,
Kolikenesak, Melomata, dari melomata ikut punggung bukit hingga ke Watbujak”.
Terang Yoseph.
Sementara itu, dengan desa Belobaja dan Labalimut, dihitung
dari Watbujak, Belatopo, Il Kwikit hingga ke Banitobo. Lanjutnya.
Wabub-Viktor-Mado-Wathun-(bertopi),-serius-Mendengar-Frans-Erak,-Jubir-Desa-Puor
Persehatian batas, menurut Yoseph tidak terjadi tahun 1922
sebagaimana di ungkap jubir desa Puor, namun sesungguhnya terjadi tahun 1926
dan lokasi Il Kwikit dikuasai oleh orang belobatang, sementara itu, Waiemar
yang dikalim sebagai milik orang Puor dibantahnya. “Di lokasi Waiemar itu, ada
sebuah mata air yang dipahat oleh orang tua kami yang bernama bapak Bubun dan
hingga saat ini mata air itu diberi nama Bubunlabawai”. Terang Yoseph.
Keterangan masing-masing jubir ini diamini oleh utusan warga
yang hadir saat dialog berlangsung. Walau tak mampu menunjukan bukti
kepemilikan, dan hanya berdasarkan ceritera yang diwariskan secara turun
temurun, kedua pihak tetap bertahan dan tak mau mengakui kepemilikan dari salah
satu pihak.
Bantahan-demi bantahan terus saja terjadi, suasana dialog
sempat memanas. Namun berkat kesigapan aparat kepolisian dan pasukan Satpol PP
yang sedari awal sudah di siagakan, situasi memanas berhasil ditenangkan.
Sepakat Mengakhiri Konflik
Mendengar penjelasan yang disampaikan warga melalui Jubir,
pemeritah akhirnya menawarkan dua opsi sebagai jalan keluar, Opsi pertama kata
wakil, warga tidak dilarang untuk mengolah lahan yang ada, tanpa melihat hak
ulayat dari desa mana, tetapi berpatokan pada kepemilikan lahan secara pribadi.
Bagi warga yang mau mengolah lahan yang bukan miliknya wajib untuk menyampaikan
pada pemilik lahan, dan opsi kedua yang ditawarkan adalah, untuk
mengakhiri konflik, pemerintah dengan segala kewenangan yang dimiliki, menunjuk
garis batas, dengan tetap mempertimbangkan wilayah-wilayah yang dipertahankan
sebagai hak ulayat dari mamsing-masing desa, jelasnya.
“itu dua opsi yang pemerintah tawarkan, jika bersedia maka
kita akan buat kesepakatan”. Usul Wabub.
Selain wabub, Kapolres Lembata AKBP Marthen Johannis, SH,
ikut menjelaskan. Menurutnya, jika tetap bertahan berdasarkan ceritera sejarah
yang diwariskan secara turun temurun, maka kedua pihak sangat berpotensi untuk
mengarang sejarah baru. Oleh karenanya, sebagai manusia yang hidup dialam
modern sebaiknya, sejarah yang ada biarlah untuk kebesaran dan kebanggaan di
desa masing-masing, namun tidak dipakai untuk menekan sesama, katanya.
“kalau mau runut sejarah, pasti ada saja yang mengarang
sejarah. Cerita-cerita yang ada biarlah tetap diceritakan sebagai kebanggan dan
kebesaran di masing-masing desa kita, marilah dalam kesempatan ini kita
bersepakat untuk mencari jalan keluar terbaik, dengan tidak merugikan
masing-masing pihak”. Jelasnya.
Mendengar arahan dan penjelasan baik dari Wakil Bupati
maupun Kapolres Lembata, kedua pihak akhirnya memilih untuk bersepakat dan
menerima tawaran opsi pertama dari pemerintah, dengan memuat enam poin
kesepakatan.
Kesepakatan dimaksud adalah, pertama, kedua pihak tidak lagi
mempersoalkan hak ulayat sebagaimana yang disengketakan selama ini,
kedua, daerah yang disengketakan menjadi pengelolaan bersama, dengan
tetap berpatokan pada hak kepemilikan perorangan, ketiga, jika terjadi sengketa
atas kepemilikan lahan, maka kepala desa dari masing-masing pihak
bertanggungjawab untuk menyelesaikan sengketa dengan tetap berpedoman pada
penjelasan pihak yang bersengketa, keempat, masing-masing kepala desa
bertanggungjawab terhadap warganya dan berkewajiban menenangkan warganya bila
terjadi perselisihan terkait lahan pertanian, dan kelima keputusan bersama ini
tidak dapat diganggu/gugat oleh pihak manapun, dan dianggap final dan mengikat
kedua belah pihak yang bertikai. Dan yang keenam, zona yang disengketakan
menjadi zona batas antar kecamatan Wulandoni dan Kecamatan Nubatukan, Kabupaten
Lembata.
Setelah menyatakan menerima enam poin hasil kesepakatan,
warga kemudian saling berjabatan tangan. Keputusan dibuat dalam bentuk berita
acara tertulis dan ditandatangani oleh masing-masing pihak. Kerena berita acara
yang dibuat hanya memuat lima poin kesepatakan, dan mamsih dalam bentuk tulis
tangan, maka utusan masing-mamsing pihak kembali diminta hadir di Kantor Bupati
Lembata, pada hari senin (8/12/2012) guna menandatangani berita cara lengkap. (Yogi
Making)
Sumber :www.floresbangkit.com